Judul buku : Konglomerat dan Cinta
Editor : Nurinwa Ki S. Hendrowinoto
Tahun terbit : 1993
Penerbit : Puspa Swara, Jakarta
Tebal : X + 182
Sebagai salah
satu varian posmodernisme, sastra Indonesia beberapa tahun terakhir menggali
kembali karya-karya yang lama tak dilirik. Terbitnya Sastra Melayu Tionghoa
oleh KPG dalam beberapa jilid semakin memakhtubkan pengakuan terhadap
jenis-jenis tulisan seperti ini. Adalah cerita lama bahwa karya-karya ini
sungguh sangat lama tak dilirik oleh sejarah sastra Indonesia.
Buku Konglomerat dan Cinta
adalah kumpulan dua roman, yakni Lou Fen Koi karya Gouw Peng Liang dan Soepardi
dan Soendari karya Tan Hong Boen. Kedua roman yang terbit pada 1903 dan
1925 ini, termasuk karya sastra yang sempat terpinggirkan itu. Ketersingkiran
karya-karya sastra semacam ini sebenarnya bila ditarik akarnya dimulai dari
diberlakukannya kebijakan politik bahasa dan penerbitan oleh pemerintah Hindia
Belanda kala itu.
***
Pada medio abad 18 lalu, dunia kapitalisme
dan perkembangan teknologi percetakan merambah Hindia Belanda. Pada awalnya,
hanya orang Belanda yang berkecimpung dalam dunia usaha baru ini, lalu diikuti orang
Tionghoa, kemudian barulah pengusaha percetakan pribumi. Lalu pada 1917,
tatkala Balai Poestaka menjadi penerbitan resmi milik pemerintah kolonial,
bertambahlah akselerasi produksi buku-buku yang menggunakan Bahasa Melayu Tinggi.
Selain dari yang diterbitkan Balai Pustaka dianggap bacaan liar dan rendahan
biasanya menggunakan bahasa Melayu Pasar. Maka, masuklah pula kita pada politik
bahasa, di mana pertarungan diam-diam bahasa Melayu Rendah dan Melayu Tinggi.
Bahasa Melayu Tinggi pada akhirnya mengalahkan Melayu Rendah; bermetamorfosis
menjadi Bahasa Indonesia (Baca: Hilmar Farid dalam Yudi Latif dan Idi Subandy
Ibrahim (ed), 1996; dan pengantar Daniel Dhakidae pada buku Imagined
Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, (versi Indonesia) Benedict
Anderson, 2001).
Celakanya, warisan kolonial Belanda
dan “ketaksengajaan” para founding father ini dituruti oleh para
pengamat sastra dan bahasa Indonesia. Saya kira, keterasingan itu semakin asing
lantaran kemelut sosial politik Indonesia pasca kemerdekaan yang membatasi
ruang napas WNI peranakan. Dalam buku ini kita bisa menemukan nama-nama tokoh
semisal Lo Nam Koei atau Poei Laij Nio bersanding dengan nama tokoh semisal
Demang Tabrie dan Haji Sa’ari. Fenomena penggunaan nama tokoh dalam karya
sastra yang demikian sungguh jarang kita lihat pada karya-karya sastra
Indonesia jaman Orba. Proses dominasi dan penghilangan etnis tertentu dalam
karya sastra Indonesia turut menghilangkan ciri-ciri unik dari sastra Tionghoa
Peranakan yang subur berkembang di masa sebelum kemerdekaan.
Dikotomi warisan kolonial yang membedakan sastra Tinggi (Balai
Poestaka) dan bacaan rendahan (penerbitan liar), dengan alasan-alasan estetis
politisnya, ditunjang pandangan umum akan bacaan populer yang cukup negatif.
F.R. Leavis dan Denys Thompson misalnya menyalahkan fiksi populer karena
menawarkan bentuk adiktif berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’ (dalam Storey,
2007). Padahal, jika produk Balai Poestaka selalu melewati sensor, bacaan liar
kerap tidak tersentuh sensor ini. Tentu bacaan populer saat itu berbeda dengan
bacaan populer masa sekarang yang lebih tunduk pada “sensor” kapitalis,
ketimbang sensor pemerintah. Maka, dengan membaca bacaan populer Tionghoa
Peranakan, kemungkinan untuk mendapatkan gambaran keadaan dan lingkungan saat
itu secara lebih jernih dan apa adanya bisa diandaikan terjadi; sebuah
pembacaan yang memungkinkan pengungkapan apa yang tak terkatakan.
Di Balik
Cinta Kaum Ambtenaar dan Feodal
Pedesaan.
Kedua roman yang dirampaikan dalam Konglomerat dan Cinta
bertema besar Cinta. Sebagaimana bacaan populer, alurnya sederhana, tokohnya
bulat, dan pesan yang disampaikannya pun terlihat begitu gamblang.
Persinggungan dengan kaum penjajah pun secara gamblang tak terlihat dalam
keduanya. Problem-problem yang dihadirkannya pun bukanlah problem-problem besar
yang mengernyitkan dahi, semisal perbenturan budaya dalam Salah Asuhan.
Latarnya pun sederhana dan dominan pada suatu tempat saja, tidak sejelimet Siti
Noerbaya. Hal ini menggambarkan sungguh-sungguh posisi keduanya sebagai
bacaan rakyat. Hal ini diperkokoh lagi dengan tidak adanya persinggungan dengan
kaum penjajah, problem orang terjajah, karena bagaimana pun juga kerap problem
seperti itu adalah milik kelas menengah ke atas di Hindia Belanda.
Sebagai bacaan rakyat, bacaan
populer, Lou Fen Koi serta Soepardi dan Soendari menghadirkan
permasalahan yang benar-benar milik kaum bawah, masyarakat biasa. Lou Fen
Koi yang lebih menceritakan kehidupan para warga Tionghoa menggambarkan
bagaimana di antara sesama warga Tionghoa pun terjadi saling menindas. Yang
lebih berkuasa dan kaya menindas yang lebih lemah dan miskin. Lou Fen Koi yang
kaya dan berkuasa mendatangkan kesusahan pada keluarga Tan Hin Seng yang
seorang penjual sayur miskin di pasar. Hal itu terjadi lantaran cinta birahi
Lou Fen Koi pada anak gadis perawan Tan Hin Seng, nona San Nio, yang ditolak
mentah-mentah oleh si tukang sayur itu.
Dari cerita Lou Fen Koi
terlihat bagaimana pada masa itu anak gadis tidak punya pilihan atas hidupnya.
Stereotip pada warga Tionghoa (kaya, kikir, dsb) yang kerap memicu konflik
etnis diruntuhkan pula oleh roman ini. Warga Tionghoa yang diceritakan Gouw
Peng Liang sungguh beragam. Di roman ini pun kentara sekali praktik suap dan
korupsi serta penyalah-gunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Namun demikian,
roman ini pun menghadirkan sosok panutan dalam diri Souw Gi Tong, orang muda
yang kaya, berpendidikan, halus budi bahasanya dan baik hati. Melalui tokoh
inilah, keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan, meskipun Souw Gi Tong sendiri
harus mendapatkan kesusahan karenanya.
Roman ini tetap masih mengandaikan adanya kekuasaan di tangan orang
baik dan yang menggunakan segala kekuasaan dan pengaruhnya untuk mewujudkan
keadilan. Tak ada sebuah sistem yang dipercayai mampu mengharmoniskan
kehidupan. Yang ada adalah pertarungan antara kekuasaan yang satu dengan
kekuasaan yang lainnya. Minimal, roman ini masih memberikan pengharapan pada
masyarakat pembacanya bahwa ada kebaikan di tengah sistem yang buruk. Bahwa sistem
yang buruk itu adalah reranting kecil dari jejaring sistem pemerintahan
Kolonial Belanda, tentu tak sukar dibayangkan. Sebuah warisan yang ada hingga
saat ini.
Soepardi dan Soendari adalah karya Tan
Hong Boen, seorang penulis yang juga memakai nama samaran Im Yang Tjoe. Tan
Hong Boen adalah wartawan yang sering mengkritik Belanda dan sering mendekam di
penjara karenyanya. Ia juga menulis biografi Bung Karno, terinspirasi ketika
keduanya dipenjarakan di penjara yang sama. Selain itu, ia juga menulis sejumlah
roman dan novel yang menarik Di samping biografi Bung Karno itu Tan Hong Boen
menulis sejumlah novel yang menarik. Ia dikenal luas lantaran bukunya berjudul Orang-orang
Tionghoa Terkemuka di Pulau Jawa (Monna Lohanda, 2004). Soepardi dan
Soendari adalah roman pertamanya yang dimuat di majalah Penghidoepan (1925-1942).
Roman ini mengambil latar peristiwa
gempa bumi 12 November 1924 di desa Bandingan Jawa tengah sebagai latarnya.
Seperti Lou Fen Koi, latar, konflik dan penokohannya pun bisa dibilang
sederhana. Soepardi yang seorang pemuda miskin jatuh cinta pada Soendari, anak
orang terkaya di desa Bandingan. Tentu cinta ini mendapat banyak rintangan,
namun pada akhirnya, mereka bersatu juga. Soepardi dan Soendari menyuguhkan
akhir cerita yang menggenaskan; kematian dalam bencana gempa, setelah
perjalanan panjang demi penyatuan mereka berakhir dengan rencana pernikahan
yang direstui orang tua Soendari. Namun apa daya, kematian jualah yang
menjemput mereka; bahwa hidup hanya sekadar singgah, bukan abadi.
***
Hal yang patut dicatat dari kedua roman ini adalah selalu ada
tempat, keadilan, dan kebahagiaan untuk masyarakat kelas rendahan. Keadilan ada
di Lou Fen Koi dan kebahagiaan cinta ada dalam Soepardi dan Soendari,
meski pun yang terakhir ini harus tunduk juga pada kehendak Yang Ilahi. Dua
novel ini memang novel yang pembacanya adalah masyarakat rendahan, masyarakat
Hindia Belanda kala itu yang menggunakan bahasa Melayu rendah. Terlihatlah di
sini sebuah janji yang emansipatoris dihadirkan dalam ruang-ruang kehidupan
pembacanya. Sehingga bisa saja kita mengatakan, bacaan-bacaan liar, populer
jaman itu adalah bacaan-bacaan yang memberikan pengharapan, setidak-tidaknya
memberikan pegangan pada masyarakat kecil itu akan pengharapan keadilan dan
kebenaran cinta. Sehingga, hidup di tengah-tengah isapan penjajahan dan kaum ambtenaar
yang lebih sering menyengsarakan bisa menemukan pengharapan dari bacaan-bacaan
liar dan populer ini.
**Catatan: dipublikasikan di "PendarPena Vol 2 No 3 Februari 2009"; Tema: "Cinta sebagai Komiditi Budaya Populer".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar