Judul Buku : Radja Ketjil: Badjak Laut di Selat Malaka
Pengarang : H. Rosihan Anwar
Penerbit : Indira, Jakarta, 1967
Tebal : VII + 173
Adalah seorang
tokoh sejarah yang ceritanya pun samar-samar sampai pada kita yang dikisahkan
Rosihan Anwar dalam buku ini. Ialah Radja Ketjil yang kerap dikenang juga
dengan berbagai nama; Radja Hitam, Ibahim, Ibn Iskandar. Banyak pula
dugaan-dugaan tentang asal-usul tokoh yang satu ini. Selain dispekulasikan
berasal dari Minangkabau, dia juga diduga sebagai anak dari Sultan Mahmud Sjah
II dari Djohor
Suatu keuntungan dari genre novel sejarah pada hemat saya adalah
kemampuannya membawa pembaca pada suatu hal yang beda sama sekali dengan
keseharian sang pembaca. Dalam hal ini masa lalu; masa yang lebih sering
dilihat oleh masyarakat masa kini sebagai sebuah masa yang eksotis dan
menyimpan misteri. Apalagi di tengah kemerosotan sebuah jati diri kebangsaan
dan kebanggan sebagai bangsa yang kian melemah akibat keterpurukan bangsa di
kancah dunia, novel sejarah yang menceritakan kehebatan, keindahan,
kecemerlangan dan keperkasaan bangsa di masa dahulu adalah sebuah penyejuk nan
segar untuk pembaca yang tak mau memandang realitas sekarang dengan teguh dan
mau melawannya.
Maka, hal-hal lain dalam novel bisa saja terlupakan apabila novel
sejarah tersebut menggambarkan secara umum saja kehidupan di masa lalu dan
segala variannya. Niscaya, setting yang berbeda dengan keadaan pembaca
sekarang, lian yang dihidupkan di tengah pembaca yang terbebani rutinitas, akan
diterima pembaca sebagai keindahan, sebagai sebuah kebenaran masa lalu yang
tentu saja membawa nostalgia. Maka, terselamatkanlah, kalau ada,
ketimpangan-ketimpangan lain novel sejarah oleh settingnya yang lian itu.
Sebab, pembaca novel bukanlah pembaca sejarah yang bisa membedah mana realitas
sejarah yang patut berterima dan mana yang tak patut diterima.
Nah, apa yang dibeberkan
panjang lebar di atas itulah salah satu keuntungan novel Rosihan Anwar ini.
Dengan mengantongi indentitas novel sejarah, apalagi dengan tema kelautan yang
jarang digarap itu, Rosihan Anwar berhasil menelorkan sebuah novel yang cukup
enak dibaca, dalam pengertian enak dipandang sebagai sebuah realitas yang lian
dengan realitas kita sekarang.
***
Ada juga
selentingan sekadar candaan bahwa untuk ‘menyelamatkan’ sejarah yang
samar-samar, maka tuliskanlah ia menjadi sastra. Dengan selentingan seperti
ini, kita sebenarnya punya sebuah masalah. Fakta sejarah terkadang dipakai
hanya sebagai alat untuk mengembangkan imajinasi fiksional yang lantas
melahirkan novel sejarah. Namun terkadang juga, dengan merujuk selentingan itu bila
pun benar, novel sejarah adalah alat untuk tak menyia-nyiakan fakta sejarah
yang masih dipertanyakan dan masih belum rampung.
Tengoklah bagian epilog novel Radja Kecil ini.
Di sana dituliskan Rosihan Anwar: “…Segalanya ini menimbulkan kesulitan dalam menceritakan
riwayat Raja Kecil menurut kejadian yang sebenarnya. Dari berbagai versi ini
haruslah dilakukan suatu pemilihan. Untunglah dalam hal ini kita berhadapan
dengan suatu novella-sejarah, dengan accent atau tekanan pada novella, sehingga
di sana-sini terbuka kebebasan yang lumayan bagi pengarang melukiskan bahan
ceritanya”. Pernyataan ini sungguh mengganggu pembacaan novel ini pada hemat
saya. Terkesan seolah-olah karena sulit menuliskan kisah Raja Kecil yang
sebenarnya, maka penyelamatannya adalah menuliskan novel sejarah.
Sastra dan
sejarah sungguh berbeda sebenarnya dalam fungsi dan gayanya. Sastra
menghadirkan sebuah kisah fiksi yang mampu mengajak pembaca berefleksi dan
mengkreasikan sebuah realitas fiksional yang baru. Sedangkan pengetahuan sejarah
adalah pengetahuan untuk memahami masa lalu, yang bisa dijadikan cerminan hari
ini dan hari nanti. Jadi, sungguh sayang bila novel sejarah dianggap sebagai
penyelamatan fakta sejarah yang kabur dan samar-samar. Memang, Rosihan Anwar
menulis sebuah novel di mana dia bisa bebas mengkreasikan kisah. Namun
pernyataan di bagian epilog yang dikutip di atas, mengganggu sungguh atas
sebuah pembacaan novel.
Terlepas dari masalah itu pun, novel Raja Kecil tidak penuh sebagai
sebuah novel. Dalam pengertian, ia tidak mencirikan sebuah novel yang baik.
Walau pun berjudul Raja Kecil, novel ini tidak seratus persen menjadikan tokoh
Raja kecil sebagai sentral cerita. sebagai individu yang utuh. Rosihan Anwar
hanya sekadar menggambarkan Raja Kecil yang di permukaan saja. Siapa dia,
kedudukannya, sepak terjangnya dalam perang dan beberapa hal yang tidak
personal lainnya. Namun, hal-hal personal seperti perasaannya, dialog-dialog
batin dan visi hidupnya tidak dieksplorasi secara mendalam dalam novel ini.
Maka, novel ini terkesan hanya sebagai review saja dari sepak terjang Raja
Kecil dalam kedudukannya sebagai seorang raja.
Berbeda misalnya
bila kita membaca Dokter Zhivago—sebuah novel sejarah juga saya kira—di mana
tokoh sentral ada pada Yuri Zhivago. Dalam Raja Kecil, seperti yang pernah
diungkapkan juga oleh Ajip Rosidi dalam Pelopor Baru (16/7/97), tokoh Raja
Kecil tidak mengambil posisi seperti posisi Yuri Zhivago dalam Dokter Zhivago.
Meskipun demikian, novel ini sungguh
berhasil dalam hal menggambarkan keadaan perniagaan Selat Malaka di tahun
1770-an, kehidupan di kota-kota pelabuhannya dan juga kehidupan para bangsawan,
para perompak dan juga perpolitikan antar suku yang suka mengembara di perairan
nusantara. Bagaiamana kelompok pelaut bugis muncul yang dianggap oleh
kebanyakan orang hanya bis berkelahi, dan bagaimana perpolitikan mereka di
wilayah perniagaan nusantara adalah salah satu contoh keberhasilan novel ini.
Akhirul kalam, novel Raja Kecil
patut kita beri tempat yang layak karena keberaniannya mengangkat setting dan
latar cerita dari sebuah kurun waktu yang sudah samara-samar diketahui. Rosihan
Anwar berhasil menerawang sebuah keadaan masyarakat maritim dan kegiatan
maritim nusantara di era 1770-an, ia berhasil menerawang hingga 2 abad lalu
(buku ini sendiri diterbitkan tahun 1967). Keberhasilan mengangkat dan
menggambarkan keadaan masyarakat dan keadaan perniagaan maritime zaman itu,
sayang tak diiringi keberhasilannya dalam membangun tokoh cerita yang
benar-benar bulat, yang benar-benar menampilkan dirinya sebagai tokoh manusia
seutuhnya.
*Catatan: dipublikasikan di "PendarPena Edisi 11 Oktober 2008 Tahun I" - "Tema: Maritim Nusantara".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar