Senin, 24 November 2014

KEJANGGALAN MALAM, SAYAP IKARUS, DAN PERHENTIAN KESEKIAN YANG TERLELAP

I.
Engkau tentu pernah mendengar kisah Ikarus, bukan? Lelaki yang ingin terbang tinggi menggapai matahari? Ikarus jatuh karena panas matahari memberangus sayap-sayapnya. Namun jangan lupa, Ikarus terpaksa terbang lantaran ia dan ayahnya, Daedalus, dipenjarakan Raja Kereta.

Keinginan untuk terbang bukan datang dari langit. Ia tentu disebabkan sesuatu hal; yang jelas, setiap keinginan terbang manusia didahului kenyataan ia tak bisa terbang. Untuk apa ingin jika sudah?

II.
Aku terkena flu lagi malam ini padahal kepala sekitar 7 menit saja terkena gerimis. Mungkin sugesti dan sedikit keengganan meninggalkan rumah di kala hujanlah kotak resonansinya.

Pukul 18:35. Gang di depan rumah basah dana celana ku pun digulung hingga betis. Ada kekhawatrian pada handphone yang tersiram kopi siang tadi; beberapa saat ia tak mau membiarkan aliran listrik masuk ke tubuhnya. Jalanan ini begitu kukenal meski bukan jalan dari kota asalku. Lagi pula, kota asal bukan lagi suatu tujuan; ia menjelma nostalgia hanya pada saat-saat tertentu.

Perjalanan membuatku lupa pada aroma tanahnya, rasa udaranya, pun pula teriknya yang seronok. Bukan lantaran perjalanan memang mengasyikan, tetapi kisah Sodom dan Gomorah mungkin pernah diceritakan dengan sungguh menyeramkan oleh Ayah Ibu dahulu, sehingga menoleh ke belakang seakan sebuah pantangan kini. Lagi pula, segala yang ditinggalkan tentu berubah dan mendapatkan kekiniannya bukan? Bukan mereka yang tetap tinggal, ingatan kitalah yang mengawetkan waktu atas mereka.

Kesalahan logika jika engkau mendefinisikan a dengan a; atau dengan lebih sederhana, kesalahan logikalah jika kata yang sama muncul dua kali diapiti kata "adalah".

III.
Bunyi kereta. Ada stasiun-stasiun perhentian di setiap relnya. Seorang masinis, bahkan sebuah lokomotif, butuh tempat untuk menetap. Di film Nashville bahkan engkau akan menemukan scene di mana seorang wartawati oon dari BBC berjalan-jalan di tumpukan mobil-mobil tua. Di setiap stasiun yang cukup besar, jika matamu jeli dan kepalamu penuh keserba-ingin-tahuan anak kecil, pasti tertangkaplah sebuah gerbong tua merana, sebuah lokomotif tua karatan, atau roda kereta yang tertanam diam-diam di dalam lumpur. Semua akan tiba pada pemberhentiannya.

Bukan nasib, bukan kefanaan, tetapi energi-energi dan pembusukan-pembusukan yang dimungkinkan oleh segala substansi material yang membentuk tubuh kita. Tak perlu jauh-jauh pada angan kepala tanpa landasan.

IV.
Lantas, ada cerita lain, sebuah cerita yang sungguh tua, hampir setua umur udara Jakarta dalam memori tubuhku, ada yang pergi jauh dengan menyisakan remah-remah cerita yang kini kusesali. Pergi jauh; yah semacam pergi jauh.

Mikrolet 21 Kampung Melayu-Rawamangun menjelma diskotek mini dengan lelampu temaram hijau. Monitor handphone pun menjelma hijau. Bahkan di jalur ini pun tidak ada yang 100 % seperti beberapa tahun silam.

Maka kini, diam-diam, sedikit-sedikit, tentu dengan agak malu-malu, baiklah kudefinisikan "pergi jauh adalah sebuah awal untuk kembali pulang."



Tidak ada komentar: