Sudah
lebih dari empat dekade berlalu semenjak terjadinya G30S. Inilah peristiwa yang
menurut banyak
pengamat dan sejarawan Indonesia adalah tonggak penting perjalanan bangsa ini
pasca kemerdekaan. Wacana 1965 sampai saat ini terkesan terus digarap, tak
putus-putusnya dibincangkan, dibaca ulang, ditulis ulang, seperti yang terjadi
dengan tulisan ini. Sehingga terkesan membosankan dan menjenuhkan untuk
segelintir orang.
Peristiwa
yang “menekuk-lututkan” partai komunis terbesar dunia di luar Uni Soviet dan
RRC waktu itu pada hematnya harus dilihat sebagai trilogi; peristiwa G30S
dengan segala versinya, pembantaian 1965, dan pembuangan Pulau Buruh serta para
eksil di luar negeri (Warman Adam, 2004). Sejak itulah, di bawah kaki Orde
Baru, “kiri” menjadi sesuatu yang diharamkan di negeri ini
sekaligus menjadi ‘pembunuh’ menakutkan baik bagi para pemeluknya mau pun
bukan.
“Kiri”
versi rezim penguasa, “kiri”yang membunuh para jenderal dan berusaha mengkudeta
lama nian
bercokol di ingatan kolektif bangsa sebagai sebuah kebenaran. Ingatan kolektif
yang terseleksi sesuai keinginan penguasa dan parsial ini melupakan, menutup
mata atau menutup pintu rapat-rapat untuk versiversi berbeda, entah versi para
korban mau pun versi saksi mata kala itu. Rakyat negeri ini pun begitu lamanya
mengidap amnesia sejarah. Goebbels, seorang Nazi Jerman, pernah berujar;
ceritakan sebuah tipuan berkali-kali, niscaya akan menjadi kebenaran. Mungkin
seperti itu yang terjadi di negeri ini.
Demi
melawan penyakit amnesia sejarah, tidak bisa tidak, versi sejarah yang
dahulunya dibungkam harus diberi tempat, terus diperbincangkan, dibaca ulang,
dan ditulis ulang. Dia tidak boleh membosankan bila belum semua kita terbebas
dari penyakit itu, bila belum semua kita mengakui kesalahan masa lalu. Dalam
usaha itu, sastra pun turut andil, memberi arti berbeda pada amnesia sejarah
ini. Sastra dalam perbincangan ini menjadi penting bukan hanya karena
keterlibatan pengarang pada perubahan atau peristiwa sosial tertentu, melainkan
juga karena sebuah karya berkolerasi dan saling melengkapi dengan situasi
sosial di luar dirinya. Inilah yang ditanggapi cerpen-cerpen karya Linda
Christanty, Agus Dermawan T, dan Imam Muhatron (untuk menyebut beberapa nama).
Karya mereka yang mengangkat ihwal peristiwa 1965 dalam seliweran kegairahan
prosa Indonesia sejak 1998 menjadi menarik untuk diamati.
***
Beberapa
cerpen yang menyinggung peristiwa 1965 yang sempat singgah di pembacaan saya
menonjolkan sisi ingatan korban orang kedua (mereka yang tidak menjadi obyek
dalam penangkap mau pun pembantaian). Tamu
(Kompas, 20 Juni 2004) karya Ratna Indraswari Ibrahim, Kami Bongkar Rumah Kami (Suara Merdeka, 15 Juli 2007) karya Imam
Muhtarom dan Candik Ala (Kompas, 30
September 2007) karya GM Sudarta misalnya mengungkit perihal korban tak
langsung prahara itu.
Ayah
dari Dara dalam Tamu dibawa pergi
beberapa orang pada 7 November 1967 tanpa alasan yang jelas dan tak pernah
kembali lagi. Sebagai seorang Kabag, Papa Dara tidak terlibat partai apa pun.
Ia pun bukan orang yang fasih dan penganut kiri. Buku-buku berhaluan kiri
titipan Om Daryo di rumah pun sudah dibakar. Tamu memperlihatkan bahwa siapa saja, kiri mau pun bukan, bisa
dibawa pergi dan tak pernah kembali pada fase pembantaian 1965. Kenangan akan
ayah yang dibawa pergi dan tak pernah kembali menjadi kenangan teramat
menggetirkan bagi Dara dan daradara yang lain.
Dalam
Kami Bongkar Rumah Kami yang
mengangkat tokoh generasi ketiga dari sebuah keluarga, rumah menjadi saksi
kesengsaraan keluarga besar sang algojo di pembantaian 1965. Semenjak salah
satu anggotanya menjadi Sang Pembelih, rumah itu tak urung dirundung malang.
Betapa tidak. Selain seluruh penghuni rumah, kecuali Sang Pembeli atau Pak Min,
menanggung beban moril, mereka pun harus menghadapi kesintingan Pak Min. Ketika
suara-suara sayatan 1965 menghantui lagi Pak Min di tahun 1980-an, ia akan
mencari apa saja, membuat kegaduhan bagaimana
saja, sampai ada suara-suara teriakan yang mendiamkan suara sayatan yang
menghantuinya. Pada 2006, generasi yang mendiami rumah itu pun berinisiatif merenofasi
rumah itu. Mereka pun berencana membangun sebuah taman dengan pohon-pohon cemara
untuk menggantikan pekarangan yang tak terurus dengan sepuluh pohon kelapanya
agar …mengingatkan kami bahwa kami hidup
pada tahun 2006 dan bukan berada di tahun 1967…
Rupanya
peristiwa di 1967 bukan saja menyisahkan kegetiran bagi Dara yang ayahnya
dibawa pergi dan tak pernah kembali, tetapi juga menyesakan dan menghantui
keluarga besar Pak Min sang eksekutor. Keduanya mencandrakan bagaimana
peristiwa seputar 1967 tidak memberikan keuntungan apa-apa untuk siapa pun.
Yang mengeksekusi dan yang dieksekusi sama-sama menderita. Tetapi, tentu saja
ada yang memancing dan mendapat untung di air keruh.
Dalam
Pesta Terakhir (Koran Tempo, 21
Desember 2003) karya Linda Christanty, ‘yang mengeksekusi’ dan ‘yang
dieksekusi’ menjelma satu tubuh; dalam tokoh Lelaki Tua. Dari tahanan politik
peristiwa 1965 di Penjara Salemba, ia menjelma seorang juru catat yang menjebloskan
teman-temannya ke penderitaan yang lebih parah. Dari menderita di penjara,
hidupnya berubah menjadi begitu penuh materi karena kerja spionasenya itu.
Namun di hari tuanya, Pak Tua merenungkan kembali perjalanannya dan menyesali diri.
Ia hendak membuat pengakuan ketika pada Mursid, sesama aktifis Lekra yang
dijebloskan ke penjara waktu itu. Namun sayang, sebelum hal itu tercapai,
cucunya mengalami kecelakaan. Lelaki Tua pun berlari menyelamatkan cucunya dan
tak sempat membuat pengakuan. Betapa peristiwa 1965 menyimpan begitu banyak
teka teki kecil dan misterimisteri kecilnya yang bisa saja tak akan pernah terungkapkan.
Cerpen
Sejumlah Konon di Rumah Loteng (Suara
Pembaruan, 15 Juli 2007) karya Agus Dermawan T bagaikan puzzle kenangan dengan
bongkar pasang kisah yang berganti-ganti. Setiap kisah dihiasi konon. Misalna … konon pada bulan Agustus tahun 1942, atau sampai akhirnya datang ke telingaku sebuah konon yang lain. Dengan
menggunakan kata konon, kisah-kisah kecil akibat gejolak sosial politik negeri
ini menjadi ‘isapan jempol’ semata, bukan sebuah realitas sejarah yang harus
serius digarap. Begitu juga konon lain yang mengisahkan … Pada bulan Desember 1965 rumah itu tibatiba digedor-gedor sekelompok
orang. Dikatakan oleh orangorang
tersebut bahwa si penghuni rumah menyembunyikan seorang buron di atas loteng.
Maka, bisa saja begitu lama cerita getir tentang para korban peristiwa-peristiwa
berdarah di negeri ini, seperti para penghuni Rumah Loteng yang berganti-ganti
itu, hanya menjadi sebuah ‘konon’, semacam dongeng pengisi waktu senggang.
Berat Hidup di Barat
(Kompas, 9 Mei 2004) karya sastrawan eksil Soeprijadi Tomodihardjo menceritakan
kisah Eric Sullivan, seorang eksil dari Addis Ababa, Ethiopia. Eric Lewat tokoh
aku diceritakan mengalami adaptasi yang setengah-setengah di lingkungan
barunya, sebuah flat di Jerman(?). Akibatnya, gaya hidupnya dan kebiasaannya
yang berbeda dengan orang-orang sekitar membuat keluarganya dikucilkan. Eric
Sullivan sebenarnya adalah proyeksi kehidupan tokoh aku sendiri yang adalah seorang
eksil Indonesia. Sesuai judulnya, Berat
Hidup di Barat menggambarkan bagaimana sulitnya para eksil di luar negeri
memluai hidup baru di tanah baru, jauh dari lingkungan asalnya. Namun mereka
tetap bertahan,seperti Eric Sullivan yang sampai kini masih tinggal di flat itu
dengan anaknya yang kini sudah lima orang.
***
Karya
sastra selalu mengiringi setiap perubahan sosial dan masyarakat. Walau pun
jarang menjadi narasi besar dalam kehidupan, sastra selalu turut mewarnai, merefleksikan,
memberi nilai pada kehidupan dan perubahan kehidupan itu sendiri.
Cerpen-cerpen
yang disebutkan di atas tidak mengangkat tokoh-tokoh besar, para pelaku sejarah
yang
menjadi kanon. Seorang pegawai negeri kecil (Tamu), seorang pengkhianat yang resah di masa tua (Pesta Terakhir), para penghuni rumah
loteng (Sejumlah Konon di Rumah Loteng),
seorang penjagal dan keluarga yang menanggung malu (Kami Bongkar Rumah Kami) adalah mungkin tokoh-tokoh kecil yang
cepat terlupakan kehidupan. Namun melalui cerpen-cerpen ini, kita diingatkan
bahwa perjalanan bangsa pernah mengorbankan mereka. Karena pada dasarnya,
sastra yang fiksi itu merefleksikan dan menyiratkan serta menyuratkan apa yang
pernah, sedang dan akan terjadi.
Peristiwa-peristiwa
kecil yang menghiasi prahara 1965 di pelosok-pelosok desa dan kampung sering
hanya menjadi ‘konon’. Melalui karya-karya sastra, sadar atau pun tak sadar,
peristiwa-peristiwa kecil itu masuk ke benak kita dan menyadarkan kita akan
kerja renovasi yang belum dilakukan, yang belum dirampungkan. Arkian,
kesalahan-kesalahan masa lampau harusnya tak pernah lagi ada, amnesia sejarah
mestinya disembuhkan secepatnya.***
(dipublikasikan pertama kali di media populer alternatif PendarPena Nomor 10, Tahun Pertama, September2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar