Pengantar
Youcat Nomor 1 memberi pernyataan
kepada kita, “we are here on earth in
order to know and to love God, to do good according to his will, and to go
someday to heaven.”[1]
Kalimat ini jika dibaca dalam kaca mata iman, bagi saya pribadi dengan
pemahaman teologi yang terbatas, tidaklah menjadi sebuah masalah berarti. Semua
orang beriman tentu mengamini adanya rencana Tuhan yang bekerja dalam hidupnya.
Namun ketika kalimat di atas berhadapan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan,
bisa jadi di sana timbul sedikit masalah—asumsi ini pun tentu dibangun dari
pemahaman filsafat dan ilmu pengetahuan saya yang sedikit ini.
Tulisan
ini akan berusaha untuk memaparkan beberapa permasalahan yang timbul dalam
ranah filsafat ketika berhadapan dengan kalimat di atas dan coba untuk
memberikan semacam jalan keluar untuk hal tersebut. Tulisan ini tentu saja
hanya bersifat catatatan-catatan sepintas yang tak mendalam. Ada dua hal yang
akan coba dibahas dalam tulisan ini. Kedua hal itu adalah implikasi langsung
terhadap pembacaan atas kalimat Youcat
Nomor 1 di atas; tentu saja dalam sebuah pembacaan yang kasar dan vulgar.
Tulisan ini sedari awal meletakan dirinya sebagai coretan yang dilandasi
ketakpahaman dan ketakberanian membicarakan sesuatu yang, bukannya tak mungkin
diketahui oleh pikirannya, melainkan karena pengetahuannya belumlah cukup lebar
untuk mengetahui hal yang begitu fundamental yang ada di balik kalimat Youcat Nomor 1 tersebut. Laksana hendak
memahami sebuah negara, tulisan ini hanyalah hasil dari permenungan seorang
pemenung yang baru saja lahir, belum melangkah ke mana-mana, dan hanya berada
di sebuah kamar sempit.
Permasalahan
pertama yang akan diangkat adalah menyangkut sifat historisisme dan teleologis
dari sejarah yang tersirat dalam Youcat
Nomor 1 yakni manusia sebagai ciptaan Tuhan yang berjalan dalam kehendak
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sebuah pemahaman yang terlihat seakan-akan
perpaduan konsep sejarah linear dan konsep sejarah siklis. Permasalahan kedua
yang hendak disinggung adalah perkara alam semesta sebagai tempat yang
memungkinkan manusia ciptaan Allah itu mengada.
Historisitas
dan Teleologisnya Perjalanan Manusia
Membaca
kalimat Youcat Nomor 1 di atas,
kentaralah ciri historisitas sejarah kehidupan manusia. Manusia dipandang
mempunyai awal, perjalanan, dan akhir yang semuanya itu adalah diciptakan oleh
Tuhan, dalam perjalanan kehidupan untuk Tuhan, dan pada akhirnya akan kembali
lagi pada Sang Pemberi Kehidupan yakni Tuhan. Manusia seakan menjadi wayang
dengan dalang adalah Tuhan. Inilah ciri dari historisisme dalam sejarah. Ada
tujuan, teleologis, dari setiap perjalanan sejarah. Dalam hal ini tujuan
perjalanan itu adalah Tuhan. Historisisme dan sejarah yang bersifat teleologis,
dalam sejarah filsafat memang pertama-tama berasal dari tradisi teologi Yahudi
dan Kristen.
Samuel
Moyn membenarkan hal itu. Demikian tulisnya tentang filsafat sejarah Yahudi dan
Kristen, “...filsafat sejarah mereka muncul dari refleksi
pada iman, terutama yang tercatat dalam Kitab Suci bahwa sejarah adalah sebuah
proses yang bermakna, sebuah ‘medium’ di mana kehendak Allah tengah bekerja,
meskipun terkadang dalam cara yang misterius.”[2]
Belakangan, konsep sejarah yang demikian ini merasuki dan diadopsi oleh
para pemikir semisal para pemikir idealisme Jerman. Hegel misalnya memandang
sejarah sebagai perjalanan Roh Absolut yang pada awalnya mengalienasikan
dirinya dan dalam perjalanannya dia berusaha untuk menemukan kembali dirinya
yang dialienasikan itu. Lantas, pada akhir sejarah ia yang awalnya
mengalienasikan diri tersebut kembali mendapatkan keterpenuhan dirinya. Ada
awal dan akhir sehingga perjalanan sejarah cenderung menuju atau terpaku pada
akhir sejarah itu dan sedikit banyak memandang masa kini sebagai sebuah
persiapan menuju yang akhir tersebut.
Dengan
demikian, pandangan sejarah perjalanan manusia yang tersirat dari teks Youcat Nomor 1 di atas sedikit banyak
punya bahaya; manusia atau mereka yang mengamininya tidaklah terlalu
berkonsentrasi dengan kesekarangan karena selalu dan menggantungkan harapannya
pada masa depan, pada sebuah akhir sejarah, pada sebuah Surga Tuhan yang
dijanjikan. Dengan demikian, segala peristiwa derita mau pun kejahatan yang
terjadi pada hari ini boleh jadi tidaklah menjadi perhatian.
Selain
itu, ketika sejarah perjalanan hidup manusia dilihat sebagai sebuah design yang
telah dilakukan oleh Tuhan dan manusia hanya mengikutinya, sejarah dengan
demikian tidaklah menjadi milik manusia itu sendiri. Manusia merasa seolah-olah
dia tak menyumbangkan apa-apa pada sejarahnya sendiri. Permasalahan yang muncul
dari hal yang demikian adalah segala bencana kemanusiaan dan lain-lainnya yang
terjadi dalam sejarah bisa saja dianggap sebagai ‘garis yang sudah ditetapkan’
sehingga pelaku bisa lepas tangan dari hal tersebut.
Tetapi
sebenarnya permasalahan ini bisa kita lihat sebagai kealpaan kita membaca
kalimat yang lain dari Youcat Nomor 1 di
atas, “...to do good according to his will...”. Jadi, jika sesuatu yang buruk
terjadi dalam sejarah, mungkin saja itu adalah sesuatu yang bukan kehendak
Tuhan. Ia adalah kehendak sesuatu yang lain. Namun demikian kita bisa juga
mempertanyakan; jika demikian dari manakah kejahatan atau hal-hal yang buruk
itu berasal. Ini tentu akan kembali membawa kita pada perkara kebebasan manusia
memilih. Tetapi dengan demikian tetap bisa juga dilihat bahwa bila yang baik
yang terjadi itu kehendak Allah dan bila yang tidak baik terjadi, itu kehendak
manusia.
Cakrawala
Berbatas dan Tak Berbatas
Youcat Nomor 1 di atas pada hemat saya
membawa kita juga untuk berbicara tentang alam semesta. Pasalnya, begini. Jika
Allah menciptakan manusia maka tentu saja ia menciptakan juga alam semesta
tempat di mana manusia tinggal. Lantas pertanyaannya, benarkah Allah yang
menciptakan Alam Semesta jika kita melihatnya dari sudut pandang kosmologi dan
ilmu pengetahuan?
Kosmologi
pada masa pertengahan dan sebelumnya, memandang bumi sebagai pusat dari alam
semesta. Di sini bumi sebagai tempat tinggal manusia ciptaan Tuhan adalah yang
paling utama dibandingkan benda-benda lain di langit. Maka, alam semesta
sebagai ada untuk manusia pada pandangan kosmologi yang demikian ini sunggulah
mendapatkan ‘kebenarannya’.
Namun
dalam perkembangan selanjutnya kita tahu bahwa terbuktilah ternyata bumi
tidaklah lebih penting dibandingkan dengan benda-benda langit lainnya dalam hal
letaknya sebagai pusat alam semesta. Untuk tata surya kita, mataharilah yang
menjadi pusat dan tata surya kita pun letaknya bukanlah dalam posisi pusat dari
segala alam semesta. Jika kita menyaksikan film-film pendek yang menggambarkan
alam semesta atau bumi kita di tengah alam semesta tampaklah pada kita bumi
hanyalah butiran debu kesekian dalam galaksi kita dan galaksi kita adalah
butiran debu kesekian di sebuah sudut ‘tak penting’ dalam alam semesta kita.
Secara letak, tak ada yang istimewa untuk bumi kita.
Bumi menjadi penting dan
dihitung oleh kita, hanyalah lantaran kita berada di bumi. Sang pengamat yang
mengamati alam semesta berada di bumi. Namun terkadang saya membayangkan,
dengan bantuan fantasi film-film science
fiction terkhusus yang lahir pada era 1980-an 1990-an, bahwasanya jika
manusia pada akhirnya bisa ke luar dari bumi dan menemukan ‘bumi’ lain dan
berdiam di sana, apakah bumi kita yang sekarang masih dipandang sebagai pusat
pengamat? Masalah kecil ini, hanya perkara pindah rumah ini, apakah mengubah
pemahaman kita tentang alam semesta?
Karena
manusialah pengamat dan bumilah tempat manusia sang pengamat itu tinggal, maka
sistem atau pola kosmologi yang dibuat Platon pada masa Yunani Antik dulu
sampai sekarang masih menjadi model yang kerap dipakai.
Sampai di sini, baiklah
saya ingin mengutarakan bahwa cakrawala pengetahuan manusia tentang alam
semestanya selalu terbatas lantaran ia berada di dalam apa yang diamatinya itu.
Layaknya kita hendak menonton film, cakrawala film itu bisa secara keseluruhan
kita tahu tetapi seorang tokoh di dalam film tersebut, secara fiksi, tentu tak
tahu keseluruhan dari cerita sebuah novel yang di dalamnya ia ada.
Begitulah
cakrawala berbatas pengetahuan manusia ini kita dapat temukan dalam
contoh-contoh yang tadi kita sebutkan. Pada awalnya manusia merasa bahwa
bumilah pusat alam semesta. Hal ini terjadi pada zaman Platon, Aristoteles, dan
juga pada abad pertengahan. Namun demikian ada perubahaan terjadi ketika
ternyata ditemukan bahwa bumi ini bukanlah pusatnya alam semesta. Sebelum itu,
bumi bahkan dianggap sebagai suatu tempat yang bukan berbentuk bulat tetapi
datar sehingga ada ujung terakhir dari bumi. Yang tentu saja dibantah lebih
dahulu dari pada pandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Kira-kira
demikian ilustrasi bumi zaman itu:
Gambar: Ilustrasi pemahaman tentang bumi pada masa
antik[4]
Pada zaman Immanuel Kant, waktu-ruang dianggap
sebagai kategori intuisi dan bukan realitas obyektif. Namun dalam
perkembangannya, dengan ditemukannya teori relativisme oleh Einstein, jelaslah
bahwa ruang-waktu bisa dipahami sebagai entitas fisika.
Demikianlah,
rupa-rupanya cakrawala pengetahuan manusia tentang alam semestanya. Awalnya
sederhana dan sempit namun dalam perkembangan zaman ia justru terus berkembang
dan berkembang, membuka pengetahuan-pengetahuan baru yang sebelumnya
terselubung dari pemahamannya. Saat ini mungkin yang sangat dipertanyakan oleh
para kosmolog dan ilmuwan lainnya adalah apa yang ada sebelum Big Bang. Atau mereka, katakanlah,
tengah mencari “Tuhan” di awal penciptaan. Ada yang mengatakan bahwa jika itu
berhasil ditemukan maka selesailah sudah Tuhan. Namun, kita bisa melihat bahwa
manusia dalam perkara ini berusaha mencerna sesuatu yang mana dia adalah bagian
di dalamnya. Maka bolehlah jadi, akan terus meluas, akan terus meluas. Ketika
sesuatu yang sekarang dipertanyakan diketahui, bolehlah jadi terbuka cakrawala
lain di seberang sana yang perlu dicari-tahunya lagi.
Laksana seorang anak kecil
yang berdiri di bibir pantai dan melihat cakrawala jauh di sana. Dia kira
itulah akhir dunia. Tetapi ketika anak kecil itu berjalan ke sana, dia temukan
ada cakrawala lain nun jauh terbentang di hadapannya, begitu seterusnya. Begitulah
pula pengetahuan dan pencaharian manusia akan alam semesta, sebuah tempat di
mana dia berada. Akan selalu terbuka kemungkinan-kemungkinan baru dan boleh
jadi kemungkinan itu terus ada, selalu ada yang terselubung. Kosmologi dengan
demikian adalah usaha untuk terus mempreteli lapis-lapis bawang, namun bawang
yang dipreteli adalah bawang tanpa lapis terakhir. Di sini, pengetahuan manusia
tentang alam semestanya seumpama lingkaran yang membesar dan terus membesar.
Dengan awalannya adalah bumi, di mana manusia itu berada. Pada titik ini, Tuhan
secara minimal bisalah kita tempatkan sebagai sebuah ujung luar terjauh.
Katakanlah, Tuhan seumpama Ideal Absolut dalam
pemikiran Max Weber, sebuah panduan ideal yang menjadi sebuah tujuan final
meski pun tujuan final itu tak pernah tercapai. Tuhan dengan demikian, terlepas
dari pembuktian keberadaanNya, adalah sebuah alat bantu yang memungkinkan
keingin-tahuan manusia terus ada. Tuhan dalam kosmologi atau pengetahuan dalam
alam semesta ada, minimal sebagai cakrawala terjauh yang mungkin untuk
dipikirkan dengan sejuta bahkan bertriliun kemungkinan dan kegelapan yang
memisahkanNya dengan kita.
Penutup
Demikianlah,
melalui sebuah pembacaan sekilas yang tak terlalu ditunjang dengan argumen yang
kuat, kita melihat bahwa kalimat dari Youcat
Nomor 1 itu masih menyisakan dua implikasi permasalahan bila ditelisik dari
dua sudut pandang yakni sejarah manusia yang bersifat historisitas dan
teleologis serta permasalahan pengetahuan kosmologi dalam hal ini posisi
manusia dalam alam semestanya. Permasalahan pertama membawa kita pada
kemungkinan kalimat dari Youcat Nomor 1 tersebut
sebagai ‘pembenaran’ manusia akan segala kejahatan dan keburukan yang
dilakukannya di dunia ini. Bahwa Tuhan sudah punya rencana pada segala yang
berlaku maka apa yang jahat atau yang tak benar yang kulakukan adalah juga apa
yang sudah ditorehkan dengan tinta oleh Tuhan. Selain itu, konsentrasi pada
janji keselamatan pada akhir hidup yakni Kerajaan Surga bisa jadi membuat
manusia tak berkonsentrasi pada kekinian. Kehidupan profan di sini dan hari ini
bukanlah konsentrasi manusia. Dengan demikian pandangan ini tentu saja bisa
menghambat, katakanlah, perkembangan peradaban manusia.
Dalam
permasalahan kedua yakni permasalahan seputar pengetahuan kosmologi, pandangan
manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang berdampak pada pemujaan bumi
lebih dari benda langit yang lain terbukti salah. Namun demikian Tuhan bisa
pula dijadikan semacam pegangan pencaharian pengetahuan. Tuhan bisa menjelma
pemicu hasrat pengetahuan manusia sekaligus pemberi batas sehingga manusia
dalam laku mengetahuinya tak merasa ‘sendirian di gelap gulita malam yang
berkepanjangan.
Tuhan
bagi tulisan ini dengan demikian pada kedudukan pertama janganlah ditempatkan
sebagai pelarian dari ketaksanggupan, kelemahan, dan kesalahan-kesalahan
manusia (sebuah permasalahan yang mengemuka ketika membicarakan historisisme
dan sejarah teleologis), melainkan baiklah Ia ditempatkan sebagai pendorong
menuju hal-hal yang justru memajukan kehidupan manusia di sini dan hari ini;
jadikanlah Ia kawan kita dalam pencaharian tak berujung, jadikanlah dia batas
Ideal yang baik yang perlu dikejar untuk membuka selubung-selubung kegelapan
dan ketaktahuan yang terhampar di antara kita dan Dia.
Sebagai
sebuah tulisan yang bercorak esai ringan dengan refleksi ala kadarnya serta
argumentasi ala kadarnya dengan sebuah kesimpulan yang sederhana pula, baiklah
ditutup dengan sebuah puisi dari Charles Bukowski bertajuk Yes Yes. Bukowski adalah penyair posmo Amerika yang juga sangat
berciri dionisian dalam pemahaman Nietzsche. Ia membicarakan Tuhan dalam puisi Yes Yes-nya ini, mungkin dalam keadaan
mabuk[5]:
YES YES
when God created love He didn’t help most
when God created dogs He didn’t help dogs
when God created plants that was average
when God created hate we had a standard utility
when God created me He created me
when God created the monkey He was asleep
when He created the giraffe He was drunk
when He created narcotics He was high
and when He created suicide He was low
when He created you lying in bed
He knew what He was doing
He was drunk and He was high
and He created the mountains and the sea and fire
at the same time
He made some mistakes
but when He created you lying in bed
He came all over His Blessed Universe.
when God created love He didn’t help most
when God created dogs He didn’t help dogs
when God created plants that was average
when God created hate we had a standard utility
when God created me He created me
when God created the monkey He was asleep
when He created the giraffe He was drunk
when He created narcotics He was high
and when He created suicide He was low
when He created you lying in bed
He knew what He was doing
He was drunk and He was high
and He created the mountains and the sea and fire
at the same time
He made some mistakes
but when He created you lying in bed
He came all over His Blessed Universe.
Daftar Bacaan:
Buku
dan Artikel:
Catholic Thruth Society, Youcat: Youth Cathecism of The Chatolic Church, diterjemahkan oleh
Michael J. Miller, (San Francisco: Ignatius PRESS), 2011.
Samuel Moyn, “Jewish and Christian Philosophy of
History”, dalam Aviezer Tucker (ed.), A
Companion to the Philosophy of History and Historiography, (West Sussex:
Blackwell Publishing Ltd), 2009.
Karlina Supelli, “Ciri Antropologis Pengetahuan”,
dalam Ihsan Ali-fauzi dan Zainal Abidin Bagir (peny.), Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal batas Pengetahuan, Menentang
Fanatisme, (Bandung: Mizan), 2011.
Karlina Supelli, “Youcat 1-6: Tema Penciptaan
(Mengapa Kita Mampu Beriman?)”, bahan untuk mata kuliah Filsafat dan Teologi,
STF Driyarkara, 2013.
Charles Bukowski, Burning in Water Drowning in
Flame: Selected Poems, (Harper Collins e-Book), hlm. 178
Internet:
http://www.news.wisc.edu/newsphotos/milkyway.html;
diunduh pada 6 Juni 2013.
http://blamoscience.tumblr.com/post/16709332093/bluedogeyes-earth-500-years-ago-the-myth-of;
diunduh pada 6 Juni 2013.
[1] Catholic Thruth Society, Youcat: Youth Cathecism of The Chatolic
Church, diterjemahkan oleh Michael J. Miller, (San Francisco: Ignatius
PRESS), 2011, hlm. 13.
[2]
Samuel Moyn, “Jewish and Christian Philosophy of History”, dalam Aviezer Tucker
(ed.), A Companion to the Philosophy of
History and Historiography, (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd), 2009,
hlm. 427.
[4] Sumber gambar: http://blamoscience.tumblr.com/post/16709332093/bluedogeyes-earth-500-years-ago-the-myth-of;
diunduh pada 6 Juni 2013.
[5] Charles Bukowski, Burning in
Water Drowning in Flame: Selected Poems, (Harper Collins e-Book), hlm. 178
*Catatan: Tulisan ini merupakan paper mata kuliah FILSAFAT DAN TEOLOGI di STF DRIYARKARA semester genap 2012/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar