Kamis, 18 Juli 2013

SELAYANG PANDANG: YOUCAT NOMOR 1 DAN MASALAH HISTORISISME-TELEOLOGIS SERTA PENGETAHUAN KOSMOLOGIS


Pengantar
            Youcat Nomor 1 memberi pernyataan kepada kita, “we are here on earth in order to know and to love God, to do good according to his will, and to go someday to heaven.”[1] Kalimat ini jika dibaca dalam kaca mata iman, bagi saya pribadi dengan pemahaman teologi yang terbatas, tidaklah menjadi sebuah masalah berarti. Semua orang beriman tentu mengamini adanya rencana Tuhan yang bekerja dalam hidupnya. Namun ketika kalimat di atas berhadapan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan, bisa jadi di sana timbul sedikit masalah—asumsi ini pun tentu dibangun dari pemahaman filsafat dan ilmu pengetahuan saya yang sedikit ini.
            Tulisan ini akan berusaha untuk memaparkan beberapa permasalahan yang timbul dalam ranah filsafat ketika berhadapan dengan kalimat di atas dan coba untuk memberikan semacam jalan keluar untuk hal tersebut. Tulisan ini tentu saja hanya bersifat catatatan-catatan sepintas yang tak mendalam. Ada dua hal yang akan coba dibahas dalam tulisan ini. Kedua hal itu adalah implikasi langsung terhadap pembacaan atas kalimat Youcat Nomor 1 di atas; tentu saja dalam sebuah pembacaan yang kasar dan vulgar. Tulisan ini sedari awal meletakan dirinya sebagai coretan yang dilandasi ketakpahaman dan ketakberanian membicarakan sesuatu yang, bukannya tak mungkin diketahui oleh pikirannya, melainkan karena pengetahuannya belumlah cukup lebar untuk mengetahui hal yang begitu fundamental yang ada di balik kalimat Youcat Nomor 1 tersebut. Laksana hendak memahami sebuah negara, tulisan ini hanyalah hasil dari permenungan seorang pemenung yang baru saja lahir, belum melangkah ke mana-mana, dan hanya berada di sebuah kamar sempit.
            Permasalahan pertama yang akan diangkat adalah menyangkut sifat historisisme dan teleologis dari sejarah yang tersirat dalam Youcat Nomor 1 yakni manusia sebagai ciptaan Tuhan yang berjalan dalam kehendak Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sebuah pemahaman yang terlihat seakan-akan perpaduan konsep sejarah linear dan konsep sejarah siklis. Permasalahan kedua yang hendak disinggung adalah perkara alam semesta sebagai tempat yang memungkinkan manusia ciptaan Allah itu mengada.

Historisitas dan Teleologisnya Perjalanan Manusia
            Membaca kalimat Youcat Nomor 1 di atas, kentaralah ciri historisitas sejarah kehidupan manusia. Manusia dipandang mempunyai awal, perjalanan, dan akhir yang semuanya itu adalah diciptakan oleh Tuhan, dalam perjalanan kehidupan untuk Tuhan, dan pada akhirnya akan kembali lagi pada Sang Pemberi Kehidupan yakni Tuhan. Manusia seakan menjadi wayang dengan dalang adalah Tuhan. Inilah ciri dari historisisme dalam sejarah. Ada tujuan, teleologis, dari setiap perjalanan sejarah. Dalam hal ini tujuan perjalanan itu adalah Tuhan. Historisisme dan sejarah yang bersifat teleologis, dalam sejarah filsafat memang pertama-tama berasal dari tradisi teologi Yahudi dan Kristen.
            Samuel Moyn membenarkan hal itu. Demikian tulisnya tentang filsafat sejarah Yahudi dan Kristen, “...filsafat sejarah mereka muncul dari refleksi pada iman, terutama yang tercatat dalam Kitab Suci bahwa sejarah adalah sebuah proses yang bermakna, sebuah ‘medium’ di mana kehendak Allah tengah bekerja, meskipun terkadang dalam cara yang misterius.”[2]
            Belakangan, konsep sejarah yang demikian ini merasuki dan diadopsi oleh para pemikir semisal para pemikir idealisme Jerman. Hegel misalnya memandang sejarah sebagai perjalanan Roh Absolut yang pada awalnya mengalienasikan dirinya dan dalam perjalanannya dia berusaha untuk menemukan kembali dirinya yang dialienasikan itu. Lantas, pada akhir sejarah ia yang awalnya mengalienasikan diri tersebut kembali mendapatkan keterpenuhan dirinya. Ada awal dan akhir sehingga perjalanan sejarah cenderung menuju atau terpaku pada akhir sejarah itu dan sedikit banyak memandang masa kini sebagai sebuah persiapan menuju yang akhir tersebut.
            Dengan demikian, pandangan sejarah perjalanan manusia yang tersirat dari teks Youcat Nomor 1 di atas sedikit banyak punya bahaya; manusia atau mereka yang mengamininya tidaklah terlalu berkonsentrasi dengan kesekarangan karena selalu dan menggantungkan harapannya pada masa depan, pada sebuah akhir sejarah, pada sebuah Surga Tuhan yang dijanjikan. Dengan demikian, segala peristiwa derita mau pun kejahatan yang terjadi pada hari ini boleh jadi tidaklah menjadi perhatian.
            Selain itu, ketika sejarah perjalanan hidup manusia dilihat sebagai sebuah design yang telah dilakukan oleh Tuhan dan manusia hanya mengikutinya, sejarah dengan demikian tidaklah menjadi milik manusia itu sendiri. Manusia merasa seolah-olah dia tak menyumbangkan apa-apa pada sejarahnya sendiri. Permasalahan yang muncul dari hal yang demikian adalah segala bencana kemanusiaan dan lain-lainnya yang terjadi dalam sejarah bisa saja dianggap sebagai ‘garis yang sudah ditetapkan’ sehingga pelaku bisa lepas tangan dari hal tersebut.
            Tetapi sebenarnya permasalahan ini bisa kita lihat sebagai kealpaan kita membaca kalimat yang lain dari Youcat Nomor 1 di atas, “...to do good according to his will...”. Jadi, jika sesuatu yang buruk terjadi dalam sejarah, mungkin saja itu adalah sesuatu yang bukan kehendak Tuhan. Ia adalah kehendak sesuatu yang lain. Namun demikian kita bisa juga mempertanyakan; jika demikian dari manakah kejahatan atau hal-hal yang buruk itu berasal. Ini tentu akan kembali membawa kita pada perkara kebebasan manusia memilih. Tetapi dengan demikian tetap bisa juga dilihat bahwa bila yang baik yang terjadi itu kehendak Allah dan bila yang tidak baik terjadi, itu kehendak manusia.

Cakrawala Berbatas dan Tak Berbatas
            Youcat Nomor 1 di atas pada hemat saya membawa kita juga untuk berbicara tentang alam semesta. Pasalnya, begini. Jika Allah menciptakan manusia maka tentu saja ia menciptakan juga alam semesta tempat di mana manusia tinggal. Lantas pertanyaannya, benarkah Allah yang menciptakan Alam Semesta jika kita melihatnya dari sudut pandang kosmologi dan ilmu pengetahuan?
            Kosmologi pada masa pertengahan dan sebelumnya, memandang bumi sebagai pusat dari alam semesta. Di sini bumi sebagai tempat tinggal manusia ciptaan Tuhan adalah yang paling utama dibandingkan benda-benda lain di langit. Maka, alam semesta sebagai ada untuk manusia pada pandangan kosmologi yang demikian ini sunggulah mendapatkan ‘kebenarannya’.
            Namun dalam perkembangan selanjutnya kita tahu bahwa terbuktilah ternyata bumi tidaklah lebih penting dibandingkan dengan benda-benda langit lainnya dalam hal letaknya sebagai pusat alam semesta. Untuk tata surya kita, mataharilah yang menjadi pusat dan tata surya kita pun letaknya bukanlah dalam posisi pusat dari segala alam semesta. Jika kita menyaksikan film-film pendek yang menggambarkan alam semesta atau bumi kita di tengah alam semesta tampaklah pada kita bumi hanyalah butiran debu kesekian dalam galaksi kita dan galaksi kita adalah butiran debu kesekian di sebuah sudut ‘tak penting’ dalam alam semesta kita. Secara letak, tak ada yang istimewa untuk bumi kita.      


   Gambar: Galaksi Milky Way[3]
Bumi menjadi penting dan dihitung oleh kita, hanyalah lantaran kita berada di bumi. Sang pengamat yang mengamati alam semesta berada di bumi. Namun terkadang saya membayangkan, dengan bantuan fantasi film-film science fiction terkhusus yang lahir pada era 1980-an 1990-an, bahwasanya jika manusia pada akhirnya bisa ke luar dari bumi dan menemukan ‘bumi’ lain dan berdiam di sana, apakah bumi kita yang sekarang masih dipandang sebagai pusat pengamat? Masalah kecil ini, hanya perkara pindah rumah ini, apakah mengubah pemahaman kita tentang alam semesta?
            Karena manusialah pengamat dan bumilah tempat manusia sang pengamat itu tinggal, maka sistem atau pola kosmologi yang dibuat Platon pada masa Yunani Antik dulu sampai sekarang masih menjadi model yang kerap dipakai.
Sampai di sini, baiklah saya ingin mengutarakan bahwa cakrawala pengetahuan manusia tentang alam semestanya selalu terbatas lantaran ia berada di dalam apa yang diamatinya itu. Layaknya kita hendak menonton film, cakrawala film itu bisa secara keseluruhan kita tahu tetapi seorang tokoh di dalam film tersebut, secara fiksi, tentu tak tahu keseluruhan dari cerita sebuah novel yang di dalamnya ia ada.
            Begitulah cakrawala berbatas pengetahuan manusia ini kita dapat temukan dalam contoh-contoh yang tadi kita sebutkan. Pada awalnya manusia merasa bahwa bumilah pusat alam semesta. Hal ini terjadi pada zaman Platon, Aristoteles, dan juga pada abad pertengahan. Namun demikian ada perubahaan terjadi ketika ternyata ditemukan bahwa bumi ini bukanlah pusatnya alam semesta. Sebelum itu, bumi bahkan dianggap sebagai suatu tempat yang bukan berbentuk bulat tetapi datar sehingga ada ujung terakhir dari bumi. Yang tentu saja dibantah lebih dahulu dari pada pandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Kira-kira demikian ilustrasi bumi zaman itu:  
 
Gambar: Ilustrasi pemahaman tentang bumi pada masa antik[4]
Pada zaman Immanuel Kant, waktu-ruang dianggap sebagai kategori intuisi dan bukan realitas obyektif. Namun dalam perkembangannya, dengan ditemukannya teori relativisme oleh Einstein, jelaslah bahwa ruang-waktu bisa dipahami sebagai entitas fisika.
            Demikianlah, rupa-rupanya cakrawala pengetahuan manusia tentang alam semestanya. Awalnya sederhana dan sempit namun dalam perkembangan zaman ia justru terus berkembang dan berkembang, membuka pengetahuan-pengetahuan baru yang sebelumnya terselubung dari pemahamannya. Saat ini mungkin yang sangat dipertanyakan oleh para kosmolog dan ilmuwan lainnya adalah apa yang ada sebelum Big Bang. Atau mereka, katakanlah, tengah mencari “Tuhan” di awal penciptaan. Ada yang mengatakan bahwa jika itu berhasil ditemukan maka selesailah sudah Tuhan. Namun, kita bisa melihat bahwa manusia dalam perkara ini berusaha mencerna sesuatu yang mana dia adalah bagian di dalamnya. Maka bolehlah jadi, akan terus meluas, akan terus meluas. Ketika sesuatu yang sekarang dipertanyakan diketahui, bolehlah jadi terbuka cakrawala lain di seberang sana yang perlu dicari-tahunya lagi.
Laksana seorang anak kecil yang berdiri di bibir pantai dan melihat cakrawala jauh di sana. Dia kira itulah akhir dunia. Tetapi ketika anak kecil itu berjalan ke sana, dia temukan ada cakrawala lain nun jauh terbentang di hadapannya, begitu seterusnya. Begitulah pula pengetahuan dan pencaharian manusia akan alam semesta, sebuah tempat di mana dia berada. Akan selalu terbuka kemungkinan-kemungkinan baru dan boleh jadi kemungkinan itu terus ada, selalu ada yang terselubung. Kosmologi dengan demikian adalah usaha untuk terus mempreteli lapis-lapis bawang, namun bawang yang dipreteli adalah bawang tanpa lapis terakhir. Di sini, pengetahuan manusia tentang alam semestanya seumpama lingkaran yang membesar dan terus membesar. Dengan awalannya adalah bumi, di mana manusia itu berada. Pada titik ini, Tuhan secara minimal bisalah kita tempatkan sebagai sebuah ujung luar terjauh. Katakanlah, Tuhan seumpama Ideal Absolut dalam pemikiran Max Weber, sebuah panduan ideal yang menjadi sebuah tujuan final meski pun tujuan final itu tak pernah tercapai. Tuhan dengan demikian, terlepas dari pembuktian keberadaanNya, adalah sebuah alat bantu yang memungkinkan keingin-tahuan manusia terus ada. Tuhan dalam kosmologi atau pengetahuan dalam alam semesta ada, minimal sebagai cakrawala terjauh yang mungkin untuk dipikirkan dengan sejuta bahkan bertriliun kemungkinan dan kegelapan yang memisahkanNya dengan kita.
Penutup
            Demikianlah, melalui sebuah pembacaan sekilas yang tak terlalu ditunjang dengan argumen yang kuat, kita melihat bahwa kalimat dari Youcat Nomor 1 itu masih menyisakan dua implikasi permasalahan bila ditelisik dari dua sudut pandang yakni sejarah manusia yang bersifat historisitas dan teleologis serta permasalahan pengetahuan kosmologi dalam hal ini posisi manusia dalam alam semestanya. Permasalahan pertama membawa kita pada kemungkinan kalimat dari Youcat Nomor 1 tersebut sebagai ‘pembenaran’ manusia akan segala kejahatan dan keburukan yang dilakukannya di dunia ini. Bahwa Tuhan sudah punya rencana pada segala yang berlaku maka apa yang jahat atau yang tak benar yang kulakukan adalah juga apa yang sudah ditorehkan dengan tinta oleh Tuhan. Selain itu, konsentrasi pada janji keselamatan pada akhir hidup yakni Kerajaan Surga bisa jadi membuat manusia tak berkonsentrasi pada kekinian. Kehidupan profan di sini dan hari ini bukanlah konsentrasi manusia. Dengan demikian pandangan ini tentu saja bisa menghambat, katakanlah, perkembangan peradaban manusia.
            Dalam permasalahan kedua yakni permasalahan seputar pengetahuan kosmologi, pandangan manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang berdampak pada pemujaan bumi lebih dari benda langit yang lain terbukti salah. Namun demikian Tuhan bisa pula dijadikan semacam pegangan pencaharian pengetahuan. Tuhan bisa menjelma pemicu hasrat pengetahuan manusia sekaligus pemberi batas sehingga manusia dalam laku mengetahuinya tak merasa ‘sendirian di gelap gulita malam yang berkepanjangan.
            Tuhan bagi tulisan ini dengan demikian pada kedudukan pertama janganlah ditempatkan sebagai pelarian dari ketaksanggupan, kelemahan, dan kesalahan-kesalahan manusia (sebuah permasalahan yang mengemuka ketika membicarakan historisisme dan sejarah teleologis), melainkan baiklah Ia ditempatkan sebagai pendorong menuju hal-hal yang justru memajukan kehidupan manusia di sini dan hari ini; jadikanlah Ia kawan kita dalam pencaharian tak berujung, jadikanlah dia batas Ideal yang baik yang perlu dikejar untuk membuka selubung-selubung kegelapan dan ketaktahuan yang terhampar di antara kita dan Dia.
            Sebagai sebuah tulisan yang bercorak esai ringan dengan refleksi ala kadarnya serta argumentasi ala kadarnya dengan sebuah kesimpulan yang sederhana pula, baiklah ditutup dengan sebuah puisi dari Charles Bukowski bertajuk Yes Yes. Bukowski adalah penyair posmo Amerika yang juga sangat berciri dionisian dalam pemahaman Nietzsche. Ia membicarakan Tuhan dalam puisi Yes Yes-nya ini, mungkin dalam keadaan mabuk[5]:

YES YES

when God created love He didn’t help most 
when God created dogs He didn’t help dogs 
when God created plants that was average 
when God created hate we had a standard utility 
when God created me He created me 
when God created the monkey He was asleep 
when He created the giraffe He was drunk 
when He created narcotics He was high 
and when He created suicide He was low

when He created you lying in bed 
He knew what He was doing 
He was drunk and He was high 
and He created the mountains and the sea and fire 
at the same time

He made some mistakes 
but when He created you lying in bed 
He came all over His Blessed Universe.
 

Daftar Bacaan:
Buku dan Artikel:
Catholic Thruth Society, Youcat: Youth Cathecism of The Chatolic Church, diterjemahkan oleh Michael J. Miller, (San Francisco: Ignatius PRESS), 2011.
Samuel Moyn, “Jewish and Christian Philosophy of History”, dalam Aviezer Tucker (ed.), A Companion to the Philosophy of History and Historiography, (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd), 2009.
Karlina Supelli, “Ciri Antropologis Pengetahuan”, dalam Ihsan Ali-fauzi dan Zainal Abidin Bagir (peny.), Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme, (Bandung: Mizan), 2011.
Karlina Supelli, “Youcat 1-6: Tema Penciptaan (Mengapa Kita Mampu Beriman?)”, bahan untuk mata kuliah Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, 2013.
Charles Bukowski, Burning in Water Drowning in Flame: Selected Poems, (Harper Collins e-Book), hlm. 178
 Internet:


[1] Catholic Thruth Society, Youcat: Youth Cathecism of The Chatolic Church, diterjemahkan oleh Michael J. Miller, (San Francisco: Ignatius PRESS), 2011,  hlm. 13.
[2] Samuel Moyn, “Jewish and Christian Philosophy of History”, dalam Aviezer Tucker (ed.), A Companion to the Philosophy of History and Historiography, (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd), 2009, hlm. 427.
[3] Sumber gambar: http://www.news.wisc.edu/newsphotos/milkyway.html; diunduh pada 6 Juni 2013.
[5] Charles Bukowski, Burning in Water Drowning in Flame: Selected Poems, (Harper Collins e-Book), hlm. 178

*Catatan: Tulisan ini merupakan paper mata kuliah FILSAFAT DAN TEOLOGI di STF DRIYARKARA semester genap 2012/2013.

Tidak ada komentar: