Tim Peneliti
film Jangankan Suka, Ngerti pun Engga (selanjutnya
disingkat JS) terdiri dari saya dan Sulaiman Harahap. Kami bekerja sejak
pertengahan Juli hingga September dengan membaca berita-berita media massa
seputar TIM periode 1968-1980-an di Perpustakaan DKJ dan juga di beberapa
tempat lainnya. Selain itu juga beberapa buku tentang Bang Ali dan TIM serta
kebudayaan Indonesia secara umum pada masa itu pun menjadi konsumsi kami.
Setelah izin mengakses notulen rapat yang cukup lama ditunggu akhirnya didapatkan,
kami menelusuri notulen rapat pada periode yang sama. Setelah melakukan
penelitian, hasil yang kami dapatkan diserahkan pada tim cerita JS untuk diolah
lebih lanjut. Berikut lebih merupakan catatan dari masa dan hasil penelitian
tersebut
Pertanyaan yang
menggelayut terutama adalah bagaimana bisa kebudayaan atau kesenian di TIM
dianggap mengalami masa keemasannya pada masa ketika Orde Baru tengah berkuasa?
Orde Baru kita tahu sangat kental dengan sensornya di bidang kebudayaan. Salah
satu contoh di bidang sastra bisa kita lihat dalam buku Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru karya
Marshall Alexander Clark. Tentu dapat dijawab dengan mudah bahwa pada masa itu
Ali Sadikin-lah gubernur Jakarta dan beliau begitu concern dengan kebudayaan
dan beliaulah yang membangun TIM. Tetapi apakah keemasan dalam kebudayaan hanya
berarti pembangunan fisik dan dana yang cukup untuk mengidupi
kesenian/kebudayaan itu? Pertanyaan ini muncul karena adanya anggapan bahwa
dalam kesenian selalu ada kekritisan dalam menghadapi keadaan social politik.
TIM dibangun dengan sebuah semangat
bahwa kesenian/kebudayaan harus bebas nilai dari kepentingan politik. Sedangkan
Ali Sadikin sesuai pidato kebudayaannya tahun 1999 menyatakan bahwa TIM
dibangunnya sebagai bagian dari visi dan misinya tentang Jakarta, tentang ibu
kota negara Indonesia. Sebagai ibu kota negara maka Jakarta haruslah juga punya
sebuah kebudayaan yang mencerminkan Indonesia. Sebenarnya agak sulit
mengspesifikan kepentingan politik seperti apa yang dimaksud. Namun dalam
wawancara dengan Ibu Iravati dan Ajip Rosidi sedikit tersimpulkan bahwa yang
dimaksud adalah tidak adanya afiliasi seniman di TIM dengan partai politik
tertentu. Hal ini mengingatkan pada panorama kebudayaan pada periode Orde Lama
yang mana kesenian bertalian erat dengan politik.
Dalam penelusuran arsip notulensi rapat
sendiri kami menemukan adanya hubungan yang sangat erat antara Pemda DKI via
Ali Sadikin dengan DKJ. Sering ditemukan pembahasan mengenai surat, ucapan,
atau kutipan media dari Ali Sadikin. TIM pun bisa dikatakan menjadi kebanggaan
bagi Ali Sadikin sendiri saat itu. Salah satu barometer keberhasilannya sebagai
gubernur adalah TIM bahkan di mata manca negara. Ali Sadikin juga kerap
melindungi seniman atau kesenian di TIM. Dari cerita Ajip Rosidi misalnya
ketika Rendra hendak mentas di TIM, tentara melarangnya. Namun oleh Ali
Sadikin, Rendra lantas berhasil pentas di TIM. Namun demikian, Ali Sadikin pun
kerap menegur beberapa acara di TIM yang menurutnya di luar batas kewajaran.
Kami dalam penelitian cenderung melihat
Ali Sadikin sebagai gubernur bukan sebagai pribadi. Saya sendiri belum
menyaksikan Jejak Bang Ali sehingga
saya kurang paham apa yang menjadi sorotan karya tersebut terhadap beliau.
Dengan melihat Ali Sadikin sebagai gubernur maka, penelusuran kami atas arsip
notulensi rapat menggunakan kacamata hubungan
DKJ-Pemerintah-Seniman-Masyarakat. Dalam hubungan tersebut masyarakat kerap
menjadi objek atau konsumen dari kesenian itu sendiri dan DKJ sebagai semacam
kuratornya, pemerintah sebagai pemerintah, serta seniman sebagai produsen dari
kesenian itu. Di sini pemerintah kerap menegur DKJ jika ada seniman tertentu
yang berada atau ekspresi seninya berada di luar batas yang ditetapkan
pemerintah. Dengan demikian pemerintah pun kerap menjadi badan sensor itu
sendiri. Masyarakat kerap juga menjadi ‘badan sensor’ lain. Dua peristiwa yang
menyedot perhatian dalam rapat DKJ dan juga banyak dibincangkan di media masa
adalah tarian Putih-putih dari Faridah Faisol dan juga Bom Amoniak pada pentas
puisi Rendra.
Pada kasus Rendra, jelas ada hubungannya
dengan kritik Rendra terhadap pemerintah saat itu yang berujung pada ditahannya
Rendra oleh polisi. Sedangkan pada kasus Faridah sensor itu justru datang dari
masyarakat. Dari kedua kasus ini, sebenarnya Faridah lebih bisa kita temukan
saat ini dimana masyarakatlah atau yang mengatasnamakan masyarakatlah yang
lebih banyak melakukan sensor. Dalam kasus Faridah ini maka DKJ sebenarnya
harus mengambil posisi memberi pemahaman pada masyarakat; apa itu seni dan apa
itu pelecehan agama atau juga pelecehan moral. Kesimpulan seperti inilah yang
kami ajukan kepada tim cerita dari JS.
Sekian, bisa dilanjutkan pada diskusi….
*disampaikan dalam peluncuran
film JANGANKAN SUKA NGERTI JUGA ENGGAK di Kineforum TIM 27 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar