Film
Goya’s Ghosts berlatar Spanyol awal
masa aufklaerung. Masa-masa ini, pada
hemat saya merupakan masa yang paling seksi dan menyenangkan kedua untuk
dimasuki. Masa yang menempati urutan pertama untuk kedua hal itu tentu saja
Eropa antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Tentu saja apresiasi akan
bagusnya estetika film, detil sejarah, penelitian yang oke, kerja sutradara
yang ciamik untuk film ini kita maklum adanya. Dengan demikian, hal itu tak
perlu lagi kita pusingkan dalam tulisan ini. Saya akan coba mengomentari tiga
hal sebagai pengantar diskusi selanjutnya yakni eropa pada masa yang sesuai
dengan setting film Goya’s Ghosts,
perihal agama, dan perihal seni, serta tentu saja kelindan bertaut antara
ketiga hal itu.
***
Di
dalam sejarah pemikiran Eropa Modern kita tahu ada pembagian antara abad
pertengahan yang kerap disebut juga dengan masa kegelapan dan ada masa modern
yang kerap disebut juga sebagai masa aufklaerung
atau pencerahan. Masa pencerahan kerapnya ditandahi dengan munculnya tulisan
dari Rene Descartes perihal rasio manusia atau manusia sebagai aku yang ragu.
Namun jauh sebelum itu sebenarnya modernisme dalam pengertian filsafat barat
ini dimulai dengan negara-negara kota di Italia, pendidikan untuk mereka yang
non klerus, serta para pencatat kronik sejarah. Modernisme ini lantas
mendapatkan momentum paling mencolok matanya pada revolusi Prancis dan revolusi
industri di Inggris.
Nah,
kita tak bisa membayangkan bahwa perubahan tersebut di atas terjadi secara
merata di Eropa. Eropa kala itu—bahkan hingga sekarang—berbeda-beda
perkembangannya; entah ilmu pengetahuan, teknologi, politik ekonomi, estetika,
dsb. Namun yang cukup patut dicatat adalah wilayah yang jarak dari satu negara
ke negara lainnya tak berjauhan sama sekali. Ini mengakibatkan apa yang terjadi
di satu negara/kerajaan bisa cepat didengar oleh negara/kerajaan lainnya.
terbukanya kedekatan jarak ini tentu juga punya sejarah yang panjang. Film
serial televisi Vikings dari National
Geographic misalnya adalah elaborasi atas masa sebelum setting film Goya’s Ghoshth yang memungkinkan adanya
kedekatan jarak ini.
Hal
kedua adalah janganlah dibayangkan perubahan dari abad pertengahan ke masa
modernisme itu sebagai sebuah perubahan yang merata di segala lapisan
masyarakat dan juga ada di kepala setiap orang. Tentu saja segelintir orang
saja yang bisa secara mulus menerima dan menjadi bagian dari yang tercerahkan
itu. Salah satu buku yang menggambarkan dengan menarik benang tipis antara
kedua hal ini adalah novel Umberto Eco The
Praque Cemetery. Dengan memahami latar yang demikian ini maka kita tak
heran ketika di dalam Goya’s Ghosts di
satu sisi ada buku-buku Voltaire serta penemuan perihal atom bersanding dengan
kebencian terhadap Yahudi serta praktek inkuisisi Katolik.
Spanyol
dengan demikian bisa kita katakan sebagai wilayah Eropa yang masih terbelakang
atau belum sepenuhnya menerima ide-ide perubahan itu. Gereja sebagai institusi yang
menguasai masa sebelumnya, masa Skolastik/Abad Pertengahan ‘Kegelapan’ Eropa,
masih punya kekuatan yang besar di sana. Praktik inkuisisi yang dari kacamata
modernisme sangatlah tidak berperi kemanusiaan kembali diulangi di sana
lantaran dianggap bahwa kehidupan sudah tidak lagi mengindahkan Tuhan dengan
cara-cara yang lama. Maka, perlulah gereja kembali menerapkan cara-cara
lamanya. Gereja Spanyol dimungkinkan melakukan itu lantaran tatanan lamanya
masih bercokol dengan baik. Yakni hierarki aristokrat yang dilegitimasi oleh
gereja serta—sebaliknya—hierarki gereja Katolik yang dilegitimasi pula oleh
aristokrasi profan.
Di
tengah hal-hal demikian, muncul seniman seperti Francesco Goya. Seniman
kerapnya dianggap sebagai mereka yang bisa berpikir secara bebas. Yang
memungkinkan seniman bisa berpikir secara bebas ini adalah keberadaan mereka
yang bisa masuk pada tingkat aristokrasi dan juga kemungkinan untuk mereka
untuk menjelata bersama di jalanan. Jika anda mengikuti serial televisi Da Vinci’s Demons, hal ini akan kentara
sekali terlihat. Perubahan dari abad kegelapan ke abad pencerahan di Eropa ini
sendiri pun sebenarnya tidak lepas dari sumbangsih dunia seni. Bagaimana
orientasi gambar yang sebelumnya hanya menggambarkan dunia-dunia surgawi, kini
mulai masuk pada potret-potret orang-orang besar serta gambar-gambar manusia
biasa.
Hal
lain dari ranah seni yang perlu dilihat dari film Goya’s Ghosts adalah mulai munculnya seni grafis. Di scene-scene awal film kita melihat bahwa
yang dipermasalahkan pihak gereja yang membawa mereka kembali melakukan
inkuisisi adalah karya grafis dengan teknik cetak buah karya Goya. Jadi seniman
jugalah yang mengakibatkan atau mengguncang kenyamanan ‘penguasa’ dalam hal ini
gereja katolik juga. Selain itu kita juga melihat bahwa bagaimana Goya tetap
menggunakan teknik melukis konfensional, kuas di atas kanvas, hanya ketika ia
menerima royalti-royalti, bayaran besar, dari kaum penguasa, gereja dan
kerajaan. Sedangkan ketika dirinya terganggu oleh sesuatu yang dianggapnya tak
adil maka ia mengeluarkan teknik cetak grafisnya. Ketika gadis yang punya
hubungan darah nan jauh dengan orang Yahudi itu ditangkap dan dimasukan dalam
kamar interogasi, Goya marah dan ia membuat karya grafisnya. Di sini saya kira
sutradara menerjemahkan perihal seni tinggi dan seni rendah serta menunjukkan
potensi kerja keduanya.
***
Untuk
menutup pengantar diskusi ini, saya akan mengajak melihat sosok perempuan di
atas. Ines masuk dan ditangkap oleh inkuisi lantaran perilaku yang menunjukkan
ciri-ciri Yudeaismenya. Ia ditangkap, dimasukan ke tahanan dan lantas
melahirkan di sana oleh hubungan diam-diam dengan Lorenzo Casamares, seorang
padri Katolik. Lorenzo bisa kita lihat sebagai tokoh lama yang menerima pikiran
baru. Ia secara empiris ditunjukan oleh ayah Ines bahwa apa yang menjadi
landasan berpikir gereja itu salah. Ia melarikan diri, barangkali ini karena
memang sudah tidak sejalan dengan gereja. Ia lalu lebih tercerahkan lagi di
Prancis dan lantas pulang ke Spanyol sebagai pembawa pencerahan itu, meski
dengan segala macam seluk sengkarut politiknya.
Sedangkan Ines, setelah
fajar menyingsing di Spanyol, ia keluar dari tahanan dan menemukan dirinya
kehilangan segalanya, termasuk kewarasan. Namun yang tertinggal pada dirinya
adalah memori akan cinta yang luhur. Ia ingat sungguh perihal bayi kecilnya, ia
ingat sungguh pada lelaki yang membuatnya jatuh cinta (seorang pastor yang
datang dan terus memberikan ia peneguhan ketika ia berada dalam kesulitan yang
tak berperi). Namun dunia Ines berhenti di tahun-tahun ketika ia bercinta
dengan Lorenzo. Sedangkan dunia di luar dirinya terus bergerak, berubah, bahkan
bayi kecilnya pun bertumbuh tanpa mengingat siapa ibunya. Pada akhirnya, segala
perubahan yang terjadi selalu saja memakan korban, selalu saja berderap ke
depan dan meninggalkan bangkai korban-korbannya di belakang. Dalam bahasa
Walter Benjamin, kemajuan adalah angin kencang yang berhembus dari firdaus dan
menerbangkan kita ke depan. Yang luput kita lakukan adalah menoleh ke belakang,
alih-alih terus menatap ke depan.***
*Tulisan ini merupakan pengantar pasca pemutaran film "Goya's Ghosts" di Universitas Paramadhina pada salah satu hari di Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar