Ketika saya hendak mulai
menulis makalah ini, salah satu following
saya di jejaring sosial twitter
menulis demikian, “sejarah negara-negara di dunia membuktikan bahwa penegakan
hukum yang tegas, keras dan adil adalah syarat utama dan fondasi bagi kemajuan
ekonomi.” Bagi saya, apa yang dikatakannya di twitter itu punya keterkaitan dengan bahan yang akan menjadi
rujukan utama saya dalam tulisan ini yakni bab X yang bertajuk “Law” dari buku Natural Law and Natural Right karya John
Finnis.
John Finnis dikenal
sebagai filsuf hukum yang berusaha mengembalikan peran moral ke dalam hukum
yang oleh para filsuf aliran positivisme hukum dihilangkan perannya dalam pemikiran
tentang hukum.[1]
Hukum yang berlandaskan moral ini adalah salah satu ciri khas dari natural law
yang kehadirannya dalam sejarah mendahului kehadiran hukum positivis. John
Finnisi yang lahir pada 1940 ini adalah Profesor hukum dan Filsafat Legal di
Universitas Oxford dan juga di Universitas Notre Dame.[2]
Sejak 1989 ia sudah menjadi Profesor Hukum dan Filsafat Hukum, dan sejak 1966
ia adalah tutor hukum di Universitas Collegge. Pada 1972-1989 ia menjabat
sebagai Rhodes Reader pada Hukum
Pesemakmuran Inggris dan Amerika Serikat.[3]
Seperti yang sudah saya
katakan pada paragraf awal tulisan ini bahwa yang menjadi rujukan utama tulisan
ini adalah Bab X dari sebuah karya penting John Finnis yakni Natural Law and Natural Right. Yang
hendak tulisan ini tuju dengan menjadikan bab X tersebut sebagai rujukan adalah
menunjukan ciri-ciri utama dan the rule
og law sebagai pendasaran sebuah negara modern alias negara yang
berdasarkan atas hukum. Untuk tujuan itu saya akan pertama memaparkan secara singkat apa yang diuraikan John Finnis
dalam bab X karyanya tersebut. Selanjutnya, kedua,
kita akan menunjukan relefansi pemikiran John Finnis tersebut dengan keadaan di
Indonesia saat ini. Dan pada bagian ketiga kita akan memberikan semacam
kesimpulan atas pemaparan ini.
Hukum
Menurut Finnis: Dari Sangsi Hingga Hukum Alam sebagai Analogi
Kita tahu bahwa negara modern adalah negara yang
berlandaskan atas hukum. Hal ini dilaksanakan karena negara tersebut Yang
menjadi pintu masuk Finnis dalam bab ini—yakni jika kita sesuaikan dengan judul
yang diberikannya untuk bab ini, “Law”—sebelum membicarakan hukum dan definisi
hukum lebih jauh adalah ia mengurai hubungan sanksi dan hukum. Sanksi bagi
Finnis adalah sarana untuk mendidik orang. Karena sanksi adalah salah satu
perangkat hukum, maka sesungguhnya ia pada tujuan terakirnya adalah untuk
mencapai kebaikan bersama (common good).
Selanjutnya, menurutnya sanksi tersebut pun bukan berarti menghilangkan
kebaikan individu orang bersangkutan. Justru kebaikannya itulah yang
diperjuangkan dengan memberinya sanksi. Karena sanksi diharapkan membawanya
pada pelajaran tentang hukum dan selanjutnya tak akan ada lagi kesalahan
dilakukannya.
Setelah membahas soal sanksi, Finnis sedikit membahas
perihal “Unjust Punishment”. Di
dalam bagian ini ia membahas apa itu Lembaga Hukum dan pada titik mana Lembaga
Hukum ini bisa dikatakan diselewengkan. Lembaga Hukum pada dasarnya merupakan
sebuah bentuk respons manusia pada kebutuhannya yang praktis. Berbeda dengan
lembaga atau institusi lainnya, karena ia bernama lembaga Hukum maka tujuan
praktis yang hendak dicapainya adalah menjaga atau melindungi kebaikan bersama
yang adalah tujuan dari hukum itu sendiri. Demikianlah, tujuan dari Lembaga
Hukum adalah menjaga kebaikan bersama itu. Finnis lantas menekankan bahwa
ketika sebuah Lembaga Hukum tidak menjalankan hal itu tetapi dijalankan untuk
kepentingan lainnya semisal kepentingan seperti kepentingan pribadi atau
individu maka lembaga tersebut sudah menjauhi prinsipnya.
Kemudian,
Finnis memberi lima prinsip legal order
yakni pertama hukum membawa definisi,
secara spesifik, jelas, dan menjadi mungkin untuk interaksi manusia,dengan cara sistem peraturan-peraturan
dan institusi-institusi yang mana institusi-institusi tersebutlah yang membuat
dan mengelolah peraturan, dan membakukan eksistensi mereka, ruang lingkup,
aplikatifnya dan operasinya.[4] Finnis
lantas melihat bahwa dalam point pertama ini terdapat sesuatu yang aksiomatik
yakni hukum menjadikan dirinya ada oleh kemampuannya sendiri. Pertanyaan yang
mengikuti uraian ini adalah bagaimanakah hukum yang otoritatif bisa dilakukan
oleh sesuatu yang tidak otoritatif? Pertanyaan ini rupa-rupanya mendapatkan
jawabannya di poin ke dua.
Poin kedua tersebut
adala legal sistem melandasi alasan keberadaan hukum pada peristiwa-peristiwa
hukum di masa lalu.[5]
Demikain penjelasan Finnis: “The primary legal method of showing that a rule is
valid is to show (i) that there was at some past time, t1, an act (of a
legislator, court, or other appropriate institution) which according to the rules
in force at t1
amounted to a valid and therefore operative act of rule-creation, and (ii) that
since t the rule thus created
has not determined (ceased to be in force) by virtue either of its own terms or
of any act of repeal valid according to the rules of repeal in force at times t2, t3...”[6]
Jadi, alih-alih hukum legal mencari kemungkinan keberadaanya dari hal lain di
luar hukum—seperti yang ditanyakan Finnis—hukum justru melandasi dirinya pada
peristiwa-peristiwa hukum di belakangnya atau sebelumnya.
Hal ini bisa kita contohkan demikian. Sebuah
peraturan tentang lelang misalnya ketika berlaku sekarang dia menempatkan atau
mendapat legitimasinya dari masa lalu yakni waktu ketika hukum itu ditetapkan.
Namun demikian, apa yang dibuat hari ini dalam bidang hukum dengan demikian
selalu dipikirkan konsekuensi dan dampaknya untuk masa depan.
Poin ketiga adalah
hukum harus memungkinkan pribadi-pribadi untuk menerapkan hukum atau aturan
baik untuk dirinya sendiri atau pun dirinya dalam hubungan dengan orang lain.[7]
Artinya bahwa hukum itu haruslah memberi kebebasan orang untuk pula membuat
peraturan dan juga janji-janji untuk kepentingan dirinya dan juga dalam kaitan
dirinya dengan orang lain. Hal ini msailnya bisa kita lihat pada pembuatan
perjanjian bisnis, surat bermeterai, dsb.
Poin keempat
adalah apa yang jelas dan terprediksi itu dapat dibawa ke dalam interaksi
manusia dengan beragam teknik yakni, “... the treating of (usually datable) past
acts (whether of enactment, adjudication, or any of the multitude of exercises
of public and private ‘powers’) as giving, now, sufficient and exclusionary reason for
acting in a way then ‘provided
for’”[8].
Di sini yang dimaksudkan adalah apa yang sudah dirumuskan dengan baik oleh
hukum tersebut akan diaplikasikan dalam kehidupan manusia dengan beragam teknik
yang memungkinkan dia terlaksana. Dan poin kelima adalah teknik ini diperkuat
dengan sistem kerja di mana setiap pertanyaan atau problem koordinasi sekarang
diatur oleh tindakan-tindakan juridis masa lalu. Poin kelima ini seperti mengulangi poin ke dua. Jika di poin ke dua
penekanannya pada pendasaran, maka poin ke lima ini penekanannya pada tindakan.
Setiap tindakan dari hukum pada masa kini selalu dilandasi dan mempelajari
segala pengalaman dan tindakan hukum yang pernah terjadi di masa lalu.
Sebelum menjelaskan kelima poin ini, Finnis
sebelumnya merujuk ke max Weber dalam rangka menjelaskan perihal hukum dalam
hubungannya dengan sanksi dan keotoritasan yang tersedia. Rujukannya atas Weber
adalah dalam rangka menjawab pertanyaan, “would there be need for legal
authority and regulation in a world in which there was no recalcitrance and
hence no need for sanctions?”[9]
Weber menemukan dalam kehidupan modern apa yang bisa disebut ‘hukum’ ada dalam
sistem legal. Hukum untuk Weber adalah koordinasi otoritas (authoritative coordination) yang beroperasi
dengan kepatuhan terhadap hukum, perintah-perintah hukum yang konsisten. Di
sini berperan penting mereka yang berwenang yang menjalankan hukum dalam
kapastitas mereka yang ditentukan oleh undang-undang.
Maka, kita sebenarnya bisa menarik garis apa yang
dikehendaki oleh Finnis dengan memaparkan pemikiran Weber tentang hukum dan
lima ciri hukum legal. Finnis menyimpulkan bahwa sebenarnya hukum menurut Weber
dan hukum positif itu tidak terlalu ada bedanya. Keduanya, pengertian hukum
Weber dan lima ciri hukum, bisa diartikan dalam dua pengertian yakni hukum
sebagai hukum paksaan (coercive order)
dan hukum mengatur ciptaanya sendiri.
Hal penting kedua yang hendak disampaikan Finnis
dalam tulisan ini adalah perihal the rule
of law. Yang dimaksudkan dengan the
rule of law di sini adalah perintah berdasarkan hukum. Bisa kita artikan
hal ini sebagai negara berdasarkan hukum yang merupakan ciri-ciri negara modern
dengand emikian merupakan ciri-ciri hukum modern pula. Demikian Finnis, “The
name commonly given to the state of affairs in which a legal system is legally
in good shape is ‘the Rule of Law’”.[10] The Rule of Law bisa dikatakan tercipta
apabila sistem hukumnya menunjukan aspek-aspek sebagai berikut: (i) aturan
itu prospektif, tidak berlaku surut, dan (ii) bersifat pasti terpatuhi
(iii) aturan itu ditetapkan, (iv) jelas, dan (v) berkoheren
dengan yang lain (vi) aturan itu cukup stabil sehingga
memungkinkan orang untuk dibimbing oleh pengetahuan mereka atas
isi aturan itu (vii) pembuat keputusan dan perintah yang
aplikatif untuk situasi yang relatif terbatas dipandu
oleh aturan yang diundangkan, jelas, stabil, dan
relatif umum, dan (viii) mereka yang memiliki
otoritas untuk membuat, mengelola, dan
menerapkan aturan memiliki kapasitas resmi (a) bertanggung
jawab atas kepatuhan mereka dengan ketentuan yang berlaku
untuk kinerja mereka dan (b) melaksanakan hukum benar-benar
dengan konsisten dan sesuai dengan tujuannya[11].
Di dalam delapan unsur
yang memungkinkan sebuah sistem dikatakan benar-benar the rule of law ini kita menemukan bahwa selalu ada proses dan para
aktor di dalamnya. Jika disandingkan dengan lima hal di atas maka terlihat
bahwa ada kesamaan atau ada persamaan dalam tujuannya yakni menghantarkan
individu untuk memenuhi kenyamanan dirinya sendiri. Individu hanya
bisa menjadi dirinya—memiliki 'harga diri' menjadi 'agen yang
bertanggung jawab'—jika mereka tidak dibuat untuk menjalani kehidupan
mereka untuk kenyamanan orang lain,
tetapi diperbolehkan dan dibantu untuk menciptakan
identitas hidup mereka sendiri 'seumur hidup' mereka. Ini juga tidak
memungkinkan para penguasa untuk menggunakan kewenangan mereka demi
tujuan-tujuan tertentu untuk pribadi atau golongannya. Sehingga pemegang
wewenang hukum secara implisit bertujuan untuk menjaga kebaikan bersama atau
menuju kebaikan bersama. Tujuan kedelapan desiderata ini adalah untuk membentuk
subyek yang berwenang martabat dirinya sehingga bebas dari bentuk-bentuk
manipulasi.
Patut
diperhatikan bahwa the rule of law
itu semacam sebuah kondisi ideal. Sebagai sebuah kondisi ideal bisa saja dia
tercapai namun bisa saja dia hanya sebatas angan-angan yang tersu diupayakan.
Menyadari hal ini, Finnis pun menjelaskan batas-batas dari the rule of law tersebut. Pertama-tama, Finnis ingin menunjukan
bahwa the rule of law ini kemungkinan besar akan berbahaya jika
berada di bawah kekuasaan sebuah tirani tertentu. Finnis merujuk pada Lon Fuller
dan para pengkritiknya.
Fuller dan para
pengkritiknya mengatakan bahwa bahwa the
rule of law adalah pisau bermata ganda; di satu sisi ia bisa menjadi
penjaga hukum di lain pihak ia bisa digunakan untuk melegitimasi kepentinga
para penguasa tiran. Yang dipersoalkan lebih jauh oleh Finnis adalah kata
“dapat” yang diangkat oleh mereka yang berpikir demikian. Kata “dapat” berarti
mengandung unsur kesengajaan, sebuah unsur negatif yakni unsur yang
memungkinkan ia diselewengkan. Maka, ketika ia berhasil diselewengkan—salah
satu dari kedelapan desiderata itu—otomatis di saat itu juga kita tidak bisa
berkata bahwa sistem tersebut berada dalam kondisi the rule of law. ‘Pengkhianatan’ atas the rule of law pun bisa terjadi ketika the rule of law diikuti hanya sebagai taktik untuk nantinya
medelegitimasikannya kembali. Misalnya begini. Sebuah partai tertentu mengikuti
segala aturan yang ada untuk mencapai kekuasaan dalam Pemilu. Setelah mereka
duduk di dalam kepemimpinan kemudian hukum itu pun mereka ubah atau mereka
manfaatkan demi kepentingannya sendiri.
Setelah memaparkan
dasar-dasar hukum legal dan menunjukan desiderata-desiderata the rule of law, Finnis kemudian masuk
ke pada definisi tentang hukum itu sendiri dari pandangannya. Demikian Finnis,
“…the term ‘law’ has been used with a focal meaning so as to refer primarily to
rules made, in accordance with regulative legal rules, by a determinate and
effective authority (itself identified and, standardly, constituted as an
institution by legal rules) for a ‘complete’ community, and buttressed by
sanctions in accordance with the rule guided stipulations of adjudicative
institutions, this ensemble of rules and institutions being directed to
reasonably resolving any of the community’s co-ordination problems (and to
ratifying, tolerating, regulating, or overriding co-ordination solutions from
any other institutions or sources of norms) for the common good of that
community, according to a manner and form itself adapted to that common good by
features of specificity, minimization of arbitrariness, and maintenance of a
quality of reciprocity between the subjects of the law both amongst themselves
and in their relations with the lawful authorities”[12].
Dari definisi ini kita
lihat bahwa Finnis mau menunjukan bahwa apa yang dikatakan sebagai hukum itu
harus mengandung unsur-unsur ciri-ciri hukum dan the rule of law. Itulah hukum modern. Dengan demikian Finnis
memberikan sebuah definisi hukum yang bisa dikatakan cukup ideal. Tetapi
keadaan ideal itulah hukum yang sebenarnya atau hukum dapat mencapai
kesempurnaannya dalam keadaan ideal, keadaan ketika segala ciri-cirinya
terpenuhi dan segala desideratanya berjalan dengan baik.
Dengan mendefinisikan
hukum secara demikian, Finnis ingin mengatakan bahwa hukum alam tidak bisa
disejajarkan atau dianggap sebagai hukum. Hukum alam hanya mungkin dianalogikan
sebagai hukum. Demikian Finnis, “‘Natural law’—the set of principles of
practical reasonableness in ordering human life and human community—is only
analogically law, in relation to my present focal use of the term: that is why
the term has been avoided in this chapter on law, save in relation to past
thinkers who used the term”[13].
Namun, bukan berarti hukum alam itu tidak ada hubungannya atau sumbangannya
terhadap hukum. Finnis akan melirik kepada Thomas Aquinas untuk menunjukan
hubungan itu.
Bagi Aquinas, hukum (dalam
contoh soal pembunuhan) merupakan turunan dari hukum alam, diturunkan dari
prinsip-prinsip umum hukum alam dan ini bukan sekadar hukum positif tetapi
memiliki kekuatannya dari hukum alam. Jadi di dalam hukum positif, ada hukum
alam. Hooker mengatakan bahwa hukum ini hanya meratifikasi dan menambahkan kekuatannya
dengan hukuman. Finnis mengamini pandangan Aquinas dan Hooker tetapi ia
menekankan bagaimana penerimaan atau masuknya prinsip moral ke dalam sistem
legal perlu diperhatikan.
Bahasa hukum legal berbeda sekali; tidak memformulakan
masalah moral tetapi lebih langsung. Atau hukum yg lebih langsung sebagai
‘perintah’ ini memberikan sesuatu yang lebih praktis. Untuk Aquinas hukum
terlatak dalam dua bagian yaitu ‘derivasi dari hukum alam seperti kesimpulan
yang disimpulkan dari prinsip-prinsip umum’ dan ‘derivasi dari hukum alam
seperti implementasi arahan-arahan umum’. Aquinas pun berpendapat bahwa semua
hukum yang dibuat manusia berasal dari hukum alam.
Indonesia
Sebagai Negara yang Berdasarkan Atas Hukum?
Pertanyaan ini
tentu sangat mudah dijawab dengan sekali menarik nafas dan melepaskannya dan
sekali memberi kepala untuk mengingat keadaan hidup di negeri ini. Tetapi tentu
saja kita harus memberikan alasan-alasan khusus dan jika mungkin contoh-contoh
kasus untuk menjawab pertanyaan itu. Apakah Indonesia adalah negara yang
berlandaskan atas hukum? Pertama-tama, kita akan memeriksa hukum di Indonesia
dalam lima ciri hukum legal yang diberikan oleh Finnis.
Point pertama adalah
hukum haruslah membawa definisi secara spesifik jelas sehingga memungkinkan
dalam interaksi manusia. Untuk poin pertama ini kita bisa katakan bahwa di
Indonesia masih mungkin untuk terjadi. Definisi-definisi hukum di Indonesia
bisa dikatakan cukup jelas dan punya definisi yang kuat. Point kedua kita
melihat bahwa di Indonesia pun hal itu terjadi. Bahkan, di Indonesia hukum yang
ada sekarang landasannya ada pada peristiwa-peristiwa hukum dan hukum dari
penjajah Belanda. Point ketiga pun dapat kita katakan ada di dalam hukum di
Indonesia. Di negeri ini kita dimungkinkan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian
hukum sendiri dengan orang lain yang berhubungan dengan kita. Salah satu
contohnya adalah penggunaan meterai ketika kita hendak membayarkan uang
pembelian rumah, dsb. Point keempat pun bisa kita saksikan di Indonesia.
Definisi-definisi hukum diturunkan dalam praktek-praktek tertentu untuk menjaga
supaya definisi-definisi tersebut bisa dijalankan secara praktis dan tak sulit
dalam kehidupan. Point kelima pun saya kira masih bisa ditemukan di Indonesia,
bagaimana segala tindakan hukum di masa ini berlandaskan pula tindakan hukum di
masa lalu dan ketetapan-ketetapan hukum di masa lalu.
Sekarang kita akan
melihat masalah desiderata dari the rule
of law dalam aplikasinya di Indonesia. Desiderata pertama mengatakan bahwa
hukum bersifat prospektif, tidak berlaku surut. Ini tentu tak perlu kita
perdebatkan lagi, ini terjadi dan dipraktekan di negeri kita. Pada desiderata
kedua bersifat terpatuhi. Ini tak bisa kita katakan berlaku dengan baik di
negeri kita. Contohnya sangat jelas, kita lihat saja para pengguna jalan,
apakah mereka setia dalam mematuhi lampu lalu lintas? Yang ketiga adalah aturan
itu ditetapkan. Ya, untuk desiderata ketiga ini bisa dikatakan terjadi dan
dilaksanakan di Indonesia. Hukum itu jelas merupakan poin keempat. Di sini bisa
kita perdebatkan. Di Indonesia pasal-pasal hukum tertentu terasa tidak jelas.
Misalnya pada P3 & SPS 2009 kita menemukan bahwa pada pasal tentang iklan
tidak jelas bahwa apakah iklan tersebut yang dikatakan tidak boleh lebih dari
20 % dalam waktu siaran. Yang menjadi tidak jelas adalah waktu siaran itu
berapa lama; sehari, seminggu, sebulan, atau setahun?[14] Poin desiderata keenam pun saya rasa tidak
bisa dikatakan terjadi di Indonesia. Contohnya bisa kita gunakan masalah P3 dan
SPS di atas. Dengan tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksudkan
dengan waktu siaran maka peraturan tersebut multu interpretasi dan dengan
demikian tidak bisa dikatakan stabil. Poin desiderata ketujuh pun menurut saya
bermasalah. Kita bisa meleihat betapa bobroknya para pembuat atau pemangku
hukum kita. Mereka tidak dipandu oleh sebuah peraturan yang stabil. Desiderata
ke delapan pun menurut saya cukup bermasalah terlebih pada point turunan
(b)-nya yang berbunyi, “melaksanakan hukum benar-benar dengan konsisten
dan sesuai dengan tujuannya”. Para pemangku hukum di Indonesia alih-alih
menjalankan hukum secara konsisten sesuai dengan tujuannya, mereka justru
berusaha menyelewengkannya.
Penutup
Seperti yang
sudah dikatakan dalam makalah ini sebelumnya bahwa Finnis merumuskan sebuah
hukum yang ideal. Tujuan hukum seperti pula yang sudah kita bahas dalam tulisan
ini selalu bersifat demi kebaikan bersama (common
good) sebuah tujuan dari hukum legal yang diturunkan dari hukum alam. Patut
kita ingat bahwa hukum alam tidak bisa dikatakan sebagai hukum; ia hanya
sebagai analog atas hukum.
Namun
demikian untuk menjadi sebuah negara modern yakni negara yang berlandaskan atas
hukum—kita tentu ingat bahwa negara kita Indonesia ini pun sebenarnya berpikir
bahwa dirinya berlandaskan atas hukum—setidaknya dalam pandangan Finnis ini
harus memenuhi lima ciri hukum legal dan hukumnya harus memenuhi delapan
desiderata the rule of law. Sebelum
bagian penutup ini kita sudah mencoba untuk melihat apakah Indonesia memenuhi
kedua hal itu. Ternyata tidak. Maka, hukum di Indonesia belumlah menjalani
fungsinya sebagai sebuah landasan terhadap negara karena dia tidak
dijalankan—ingat bahwa dalam desiderata-desiderata itu bukan sekadar ide tetapi
selalu ada situasi dan orang yang menjalankannya—dengan baik; terdapat
cacat-cacat pada pemenuhan desiderata-desideratanya.
Saya
sampai pada kesimpulan bahwa demi menjadi sebuah negara yang modern warga
negara dari negara tersebut sendirilah yang harus mengusahakannya; karena
desiderata-desiderata hukum legal sepenuhnya berjalan dalam sebuah situasi dan
kondisi tertentu serta dijalankan oleh orang-orang dan oknum-oknum tertentu.
Ketika hukum kita timpang, maka yang bertanggung jawab adalah kita semua, warga
negara ini. Tentu secara spesifik kita bisa menunjukannya pada para pemangku
hukum namun setidaknya itulah tugas kita. Dengan tidak menjalankan hukum
sebagaimana idealnya a la Finnis,
kita tidak mengusahakan kebaikan bersama (common
good) yang merupakan tugas utama yang ‘dititahkan’ hukum alam yang berarti
moral kepada kita. Maka, saya hanya akan menutup tulisan ini dengan sebuah
kalimat demikian, “jangan teriak-teriak tentang keseronokan Lady gaga jika anda
sendiri belum bisa mengurus dengan baik
hukum di negara anda; jangan teriak-teriak orang dari luar sana tidak bermoral
ketika anda sendiri tak bisa sama sekali, dalam waktu lima menit pun mengemban
tugas moral yakni kebaikan bersama melalui hukum di negeri anda sendiri.”
Daftar
Bacaan:
Finnis, John, Natural Law and Natural Right: Second
Edition, (New York: Oxford University Press), 2011.
Wacks, Raymon, Philosophy of Law: A Very Short
Introduction, (New York, Oxford University Press), 2006
Sumber
Internet:
http://andrewgoddard.squarespace.com.
http://remotivi.or.id
[1] Raymon Wacks, Philosophy of Law: A Very Short
Introduction, (New York, Oxford University Press), 2006, hlm. 18.
[2] http://andrewgoddard.squarespace.com/john-finnis/.
Diakses pada 30 Mei 2012.
[3] http://www.law.ox.ac.uk/profile/john.finnis.
Diakses pada 30 Mei 2012.
[4] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition, (New York: Oxford University Press), 2011, hlm. 268.
[5] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 268
[6] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 268.
[7] Thirdly, then,
rules of law regulate not only the creation, administration, and adjudication
of such rules, and the constitution, character, and termination of
institutions, but also the conditions under which a private individual can
modify the incidence or application of the rules (whether in relation to
himself or to other individuals). John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second Edition.., hlm. 268.
[8] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 269.
[9] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 266.
[10] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 270.
[11] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 270.
[12] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 276-277.
[13] John Finnis, Natural Law and Natural Right: Second
Edition.., hlm. 280.
[14] “Menyoal Iklan
di TV, Menggugat Makna Ruang Publik. http://remotivi.or.id/meja-redaksi/menyoal-iklan-di-tv-menggugat-makna-ruang-publik.
Diakses 30 Mei 2012.
*Tulisan ini merupakan makalah UAS mata kuliah Filsafat Hukum Kontemporer Semester genap 2011/2012 di STF Driyarkara, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar