Judul : The Prague Cemetery
Pengarang : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Tebal : vii + 612
Penerbit : Bentang (Yogyakarta, 2013)
Umberto Eco adalah nama yang
tak asing bagi pencinta sastra dan filsafat di
dunia pun pula Indonesia. The Name of
The Rose, novel pertamanya, sudah
berhasil mengukuhkannya sebagai sastrawan besar dunia. Eco tak bisa sekadar
kita lihat sebagai sastrawan kelas wahid dunia. Ia juga seorang filsuf,
terkhusus semiotika, yang diundang memberi kuliah di universitas-universitas
termuka dunia. Selain itu, pakar sejarah abad pertengahan
Eropa adalah titel yang tak salah
disematkan padanya. Dan saya kira, tiga
kemampuannya itu bermuara penuh pikat dalam novel teranyarnya, The Prague Cemetery.
The
Prague Cemetery berkisah tentang Eropa abad ke-19; Eropa yang dilanda badai
pencerahan. Abad Pencerahan terutama dicirikan oleh pemahaman bahwa manusialah
titik awal dan tujuan dari dunia dan kehidupan. Yang terpenting adalah manusia
yang berpikir. Cogito ergo sum—aku
berpikir maka aku ada—demikian diktum terkenal Rene Descartes, filsuf Aufklaerung. Dalam The Prague Cemetery, setelah Bab I berisi narasi narator pertama,
Eco lantas mengajukan judul Bab II yang sangat berciri pencerahan ini,
“siapakah aku”. Setelah itu, mengalirlah pada kita cerita tentang Eropa pada
abad itu.
Eropa abad ke-19 diceritakan melalui
seorang figur yang katakanlah berada di dua kaki. Ini salah satu kecemerlangan The Prague Cemetery yang membuat kita menganga. Simonini hidup bersama
kakeknya, seorang pembenci Aufklaerung
yang merongrong kesucian Gereja. Dalam sejarah, masa sebelum Aufklaerung dikenal sebagai Abad Kegelapan yang dicirikan oleh
kekuasaan Gereja Katolik dengan Tuhan sebagai yang terutama. Di sisi lain, ayah
Simonini adalah anak zaman Aufklaerung.
Ayahnya sangat membenci gereja, terkhusus Jesuitisme yang justru adalah
kawan-kawan karib Kakeknya. Dari Sang Kakek Simonini mendapatkan warisan
pemikiran Abad Pertengahan dan melalui Ayahnya, ia mendapatkan faham-faham
progresif ala Aufklaerung. Eco mengajukan tokoh protagonis utama, Simonini,
sebagai potret kegamangan manusia yang berada pada perarlihan zaman. Pada
Simonini, semangat zaman sebelumnya tak hilang begitu saja, bersamaan dengan
itu, semangat zaman baru pun merasukinya.
Dua hal berbeda yang terjadi di masa
kecil Simonini mewarnai keseharian selanjutnya. Dan The Prague Cemetery berhasil menghadirkan Eropa abad 19 secara
lengkap—ide Aufklaerung, komunisme,
psikologisme, feodalisme, gereja, dan Semitisme—lantaran tokoh utamanya adalah
Simonini yang berada pada persimpangan ini. Dengan latar belakang diri yang
mengetahui seluk beluk kekuasaan lama dunia (Gereja) dan ide-ide kemajuan,
serta pencerahan, Simonini leluasa memasuki segala relung Eropa abad ke-19. Dari Perayaan
Ekaristi Setan hingga Komune Paris, dari sang pemberontak Garibaldi hingga
penulis kenamaan Dumas dapat dirangkai Simonini. Untuk itu, Eco harus
menciptakan tokoh fiktif—seperti keterangan yang diberikan pada halaman
604-605—Simone Simonini yang kuat.
Eco
pada hemat saya mematahkan cara bertutur sastra konfensional. Galibnya, untuk
menceritakan kisah secara lengkap, penulis menggunakan sudut pandang ‘orang
ketiga serba tahu’. Sedangkan sudut pandang ‘akuan’ biasanya akan terjebak pada
penceritaan hanya pada satu sudut saja. Eco justru menggunakan sudut pandang ‘akuan’. Namun
‘akuan’ Eco adalah ‘akuan serba tahu’. Untuk itu, Eco mempersiapkan dengan
teliti tokoh ‘akuan’-nya, Simone Simonini.
Namun,
Eco terlalu pandai untuk menciptakan Simonini bak manusia super. Isi kepala
Simonini memang mendua. Konsekuensinya, dengan memanfaatkan pengetahuan yang katakanlah
briliant atas ilmu psikologisme pra-Freud, Eco memberi konsekuensi yang tak
gampang untuk tokohnya. Simonini mengidap
kepribadian ganda. Namun, kepribadian gandai ini pun dengan lihai dimanfaatkan
Eco untuk menciptakan puncak-puncak konflik The
Prague Cemetery.
The Prague Cemetery
adalah sejarah Eropa yang digambarkan dengan lihai dan piawai. Fakta-fakta
sejarah berpadu dongeng yang menjelma novel sejarah nan memukau. Dalam The Prague Cemetery kita menyaksikan
tarikan antara pola pikir dan penguasa dunia lama, Gereja, berhadapan dengan
pola pikir yang baru, modernisme/individualisme. Kita pun bahkan mampu mencium
akar dari Perang Dunia II di dalam novel ini. Dalam Perang Dunia II kita tahu
ada sebuah narasi besar yakni pembantaian atas Ras Yahudi oleh Hitler dan
Nazinya. The Prague Cemetery rupanya
menunjukkan pada kita bagaimana akar dari kebencian atas Yahudi itu terjadi di
Eropa, bahkan sebelum Perang Dunia I.
The Prague Cemetery pada
hemat saya adalah sebuah novel sejarah yang mendekati sempurna. Pengetahuan
sejarah yang baik dan kelihaian memanfaatkan pengetahuan itu dalam sebuah
narasi cerita menampak dalam novel ini. Rupanya dengan novel Umberto Eco ini
kita bias belajar dan mengukur kualitas novel sejarah dalam negeri kita. Semoga
kita banyak belajar dari The Prague
Cemetery dan Umberto Eco.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar