Pada tulisannya bertajuk Nietzsche ‘Ad
Hominem’: Perspectivism, Personality and ‘Ressentiment’[1]
Robert C. Solomon membahas gaya berfisafat Nietzsche yang menggunakan metafor
dan aforisme dan terlebih lagi gayanya yang ad
hominem. Ad hominem sebagai
ajektif artinya “…perbandingan dengan perasaan-perasaan atau prasangka dari
pada akal atau intelektual; ditandai oleh atau suatu serangan pada karakter
lawan dari pada dengan jawaban tertentu atas sebuah pernyataan yang ada (dari
lawan tersebut)”.[2]
Pada pembukaan tulisannya, Solomon menyatakan bahwa Nietzsche lebih
cenderung menganggap dirinya sebagai seorang psikolog. Seorang psikolog, lanjut
Solomon, lebih cenderung memeriksa—dalam perbandingannya dengan seorang
filsuf—mengapa seseorang berpegang atau percaya pada ‘sebuah kebenaran
tertentu’ sedangkan seorang filsuf memeriksa apa ‘kebenaran’ itu.[3]
Nietzsche sendiri mengatakan bahwa psikologi-lah—bukan metafisika—jalan menuju
problem yang fundamental.[4]
Namun psikologi yang dimaksudkan Nietzsche barangkali bukan seperti pemahaman
psikologi dewasa ini.
Psikologi bagi Nietzsche bukan berhubungan dengan kisah atau cerita
tentang 'pikiran. Psikologi bagi Nietzsche berhubungan dengan tubuh, tentang pembentukan diri melalui praktek kemasyarakatan dan
tentang hubungan antara kenyataan sosial dan pengarahnya. Dalam Senjakala Berhala-berhala psikologi
terlihat sebagai bagaimana kepercayaan dibelah untuk menunjukan dominasi
kebiasaan di dalamnya. Psikologi juga menyangkut melihat nilai-nilai dalam
kaitannya dengan bahasa tubuh dari symptom (moralitas adalah suatu tanda bahasa
yang merupakan simptomatologi).[5]
Solomon selanjutnya memberi banyak
kutipan dari Nietzsche yang menunjukkan bahwa Nietzsche lebih cenderung menjustifikasi
person ketimbang pemikirannya; ad hominem.
Hal ini misalnya dilihat dari apa yang dikatakan Nietzsche tentang Socrates dan
juga Kant.
Gaya ad hominem sendiri galibnya
dipandang sebagai cara membaca yang ‘tak adil’. Dalam praktek kehidupan
sehari-hari kita cenderung sulit menerima bila ada pernyataan ad hominem. Sebutlah contoh, kita tidak
bisa mengatakan bahwa karya Soekarno Sarinah
sebagai sebuah buku yang jelek lantaran Soekarno terkenal sebagai pria mata
keranjang. Atau misalnya traktak pendidikan dari Rousseau tentu tidak begitu
saja dibuang ke tong sampah lantaran kenyataan bahwa Rousseau sendiri
menelantarkan anak semata wayangnya. Pembacaan ad hominem sebagai sesuatu yang tak adil bisa juga disematkan pada
Nietzsche; tidak lantaran pada Januari 1889 ia kolaps di Turin dan sisa
hidupnya sampai Agustus 1900 menderita kegilaan[6],
sebagai hasil dari penyakit kelamin yang dideritanya semenjak mahasiswa, maka
semua karya Nietzsche dianggap remeh. Sebagaimana juga seperti yang diungkapkan
seorang komentator Nietzsche:
Jangan habiskan waktumu belajar filsafat Nietzsche. Selain ia
seorang atheis, ia juga pada akhirnya menghabisi masa hidupnya dalam kegilaan.[7]
Demikianlah,
argumen ad hominem pun digunakan oleh
para komentator dan pengkritik Nietzsche untuk membicarakan Nietzsche sendiri.
Dalam tulisan ini saya akan berkonsentrasi pada ad hominen sebagai gaya berfilsafat Nietzsche dan bagaimana ad hominem merupakan metode yang tak
terpisahkan dari filsafat Nietzsche. Seluruh tulisan ini bertumpu dari
pembacaan atas artikel Robert C. Solomon di atas pada bagian-bagian tertentu,
terlebih pada tiga sub bab pertama, namun sebisa mungkin saya juga berusaha
untuk mencari bahan-bahan rujukan pendukung lainnya yang akan disebutkan di
catatan kaki.
Ad
Hominem sebagai Gaya dan Strategi Filsafat Nietzsche
Nietzshe tidaklah menulis dalam gaya
filsafat yang rigourus atau ketat. Ia justru menulis layaknya bercerita, dengan
gaya aforisme-aforisme. Hal ini membuat pembacanya tidak langsung dapat
menangkap inti pemikiran Nietzsche secara langsung. Solomon menyatakan bahwa
gagasan Nietzsche seperti ‘keberulangan secara abadi’, ‘Uebermensch’, dll., didapatkan lebih banyak melalui catatan-catatan
Nietzsche yang belum dipublikasikan dan juga dalam tulisan bergaya sastranya Thus Spoke Zarathustra. Membaca
teks Nietzsche yang demikian ini, konsekuensi dari gayanya yang tidak
sistematis akademis namun lebih bersifat sastrawi ini, kita harus selalu
menyadari kekayaan makna yang bisa didapatkan dari kalimat-kalimat berciri
demikian. Membaca teks Nietzsche, kita tak perlu bersusah payah untuk menguliti
teks tersebut untuk mendapatkan apa yang hendak disampaikan penulisnya. Karena,
Nietzsche sendiri tidak menganjurkan pembacanya untuk mengikuti dia, melainkan
mengikuti jalan si pembaca itu sendiri.[8]
Solomon
menegaskan pula bahwa dengan memperhatikan tulisan-tulisan Nietzsche yang ad hominem tersebut terlihatlah bahwa
Nietzsche menuliskan atau mengomentari, dengan kata lain menaruh perhatian yang
besar terhadap tema-tema filsafat sejak zaman antik seperti keasalian
kebenaran, moralitas, religiusitas, kelahiran dan struktur masyarakat,
kebebasan diri dan rasionalitas. Atas ide-ide itu, Nietzsche justru memeriksa
bagaimana ide-ide tersebut bisa muncul, alih-alih menjawabnya atau
mempertanyakannya kembali.[9]
Nietzsche hendak memeriksa, orang seperti apa yang mungkin untuk mengeluarkan
ide tertentu dan percaya pada ide tertentu tersebut. Nietzsche dengan demikian
melihat adanya hubungan antara filsuf dan pemikirannya. Bagi Nietzsche yang
terpenting adalah psikologi dan bukan metafisika. Psikologi baginya adalah alat
yang essensial; “…[psikologi] haruslah diliat sebagai ratu ilmu pengetahuan”.[10]
Solomon
beranggapan bahwa gaya dalam filsafat bukanlah sekadar gaya. Dalam sebuah
tulisan filsafat, gaya tulisannya adalah juga cara pandang atas dunia dan juga
cara berpikir. Dengan demikian tujuan utama tulisan atau filsafat Nietzsche
bukanlah untuk memformulakan sebuah teori, sebuah metafisik yang kuat tetapi
Nietzsche menulis atau berfilsafat demi hidup itu sendiri. Demikian Solomon
menggambarkannya:
Mengapa “kebenaran” sedemikian penting untuk kita, dan tidak hanya
sebagai ahli filsafat? Bagaimana dengan hidup yang mulia atau perbaikan
kepalsuan? Tetapi mengapa kita berpikir bahwa jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan
yang mengganggu itu berada di dalam level abstraksi yang umum bukan suatu
pengujian hati-hati atas diri kita sebagai manusia?[11]
Dengan demikian, Nietzsche hendak
mengajak pembacanya untuk menggali lebih dalam apa yang mendasari diri kita
untuk mencari kebenaran, mencari kehidupan yang mulia, dsb. Terlalu cepat
berlari pada sesuatu yang abstrak, sesuatu yang berada di luar diri manusia itu
sendiri bukanlah hal-hal yang dikehendaki Nietzsche; justru diserangnya. Dengan
demikian, kehidupan manusia itu sendirilah yang menjadi penting bagi Nietzsche.
Penekanan pada
kehidupan sebagai tujuan atau tugas dari filsafat memang adalah ciri khas
filsafat Nietzsche. Filsafatnya disebut juga sebagai seni hidup (eine Kunst des lebens). Hal inilah yang
membuat Nietzsche dianggap dekat atau terpengaruh pula, tentu saja Nietzsche
meradikalkan dan juga mengkritik, tradisi Stoikisme. Kecurigaan atau pemaparan
akan hal itu misalnya dapat kita temukan dalam tulisan R.O. Elveton, Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside[12].
Sehingga, Solomon menekankan pula untuk melihat manusia yang melampaui sebagai sebuah sikap hidup, tentang adanya
atau tak adanya emosi tertentu, dan bukan sebagai sebuah proyeksi metafisif
atau sebagai produk evolusi biologis.[13]
Hal-hal ini bagi sebuah sistem filsafat dan sistem teologi biasanya disematkan
pada dogma-dogma mereka. Nietzsche mengkritik tendensi ini dengan menggali
sesuatu yang ada di belakang dogma-dogma itu. Argumen ad hominem dari Nietzsche bagi Solomon adalah argument yang paling
mampu mengkritisi tendensi filsafat, teologi, dan metafisika ini:
…Apa
yang bisa lebih membinasakan dalam perlawanan terhadap bualan diri yang bajik dari
beberapa filsuf dan teolog dibanding suatu argumentasi ad hominem yang mengikis kredibilitas mereka, yang mengurangi
kealiman dan rasionalitas mereka ke perasaan amarah atau kecemburuan pribadi yang
picik?”[14]
Dengan demikian ad hominem adalah sebuah strategi
Nietzsche untuk membongkar klaim-klaim filosofis, teologi, dan metafisika.
Di dalam gaya
argumentasi ad hominem ini kita pun
menemukan semacam penghinaan sebagaimana ketika Nietzsche membicarakan
Sokrates. Menurut Solomon gaya penghinaan ini merupakan usaha gerilya
psikologis Nietzsche atas Kekristenan dan moral borjuis dari tradisi
Yahudi-Kristen. Dengan penghinaan Nietzsche sebenarnya bertujuan untuk
menggoncang kita. Ia hendak membuat kita jijik. Lantas, kita diajak untuk
“menyelami sejarah dan manusia nyata yang ada di balik segala rasionalisasi
dari tradisi moralitas.[15]
Untuk memeriksa segala klaim moralitas, Nietzsche menggunakan metode ad hominem, yang mana membuat
pemeriksaannya atas moralitas tersebut terlihat sebagai pemeriksaan yang
bengis.[16]
Permasalahannya,
seperti yang sudah disinggung di bagian awal tulisan ini, ad hominem seringnya dianggap sebelah mata. Menurut Solomon,
argumentasi ad hominem memang jika
dipandang dari posisi ilmu pengetahuan[17]
berada pada posisi kedua. Tetapi ia dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu seperti moralitas,
filsafat, agama posisi ad hominem patut
diperhitungkan karena berhubungan dengan manusia dan manusia lainnya.[18]
Dan argumentasi ad hominem persis
pula menunjukkan perkara manusia. Karena argumentasi ini membicarakan perihal
manusia oleh manusia. Kenapa demikian? Dalam perkara moral misalnya, seseorang
tidak dikatakan bermoral lantaran ia menuangkan gagasan-gagasan brilliant
tentang moral, melainkan ia sendiri melakukan sesuatu yang bermoral. Dengan
demikian, dalam perkara moral, argumentasi ad
hominem bisa digunakan dan bisa dikatakan sahih.
Argumen
ad hominem yang buruk memang ada.
Namun di dalam Nietzsche kita menemukan ada relefansi antara argument ad hominem dengan apa yang hendak
dikatakan filsafat Nietzsche. Dengan ad
hominem, Nietzche hendak memeriksa bukan apa yang dikatakan melainkan
mengapa seseorang mengatakan hal itu. Atau dengan kata lain Nietzsche hendak mengajak
untuk mengadakan penyelidikan atas diri sendiri. Dengan ad hominem Nietzsche barangkali menghendaki pembacanya pun pula
memeriksa diri atas segala klaim, kepercayaan dan ide yang mereka miliki.
AD HOMINEM DAN PERSPEKTIVISME
Argumentasi
ad hominem Nietzsche menurut Solomon
menunjukkan sebuah poin penting dalam filsafat Nietzsche yakni ‘perspektivisme’.
Perspektivisme yang dimaksudkan adalah:
Seseorang selalu mengetahui atau mempersepsikan, atau memikirkan
sesuatu dari sebuah perspektif yang particular—tentu saja tidak hanya
menyangkut keluasan sudut pandang, tetapi sebuah konteks yang particular yang
melingkupi kesan, pengaruh. dan gagasan, melalui bahasa orang itu dan pengaruh
kesosialannya dan, akhirnya, ditentukan hampir segalanya tentang dirinya,
psiko-fisik (psychophysical) seseorang, dan sejarahnya.[19]
Bagi Nietzsche, setiap perspektif
yang hendak mengklaim tak berkonteks waktu dan universal haruslah ditolak.
Baginya spirit objektivisme hanya mungkin dengan mencari begitu banyak sudut
pandang yang dapat diakses. Pengetahuan yang benar dengan demikian adalah
memiliki pemahaman yang digeneralisir dari sebanyak-banyaknya sudut pandang.[20]
Menggabungkan
poin pemikiran Nietzsche tentang ‘perspektivisme’ ini, menurut Solomon,
tepatlah jika metode yang digunakan Nietzsche adalah ad hominem. Kebenaran bagi Nietzshe selalu particular dan jika
hendak mencari sebuah objektivisme seseorang harus melihatnya atau
menggeneralisirnya dari berbagai sudut pandang secara maksimal. Sedangkan ad hominem adalah sebuah pemeriksaan
atas orang dengan pemikiran atau kepercayaan tertentu. Dengan demikian, metode ad hominem adalah metode yang mendukung
point pemikiran tentang ‘perspektivisme’ ini. Dengan formulasi yang lain bisa
dikatakan bahwa metode ad hominem dari
Nietzsche sejalan dengan, jika bisa dikatakan, epistemologinya; bahwa
pengetahuan bersifat parsial dan tak ada yang universal sehingga untuk mencari
tahu pengetahuan seperti apa yang ada pada seseorang maka metode yang mungkin
untuk itu adalah metode ad hominem.
Pertanyaan
kemudian adalah apakah dengan demikian taka da sebuah kebenaran tunggal atau
sebuah kebenaran yang melandasi pengetahuan-pengetahuan yang particular itu?
Atau dengan kata lain apakah ada “kebenaran pada dirinya”? Nietzsche menjawab
hal itu dengan mengatakan bahwa, “tak ada fakta, yang ada hanya interpretasi”.
Selain itu baginya tak ada fakta moral.[21]
Permasalahan selanjutnya, sebagaimana diuraikan Solomon adalah apakah dengan
demikian semua perspektif, karena sifat perspektif yang particular, sudah
selalu benar? Atau dengan kata lain apakah Nietzsche adalah seorang relativis?
Sampai pada pertanyaan ini barangkali kita bisa mencium alasan kenapa Nietzsche
begitu banyak menginspirasi para pemikir postmodernisme semisal Jacques Derrida,
Michel Foucault dan Luce Irigaray.[22]
Persis di dalam postmodernisme kita tahu hilangnya narasi besar, hilangnya
kebenaran tunggal diganti dengan narasi-narasi kecil dan kebenaran yang
parsial; dengan kata lain relativisme. Barangkali lantaran dengan
‘perspektifisme’ Nietzsche ini ada kemungkinan atas terbukanya atau masuknya
relativisme.
Menurut
Solomon, perspektif selalu adalah perspektif atas sesuatu. Dengan demikian,
sebuah perspektif yang particular selalu menyangkut sesuatu yang tertentu.
Terhadap masalah moral misalnya akan ada banyak perspektif tentang moral dari
orang-orang yang berbeda (katakanlah misalnya ada perspektif moral Kant, ada
perspektif moral Utilitarianisme dsb.). Lantas, apakah semuanya benar? Apakah
kita harus menerima segala klaim, atau segala perspektif, akan moral ini
sebagai sesuatu yang benar? Menurut Solomon, pada titik inilah metode
argumentasi ad hominem dari Nietzsche
menjadi penting keberadaannya. Di sinilah metode ad hominem bukan sekadar sesuatu
yang ngawur, bukan sekadar sebuah gaya penulisan tetapi penting sebagai sebuah
metode.
Metode ad hominem adalah metode untuk menemukan
diri seseorang; pemeriksaan atas seseorang. Ini membawa kita pada apa yang
dikatakan di awal oleh Solomon tentang penekanan Nietzsche sebagai seorang
psikolog ketimbang seorang filsuf. Sebagai seorang psikolog, NIetzshe
menggunakan metode pemeriksaan ad hominem
yakni memeriksa langsung pada manusia yang mempunyai perspektif tertentu.
Perspektif adalah pandangan seseorang atas sesuatu; yakni kebenaran akan
sesuatu yang bersifat tidak tunggal tetapi particular.
Setiap
manusia punya perspektif yang berebeda akan objek. Mereka menghasilkan
perspektif yang berbeda. Untuk memeriksa perspektif terhadap masing-masingnya,
Nietzsche menggunakan metode ad hominem.
Metode ini tidak memeriksa bagaimana mereka melakukan penelitian atas obyek dan
juga tidak memeriksa kenapa menghasilkan perspektif tertentu, melainkan ia
memeriksa pada subyek yang berpikir tersebut. Dan mencari tahu mengapa ia bisa
berpikir dengan cara A dan bukan B dan mengapa hasil pemikirannya adalah A dan
bukan B.
Dengan
demikian, melalui metode ad hominem inilah
bisa ditemukan mana yang memiliki perspektif yang kuat dan mana yang lemah.
Dalam moral menurut Nietzsche maka akan ditemukan mana yang bisa dikatakan
sebagai perspektif budak dan mana yang bisa dikatakan sebagai perspektif tuan.
Nietzsche tidak peduli dengan pemikiran A, pemikiran B, atau pemikiran C,
tetapi ia hendak memeriksa mentalitas atau apa yang mendasari seseorang
berpikir A dan orang lain berpikir C dan orang lainnya lagi berpikir B. Dengan
demikian metode ad hominem sejalan
pula dengan penegasan Nietzsche bahwa ia lebih menyerupai seorang psikolog.
Dengan kata lain, Nietzsche seumpama seorang hakim yang memeriksa dan
menjustifikasi mentalitas yang mendasari segala pemikiran.
PENUTUP
Pada tulisan di
atas sudah terjawablah bahwa cara argumentasi ad hominem dari Nietzsche merupakan sebuah metode yang tidak bisa
tidak harus digunakan di dalam filsafatnya sendiri. Salah satu point penting
pemikiran Nietzsche adalah perspektivisme yang mana tidak mengakui adanya
sebuah perspektif tunggal dan paling benar tetapi ia mengakui adanya berbagai
perspektif. Hal ini sejalan dengan apa yang kita tahu bahwa menurut Nietzsche
alam semesta ini bersifat chaos, tak ada yang tetap dan tunggal di dalamnya.
Dan di dalam ke-chaosan itu manusia berada. Manusia lantas menggunakan filsafat
dalam hidup ini. Kita ingat pula bahwa bagi Nietzsche filsafat adalah sebuah
seni hidup.
Nietzsche dengan metode ad hominem-nya lantas memeriksa seni hidup seperti apa yang sedang
dijalankan kita. Ia datang dan memeriksa pemikiran dan filsafat, menggugat dan
mempertanyakan segala klaim. Bagi Nietzsche yang terutama dengan demikian
adalah seseorang yang berpikir itu, atau manusia yang berpikir itu, dan
bagaimana struktur manusia itu, latar belakang manusia itu yang membuatnya bisa berpikir demikian. Hal ini
dengan demikian sejalan dengan apa yang dikatakan bahwa jalan utama untuk
pengetahuan adalah psikologisme.
Sampai di titik ini, penulis beranggapan bahwa Nietzsche
menunjukkan ciri khasnya yang utama sebagai seorang anak Masa Pencerahan.
Dengan metode ad hominem, dengan perspektifisme, dan penekanan pada psikologi seperti yang sudah diutarakan
di atas kita menemukan bahwa yang terpenting adalah manusia yang berpikir.
Namun Nietzsche tidak berhenti di situ. Ia lebih jauh memeriksa struktur
manusia seperti apa yang memungkinkan manusia berpikir demikian dan demikian.
Metode ad hominem dengan demikian bisa jadi sebuah metode yang
paling mungkin dan paling mendasar untuk memeriksa manusia; manusia yang oleh
masa pencerahan sangatlah penting. Nietzsche sebagai anak zaman pencerahan
meradikalkan pentingnya manusia ini. Ia lebih jauh bahkan memeriksa struktur,
unsur-unsur manusia yang berpikir itu.***
DAFTAR BACAAN:
Elveton, R. O.,
“Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside”, dalam Paul Bishop (ed.), Nietzsche and Antiquity: His Reaction and
Response to the Cllasical Tradition, (Toronto: Husion House), 2004, hlm.
192-203.
Sedgwick, Peter R., Nietzsche: The Key Concepts, (Oxon:
Routledge), 2009.
Solomon, Robert C.,
“Nietzsche 'Ad Hominem': Perspectivism, Personality and 'Ressentiment'"
dlm Bernd Magnus dan Kathleen M. Higgins (eds.), The Cambridge Companion to Nietzsche, (Cambridge: Cambridge
University Press), 1996, hlm 180-222.
Spinks, Lee, Friedrich Nietzsche, (London:
Routledge), 2003.
Wibowo, A. Setyo, Gaya
Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press), 2004,
KAMUS
Kamus Elektronik Merriam-Webster, Copyright @2003 Merriam-Webster Incorporated
Version 3.0.
[1] Robert C. Solomon, “Nietzsche
'Ad Hominem': Perspectivism, Personality and 'Ressentiment'" dlm Bernd
Magnus dan Kathleen M. Higgins (eds.), The
Cambridge Companion to Nietzsche, (Cambridge: Cambridge University Press),
1996, hlm 180-222.
[4] Sebagaimana dikutip
dalam Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The
Key Concepts, (Oxon: Routledge), 2009, hlm. 131.
[5] Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts…, hlm.
131-132.
Simptomatologi adalah suatu
cabang ilmu medis yang berurusan dengan symptom (gejalah) dari penyakit. Dari
Kamus Elektronik Merriam-Webster, Copyright
@2003 Merriam-Webster Incorporated Version 3.0.
[8] Hal ini seperti
diungkapkan A. Setyo Wibowo dalam bukunya Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta:
Galang Press), 2004, terutama bagian Pengantar Penulis dan Bab I. Penulis buku
tersebut menambahkan pula bahwa, nanti akan bisa dilihat, tafsiran mana yang
bergaya dekaden atau ascenden. Bagi Nietzsche sendiri, seperti
yang dikupas dalam buku ini, bahwa ada orang yang cukup kuat untuk masuk ke kedalaman
dan ada juga yang tidak cukup kuat sehingga cukuplah untuk tidak masuk ke
kedalaman.
[12] R. O. Elveton,
“Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside”, dalam Paul Bishop (ed.), Nietzsche and Antiquity: His Reaction and
Response to the Cllasical Tradition, (Toronto: Husion House), 2004, hlm.
192-203.
[17] Yang dimaksud Solomon
barangkali ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu alam, matematika, dsb., atau bisa
dikatakan ilmu-ilmu yang tidak menjadikan manusia sebagai lokus penelitiannya.
**Tulisan ini merupakan tugas tengah semester mata kuliah NIetzsche di Program Magister STF Driyarkara, semester ganjil 2013/2014.
1 komentar:
Mantep, memberi saya pandangan yg berbeda thd Nietzsche..
Posting Komentar