Untuk apa manusia hidup barangkali
adalah pertanyaan yang paling mengganggu manusia. Tentu saja para filsuflah
yang paling dipusingkan oleh pertanyaan ini; atau barangkali memang hanya
merekalah yang akan berusaha menjawabnya secara sistematis. Dalam filsafat,
kerapnya pertanyaan ini berjalan bersamaan atau dipecahkan melalui juga
pertanyaan ‘siapakah atau apakah itu manusia’ yang membedakannya dengan makhluk
hidup yang lain.
Pada kesempatan ini kita akan melihat
jawaban atas pertanyaan mengenai apa tujuan hidup manusia dari Aristoteles dan
Thomas Aquinas dan bersamaan dengan itu pula jawaban atas pertanyaan siapakah
atau apakah manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup yang lain.
Siapakah
Manusia
Untuk sampai pada jawaban mengenai apa
tujuan hidup manusia, tentu saja kita harus menjernihkan terlebih dahulu
siapakah itu manusia. Dengan mengetahui apakah itu manusia barangkali akan memudahkan
kita membicarakan tujuan hidupnya. Aristoteles dan Thomas Aquinas sebenarnya
berangkat dari hal yang sama dalam menjawabi pertanyaan ini.
Bagi Aristoteles jelas akal budi-lah yang menjadikan manusia
berbeda dengan makhluk lainnya. Akal budi ini yang memungkinkan manusia
mengkontemplasikan hal-hal yang tak bergerak theori dan melakukan tindakan-tindakan etis praktis. Hal ini pada Thomas Aquinas pun diamini. Tetapi demikian,
Thomas melanjutaknnya dengan menunjukkan sebuah ciri khas manusia yang tidak
ada pada makhluk lain yakni akal budi yang memungkinkan ia terbuka pada Yang
Ilahi. Menurut Aquinas, akal budi terbuka secara hakiki kepada yang tak
terhingga. Di sinilah perbedaan manusia dengan binatang. Dengan akal budinya
yang terbuka pada yang tak terhingga inilah maka Tuhan bisa mewahyukan dirinya
pada manusia. Namun demikian, manusia hanya memiliki potensi keterbukaan itu. Sedangkan aktualitas-nya ada pada Allah dan hanya Allahlah yang akan memenuhi
keterbukaan itu.
Thelos
Hidup Manusia
Aristoteles: Kebahagiaan di Bumi
Bagi Aristoteles, tujuan manusia adalah kebahagiaan
(eudaimonia). Menurut Gerard Huges, yang dimaksudkan dengan ‘kebahagiaan’ ini bukanlah
dalam pengertian sebuah perasaan ‘bahagia’. Melainkan Aristoteles mengartikannya
sebagai mencapai kepenuhan potensi seseorang. Aristoteles juga mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah, dengan satu dan lain cara, ‘hidup dengan baik’. Gerard
Huges lantas mengusulkan terjemahan eudaimona dengan ‘kehidupan yang terpenuhi’
atau ‘pemenuhan’. (Gerard Huges, hlm. 22).
Cara hidup seperti apa yang membawa pada
kebahagiaan. Kepuasan dari cara hidup atau tindakan itu bukan demi hal lain di
luar dirinya tetapi demi dirinya itu sendiri. Aristoteles mencontohkan dengan
seseorang yang bermain seruling. Ia lantas membedakan tiga pola hidup dengan
kepuasan dalam dirinya; hidup mencari nikmat, hidup politis, dan hidup sebagai
filsuf. Aristoteles lantas melihat kedua hal yang terakhirlah sebagai jalan
menuju kebahagiaan. Karena nilai tertinggi bagi manusia mesti terletak pada
suatu tindakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas khas manusia
yakni akal budi.
Dua pemikiran tentang manusia menurut
Aristoteles menentukan juga pemenuhan potensi dirinya yakni zoon logon echon (makhluk yang memiliki
roh) dan zoon politikon (Makhluk
politik). Sehingga dua tindakan yang mengaktualisasikan potensi khas manusia
adalah kegiatan politis dan kontemplasi filosofis; praxsis dan theoria. Yang
pertama kerapnya adalah kegiatan bagi orang tertentu saja sehingga
perealisasian diri manusia sebenarnya adalah polis melalui kegiatan praxsis.
Prakxsis ini bukan hanya mengejar
kebahagiaan untuk diri sendiri, karena manusia adalah makhluk berciri sosial,
melainkan untuk semua komunitas. Di sinilah pengertian politikon dari Aristoteles perlu diperjelas. Yang dimaksud dengan politikon adalah kesosialan manusia yang
mencapai realisasi utuh melalui partisipasi dalam kehidupan negara. Manusia
bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama
berpartisipasi dalam pemajuan negara-kota.
Yang membahagiakan manusia adalah
komunikasi aktif atau pergaulan dengan sesama manusia, melalui
struktur-struktur sosial yang khas pada manusia. Praxsis adalah kesibukan dalam
kerangka pelbagai struktur komunitas demi kehidupan bersama yang baik. Namun
demi bertindak secara etis orang harus tahu apa itu yang etis. Ini didapat dari
sebuah kebiasaan. Ilmu etika sendiri, yang adalah ilmu praxsis, menyediakan
perspektif untuk sebuah pengertian yang tepat itu. Demi memahami ketepatan
tindakan perlu dimiliki keutamaan (arete). Keutamaan
adalah sikap-sikap batin yang dimiliki manusia (hexis prohairetike). Keutamaan terbagi dua yakni keutamaan
intelektual dan keutamaan etis. Kemampuan untuk selalu bertindak menurut
pengertian yang tepat adalah kebijaksanaan kedua phronesis. Phronesis adalah kemampuan orang untuk mengambil sikap
dan keputusan bijaksana dalam memecahkan pelbagai masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa etika
Aristoteles adalah etika teleologis. Namun demikian ia teleologis yang egois.
Selain itu ia juga adalah etika eudenomisme karena nilai tertinggi adalah
kebahagiaan. Ciri kedua ini akan kita temukan juga dalam Thomas Aquinas.
Thomas Aquinas: Kebahagiaan setelah
Kematian
Aquinas sesungguhnya seseorang yang juga
mengikuti pemikiran Aristoteles. Tujuan manusia adalah kebahagiaan dan
kebahagiaan tertinggi tercapai dalam theoria;
permenungan manusia tentang Tuhan. Menurut Thomas, lebih khusus, dalam contemplatio permenungan dalam memandang
Yang Ilahi. Di sinilah perbedaan atau bisa dikatakan Aquinas melangkah lebih
jauh dari Aristoteles. Kebahagiaan itu tidak tercipta jika hanya berhenti pada permenungan
filsafat. Ia akan menjadi sungguh bahagia ketika berhadapan dengan Yang Ilahi.
Kebahagiaan itu mencapai tujuan terakhirnya pada Tuhan. Tuhan ini bukan sesuatu
yang indrawi sehingga pandangan yang membahagiakan itu hanya mungkin terjadi
dalam alam baka
Ciri etika Aquinas dengan demikian terletak
pada transendensinya: kebahagiaan mungkin tercapai sesudah hidup ini. Di
sanalah manusia bisa memandang Tuhan yang merupakan nilai terakhir manusia
karena Tuhan adalah nilai tertinggi dan universal. Dengan akal budi, manusia manusia
punya potensialitas pada yang tak terhingga. Namun yang memungkinkan ia
beraktualisasi adalah apa yang tak terhingga di luarnya itu sendiri.
Dengan demikian, manusia membutuhkan
Tuhan untuk mengejawantahkan potensialitasnya itu. Di sinilah apa yang disebut Rahmat menjadi penting. Pada titik ini
kita menemukan ciri khas dari filsafat skolastik, di mana Aquinas adalah tokoh
pentingnya, perpaduan filsafat dan teologi. Lebih jauh justru filsafat sebagai
pembantu teologi; ancilla teologi.
Namun demikian bukan berarti manusia itu
bersifat pasif. Manusia punya kebebasan untuk memilih antara baik dan buruk. Namun
sesungguhnya, kehendak manusia mengarahkan pada yang baik; kepada nilai Yang
tak Berhingga. Karena di situlah letak kodrat manusia yang sesungguhnya. Dalam
kegiatan manusia yang disebut sebagai actiones
humanae (kegiatan manusiawi), sebuah ciri khas manusia yang lain yang
membedakannya dengan makhluk lain, terlihatlah manusia punya kebebasan untuk
memilih yang baik dan buruk. Kegiatan Manusiawi adalah kegiatan yang bisa
ditentukan manusia sendiri; tidak terikat pada ‘kealamiahannya’. Dalam
melakukan kegiatan yang bebas ini, hendaklah manusia berpegang pada perintah
moral. Perintah moral yang paling mendasar menurut Aquinas adalah “lakukanlah
yang baik jangan melakukan yang jahat”. Dari sini kita masuk pada keutamaan (virtue-arete) menurut Aquinas yakni kemantapan
untuk berbuat baik dan untuk menolak yang jahat. Keutamaan ini, seperti
Aristoteles, timbul dari sebuah kebiasaan.
Apa yang baik dan apa yang buruk ini kita
temukan dalam hukum kodrat. Ini berbeda dengan Aristoteles yang melihat
sesuatu sebagai baik bila menuju kebahagiaan bagi pollis. Kodrat adalah
struktur realitas, realitas, hakikat realitas yang ada. Bunyi hukum kodrat yang
paling sederhana namun juga cukup penting adalah hiduplah sesuai dengan
kodratmu. Hukum kodrat muncul dalam dua macam yakni hukum alam dan hukum moral.
Hukum moral adalah norma-norma yang harus diikuti dan dianut. Dan persis inilah
yang merupakan ciri khas manusia; ia bisa mengikuti atau tidak mengikuti hukum
moral itu.
Manusia yang mengikuti kodratnya adalah
manusia yang bermoralitas baik dan sebaliknya. Moralitas manusia ada dalam
tindakan yang mengembangkan dan menyempurnakan kodratnya. Di sini kita kembali
pada kekhasan manusia yang dibedakan dengan makhluk lain menurut Aquinas yakni kerohaniannya.
Dengan demikian hidup sesuai dengan kodratnya adalah hidup dengan mengembangkan
kekhasannya ini.
Pada Aquinas kita lihat bahwa moralitas
memasuki unsur kewajiban. Karena kodrat itu berasal dari Tuhan dan manusia
wajib mengikuti kodratnya itu. Mengapa demikian karena kodrat manusia
mencerminkan kebijaksanaan Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kodrat bukan
tentang manusia melainkan juga tentang kebijaksanaan Allah.
***
Demikianlah kita melihat pembedaan
antara Aristoteles dan Thomas Aquinas dan juga kesamaan-kesamaannya. Sama-sama
kedua pemikir ini merujuk pada kebahagiaan sebagai tujuan akhir hidup manusia.
Namun keduanya berbeda dalam menentukan apa itu kebahagiaan. Kebahagiaan bagi
Aristoteles adalah pemenuhan potensialitas manusia, demikian juga Aquinas.
Namun apa potensi manusia yang perlu dipenuhi itu. Di sini Aristoteles
melihatnya pada kehidupan pollis sebagai yang utama sedangkan Aquinas melihatnya
pada pertemuan atau memandang Tuhan sebagai yang utama.
Barangkali kita bisa mengamini pembedaan
ini lantaran kosmologi dunia yang dihidupi kedua pemikir tersebut. Aristoteles
hidup di zaman Yunani Kuno yang melihat semua hal ada di bawa langit dan tidak
ada sesuatu yang lain di luarnya. Sedangkan Aquinas, pada masa abad pertengahan
Eropa, melihat ada Yang Ilahi di balik semesta. Kosmologi dunia Yunani Kuno
memang melihat ada makhluk lebih tinggi dari manusia tetapi mereka hidp tidak
di luar atau melampaui langit; para dewa hidup di Olimpus, di laut, dsb.
Sedangkan Tuhan Kristiani yang menjadi ciri khas Eropa Abad Pertengahan tempat
Aquinas hidup adalah Yang Ilahi yang melampaui Alam Semesta.
*Ilustrasi: lukisan karya Simone Martini, "Frontispice du Virgile"
Daftar
bacaan:
Franz Magnis-Suseno, 1997, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. (Yogyakarta:
Kanisius).
Franz Magnis-Suseno, 1997, 13 Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato
Sampai Dengan Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius).
Gerard J. Hughes, 2001, Routledge Philosophy Guide Book to Aristotle on Ethics, (London:
Routledge)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar