Stoikisme sebagai
sebuah aliran filsafat yang muncul pada kebudayaan Romawi tentu tidak begitu
saja hilang setelah tak lagi ada kebudayaan tersebut. Sampai filsafat modern
dan juga kontemporer, pengaruh Stoikisme terasa. John Sellars misalnya
menyebutkan beberapa nama filsuf yang sangat terpengaruh stoikisme yakni
Montaigne, Kant, Nietzsche, dan Deleuze.[1] Tentu
menarik melihat bagaimana sumbangan stoikisme terhadap para pemikir itu.
Terkhusus untuk kepentingan tulisan ini, kita akan membahas hubungan antara Nietzsche
dan stoikisme.
Tentang ketertarikan
Nietzsche atas filsafat dan kebudayaan antik memang cukup beralasan. Ia dikenal
pada awalnya sebagai seorang ahli filologi terkhusus untuk bahasa-bahasa dari
kebudayaan antik. Bahkan, Nietzsche banyak menulis tentang kebudayaan antik
itu. Nietzsche memang belajar secara khusus tentang filologi zaman antik ini di
Universitas Bonn dan Leipzig dan pada usia 24 tahun dia diangkat sebagai Profesor
Luar Biasa bidang Filologi Klasik di Universitas Basel.[2]
Jika ketertarikan
Nietzsche terhadap filsafat Yunani langsung terasa dengan melihat saja beberapa
judul karya Nietzsche, untuk filsafat Romawi terkhusus Stoikisme hal itu tak
bisa kita lakukan[3].
Namun beberapa penulis merujuk ke beberapa karya Nietzsche seperti Beyond God and Evil dan On the Genealogy of Morals dan menemukan
adanya pengaruh stoikisme yang begitu besar dalam pemikiran Nietzsche. R. O.
Elveton misalnya menulis sebuah artikel khusus tentang hubungan Nietzsche dan
tradisi stoik ini dalam artikelnya “Nietzsche’s
Stoicism: The Depths Are Inside”.[4]
John Sellar menunjukan bagaimana hubungan antara Nietzsche dan stoikisme itu
sedikit paradoks; di satu sisi Nietzsche dengan sangat keras menentang ide
stoikisme tentang “hidup mengikuti alam” namun di sisi lain Nietzsche memuji
Epiktetus dan Senecca sebagai para moralis yang hebat.[5]
Elveton dalam
tulisannya yang disebutkan di atas mengunggkapkan bahwa di dalam ide Nietzsche
tentang genealogi moral, sangat banyak ditemukan pengaruh dan juga negasi atas
stoikisme. Di satu sisi Nietzsche mengamini dan mirip dengan beberapa butir
pemikiran stoikisme, di sisi lain Nietzsche juga terlihat mengkritik dan jauh
berbeda dengan beberapa pokok pemikiran stoikisme yang ‘mirip’ dengan pemikiran
Nietzsche.
Untuk mencerna lebih
lanjut hubungan Nietzsche dan Stoikisme maka tulisan ini akan dibagi dalam
beberapa bagian. Pertama, tulisan ini
akan membahas artikel dari R. O. Elveton terkhusus pada bagian-bagian di mana
Nietzsche sangat terpengaruh pada tradisi stiok. Kedua, masih membahas artikel tersebut di atas, kita akan menyarikan
bagian-bagian di mana Nietzsche mengkritik dan menolak beberapa pemikiran
stoikisme dan sekaligus memungkinkan pengembangnnya atas konsepnya sendiri. Ketiga, sebagai bagian terkakir, tulisan
ini akan memasukan sedikit catatan atas hubungan antara Nietzsche dan Stoikisme.
Nietzsche
Mengagumi Stoikisme[6]
Di dalam tulisannya,
Elveton mencurigai adanya kesamaan antara Nietzsche dengan Stoikisme terkhusus
dalam hal filsafat Nietzsche yang disebut sebagai sebuah seni hidup (eine Kunst des lebens). Hal ini memang
sejalan dengan stoikisme karena kita tahu untuk stoikisme filsafat adalah
latihan untuk hidup. Elveton lantas berspekulasi bahwa konsep Nietzsche
“kehendak berkuasa” (the will to power) merupakan konsep yang diambil Nietzsche
dengan sebuah peremenungan yang lebih dalam dari formula Stoikisme tentang
“hidup mengikuti alam”. Kita tahu, the
will to power, secara garis besar, merupakan salah satu pemikiran Nietzsche
yang paling terkenal dan merupakan sebuah konsep yang interior untuk hidup dan
bukan sebuah konsep metafisika atau transenden yang melampaui hidup.[7]
Menurut Elveton, Nietzsche
membahasakan konsep “hidup mengikuti alam” dari stoikisme dengan formula baru
yakni “kehendak berkuasa” (the will to
power), tentu saja dengan perubahan-perubahan tertentu yang justru membawa
konsep “hidup mengikuti alam” menjadi lebih dalam. Lebih khusus, kedekatan
Nietzsche dan Stoikisme ini dilihat oleh Elveton dalam hubungan Nietzsche dan
Epictetus.
Setidaknya, ada tiga
alasan menurut Elveton untuk membuktikan dekatnya Nietzsche dan Epitectus. Pertama, fakta menunjukan bahwa Nietzsche
membaca Epitectus dengan kepedulian yang tinggi. Kedua, di dalam pemikiran Epictetus tentang relasi manusia sudah
ditemukan pernyataan tentang kehendak manusia (human will). Ketiga, pandangan
Epitectus tentang ‘penderitaan’ menawarkan point penting yang kontras dengan
internalisasi dari kehendak manusia yang diidentifikasikan dalam genealogi[8]
Nietzsche dalam masalah-masalah seperti rasa bersalah, penderitaan, dan suara
hati yang buruk.
Elveton juga
mengingatkan hal penting ketika membaca pembacaan Nietzsche atas filsafat antik
yakni bagaimana ia melihat adanya dekadensi dalam kebudayaan Yunani Kuno. Hal
ini bisa kita lihat juga dalam salah satu tulisan Nietzsche “The Problem of
Socrates” dalam The Twilight of The Idols.
Namun, Nietzsche sendiri juga menemukan bahwa dalam tradisi pemikiran klasik
Yunani tersebut adanya hal-hal positif tentang martabat manusia (nobility) yang mana semakin kentara
dalam tradisi Stoik.
Kesamaan Nietzsche dan
Stoikisme (terkhusus Epitectus) ada pada penekanan bahwa “ide-ide” memiliki
konsekuensi untuk hidup. Hal ini, yakni “ide-ide” berkonsekuensi untuk hidup,
merupakan sebuah nada utama dalam karya Epitectus, Discourses, yang mana semuanya hampir berisi tentang latihan untuk
penguatan atau pelemahan dari jiwa penguasaan diri (soul’s self-mastery). Elveton memberi dua kutipan, masing-masing
dari Discourses dan Beyond God and Evil untuk membuktikan
kesamaan antara Nietzsche dan Epictetus itu[9]:
If indeed one had to be deceived into
learning that among things external and independent of our free choice none
concerns us, I, for my part, should consent to a deception which would result
in my living thereafter serenely and without turmoil […]. (Discourses, hlm. 35)
The falseness of a judgment is for us
not necessarily an objection to a judgment […]. The question is to what extent
it is life-promoting, lifepreserving […]. (Beyond
God and Evil, hlm. 4)
Selain
adanya kesamaan ide di dalam karya Nietzsche dan Epictetus, Elveton juga
menyatakan kesamaan keduanya dalam gaya penulisan. Gaya tulisan mereka seakan bergerak
secara cepat, sedikit aforistik, dari sebuah pemikiran ke pemikiran yang lain,
mengeksplorasi konsekuensi-konsekuensi dari beberapa kriteria tentang “penguasaan-diri”.
Secara lebih substantif, keduanya mengajarkan tentang martabat jiwa individual
yang melibatkan sikap keras pada diri sendiri, disiplin diri, kejujuran diri, dan
tidak takut pada situasi eksistensi manusia.
Epictetus
dan Nietzsche punya tujuan yang sama yakni pencapaian keindependensian yang
radikal dan “penguasaan diri” secara fatalis. Elveton pun mengatakan bahwa
dokrin amor fati yang terkenal dari
Nietzsche sudah dapat dikenali dalam Epictetus. Demikain, Elveton mengutip
Epictetus, “But […] things about us being as they are and as their nature is,
we may, for our own part, keep our wills in harmony with what happens”. Kalimat
ini tentu saja mengeksrpesikan apa yang dimaksudkan Nietzsche dengan amor fati. Amor fati merupakan term yang ditemukan dalam karyanya bertajuk The Gay Science. Term ini merujuk pada
pandangan Nietzsche bahwa seseorang harus ‘berkata ya’ pada kehidupan, tidak
menegasikan eksistensinya namun mengaffirmasi eksistensinya itu.[10]
Elveton
juga mengutip sebuah pernyataan Nietzsche di mana di sana ditunjukan bagaimana
Nietzsche langsung merujuk pada Stoik dalam soal disiplin diri dalam kebajikan
tentang kejujuran[11]:
Honesty, supposing that this is our virtue from
which we cannot get away, we free spirits—well, let us work on it with all our
malice and love and not weary of “perfecting” ourselves in our virtue,
the only one left us. […] And if our honesty should nevertheless grow weary one
day and sigh and stretch its limbs and find us too hard, and would like to have
things better, easier, tenderer, like an agreeable vice—let us remain hard,
we last Stoics! (Beyond God and Evil, hlm. 227)

Nietzsche
dengan keras mengkritik distingsi yang dibuat Stoikisme tentang “apa yang tergantung
pada diri kita sendiri” dan “apa yang tidak tergantung pada dirimu sendiri”. Distingsi
ini merupakan sebuah doktrin moral yang juga merupakan salah satu hal penting
dalam pemikiran stoikisme, terkhusus di bidang etika. “Apa yang tergantung pada
diri kita sendiri” ini pun merupakan sebuah kecenderungan yang mana akan selalu
harus sesuai dengan kehendak Alam (nature).[13]
Lebih jauh,
Epictetus memandang alam (nature)
sebagai kosmos rasional. Sedangkan
“diri” dipandang sebagai kehendak rasional yang mampu memahami kosmos dan menguasai dirinya dalam
menangguhkan segala dorongan untuk menganggu ketertiban alam. Pandangan metafisika
Stoik yang demikian, yang merupakan pengulangan atas formula metafisika Platon
yang diulangi oleh Epictetus, ini secara langsung diserang Nietzsche.
Elveton
mencoba melihat ide Nietzsche “kehendak berkuasa” (the will to power) sebagai sebuah rumusan metafisika.[14]
Dalam “kehendak berkuasa” terlihat langkah awal Nietzsche untuk meninggalkan
dan sekaligus mengkritik dokrin Stoik “hidup berdasarkan alam” (live according to nature). Nietzsche
secara langsung mempertanyakan dokrin Stoik tersebut sebagaimana dikutip Elveton[15]:
“According
to nature” you want to live? O you noble Stoics, what deceptive words
these are! Imagine a being like nature, wasteful beyond measure, indifferent
beyond measure, without purposes and consideration […]—how could you
live according to this indifference? […] In truth, the matter is altogether
different: while you pretend rapturously to read the canon of your law in
nature, you want something opposite […]. Your pride wants to impose your
morality, your ideal, on nature. (Beyond
God and Evil, hlm. 9)
Nietzsche juga
mengkritik konsep “diri” dalam Stoikisme. Diri dalam pemikiran Nietzsche adalah
manifestasi partikular dari “kehendak” dan alam adalah will to power—jadi diri adalah manifestasi partikular dari alam—ketika
kita melihat konsep metafisikanya, will
to power, sebagai sebuah ontologi. Namun konsep will dari Nietzsche mengambil dimensi non-stoik dengan
menghilangkan oposisi alam dari hubungan ini.
Menurut Elveton,
oposisi fundamental antara “apa yang ada di bawah kehendak diri” dan “apa yang
bukan” dari Stoik mereduksi “diri” ke dalam hanya satu dimensi dan kepada suatu
pemaknaan atas diri yang tidak sempurna. Sikap “saya”, keadaan batin “saya”
adalah refleksi atas kekuatan individual “diri-saya” tersebut. Tindakan saya
atas dunia bukanlah saya sesungguhnya melainkan hanya bagian dari diri saya. Apa
yang saya (diri) lakukan, sepenuhnya bukanlah saya tetapi saya adalah sikap
rasional saya terhadap apa yang saya lakukan dan sikap rasional saya terhadap
apa yang telah terjadi dan apa yang terjadi pada saya. Jadi, “diri” (self) dalam Stoik bukanlah diri secara
“keseluruhan” melainkan diri yang “dipikirkan” secara ‘rasional’; demikian
pemaparan Elveton atas pembacaan Nietzsche terhadap ide “diri” dari Stoik.
Mungkin bisa kita
pahami apa yang dikatakan Elveton ini demikian. Berikut, kita akan coba berusaha
memahaminya melalui sebuah fragmen. Terkenal sebuah cerita tentang seorang
Stoik yang hendak dipatahkan kakinya oleh majikannya. Ia tidak berteriak
kesakitan atau melawan tetapi dia hanya berkata melalui ‘rasional’-nya bahwa
jangan memelintir kaki saya, nanti kaki itu akan patah. Tetapi majikannya yang
mendengar itu tidak mengindahkan apa yang dikatakannya dan tetap memelintir
kakinya. Akirnya, kaki si stoik itu pun patah dan dia berkata pada majikannya,
“itu kan hasilnya. Saya kan sudah bilang kalau diplintir nanti akan patah kaki
saya?”
Di sini diri Sang Stoik
bukanlah ia yang merasa sakit, merasa ketakutan karena kakinya akan patah,
tetapi Stoik adalah dia yang secara rasional sadar bahwa tindakan pematahan
kakinya itu berada di luar kemampuan rasionalnya dan dia tak punya kuasa atas
kakinya dan tindakan pematahan atas kakinya itu.
Selanjutnya, menurut Elveton, meskipun Nietzsche
tidak menempatkan secara spesifik pandangan Stoik tentang kehendak (will), hal ini
dapat kita lihat pada fase awal periodesasi reaktif spiritual gerakan “yang
lemah” melawan “yang kuat” dalam tahap kedua genealogi Nietzsche, yakni pada periode
moral. Stoik menunjukan upaya menjauhi peristiwa-peristiwa “duniawi” dengan
menciptakan kebijaksanaan aristokratik yang lebih “bersifat ke dalam diri” (inward). “Inward” ini dalam pandangan Nietzsche, secara historis, memegang
peranan penting dalam tahap moral dari genealoginya. Perkara ini diungkapkan
Nietzsche dalam Beyond God and Evil dan
juga On the Genealogy of Morals.
Dakam On genealogy of Moral Nietzsche
menulis demikian, “All instincts that do not discharge themselves outwardly turn
inward—this is what I call the internalization of man: thus it was
that man first developed what was later called his ‘soul”.
Genealogi Nietzsche pun, pada tempat awalnya,
dipengaruhi oleh konsep “kehendak” yang murni Stoik, yang mana berafiliasi
dengan faktor genealogis, “dosa”, dan itu menghasilkan “rasa bersalah” (guilty) atau “kesadaran yang salah” (bad conscience). Demikian Nietzsche[16]:
who had to turn himself into an adventure, a torture
chamber, an uncertain and dangerous wilderness—this fool, this yearning and
desperate prisoner became the inventor of the “bad conscience.” But thus began
the gravest and uncanniest illness, from which humanity has not yet recovered,
man’s suffering of man, of himself—the result of a forcible sundering
from his animal past, as it were a leap and plunge into new surroundings and
conditions of existence […]. Let us add at once that, on the other hand, the existence
on earth of an animal soul turned against itself, taking sides against itself,
was something so new, profound, unheard of, enigmatic, contradictory, and
pregnant with a future that the aspect of the earth was essentially
altered. (On the Genealogy of Morals II, hlm.16)
Menurut Elveton, Nietzsche
mentransformasikan konsep “inwardness”
dari Stoik dengan sebuah penekanan dan cakupan kedalaman yang lebih luas dan
itu membawa sebuah konsep “diri” yang baru dan sebuah tugas yang baru untuk
“diri” tersebut.
Namun Elveton juga
mengakui adanya kompleksitas tertentu dalam hubunugan antara Nietzsche dan
Stoik. Problem utama Nietzsche dalam On
the Genealogy of Morals adalah pencaharian atas makna ascetic yang ideal. Nietzsche mengajukan pertanyaan, bagaimana
mungkin bagi kehendak, yang secara essensial adalah kekuatan peneguhan hidup,
dipaksa untuk dibelokkan kembali kepada dirinya sendiri dengan cara yang
mengancam kehidupan? Nietzsche menjawab bahwa kehendak lebih suka menghendaki
negasinya sendiri dari pada tidak sama sekali.
Elveton menyimpulkan
bahwa, Nietzsche mengacu pada faktor baru yang muncul dalam tahap awal genealogi
yakni sebuah proyek eksistensi yang “melampaui moralitas”. Konsekuensi penting
lain dari proyek Nietzsche ini adalah menghapuskan oposisi antara “apa yang ada
di bawah kendali saya” dan “apa yang tidak” dan memasukan sebuah konsepsi baru
tentang “kehendak” (will) yang tak
terbatas. Pada titik ini, kita melihat bagaimana Nietzsche menolak Stoikisme.
Intensionalitas terhadap sesuatu merupakan landasan
dari sebuah tindakan. Intensionalitas ini menurut Nietzsche membutuhkan periode
yang panjang untuk terlaksana. Hal yang demikian ini ada dalam “spirit eropa”
yang oleh Nietzsche dikatakan sebagai, “...trained to strength, ruthless
curiosity, and subtle mobility”. Nietzsche kemudian mencoba menunjukan sebuah
sisi terkecil dari diri yakni diri yang tanpa intensionalitas. Demikian
Nietzsche[17]:
But today—shouldn’t we have reached the necessity of
once more resolving on a reversal and fundamental shift in values, owing to
another self-examination of man, another growth in profundity? […] After all, today
at least we immoralists have the suspicion that the decisive value of an action
lies precisely in what is unintentional in it, while everything about it
that is intentional, everything about it that can be seen, known, ‘conscious,’
still belongs to its surface and skin—which, like every skin, betrays something
but conceals even more. In short, we believe that the intention is
merely a sign and symptom that still requires interpretation—moreover, a sign
that means too much and therefore, taken by itself alone, almost nothing. (Beyond God and Evil, hlm. 32)
Di
sini kita melihat bahwa bagi Nietzsche sesuatu yang dilakukan dengan
intensionalitas tertentu masih patut dicurigai karena dia berpotensi menyimpan
hal-hal tertentu, maka, sesuatu tindakan yang sungguh murni adalah tanpa
intensionalitas.
Elveton menguraikan bahwa di sini konsep diri-transparan
dalam Stoikisme digantikan dengan kecurigaan-diri oleh Nietzsche dan lantas
diradikalkan menjadi interpretasi-diri dan eksperimen-diri. Bagi Nietzsche,
tidak ada “pelaku” (dalam pengeritan motif tertentu) di balik sebuah tindaka
tanpa intensionalitas.
Intensionalitas ‘diajarkan’ pada diri manusia dalam
rentang periode tertentu sehingga hidup dikatakan layak untuk dihidupi harus
menunggu periode tersebut. Dengan hidup tanpa intensionalitas yang mana di
dalamnya tidak tersembunyi sebuah “motif” atau “pelaku” tertentu atas tindakan,
maka manusia harus dikembalikan ke alam. Mengembalikan hidup ke alam berarti
menjadikan “kehendak” (will) manusia
sebagai “kehendak untuk berkuasa” (the
will to power); karena seperti yang sudah kita katakan sebelumnya bahwa nature di sini adalah will to power.
Dengan mengemebalikan manusia ke alam ini berarti
Nietzsche menolak konsep jiwa-atomisme tradisional dan dia juga menolak segala
konsep tentang “diri” ketika menunjukan tak adanya “pelaku” di balik segala
“tindakan”. Di lain pihak, Nietzsche juga berusaha untuk mengembangkan ideal ascetik-nya dengan mengupayakan
sebuah roh tindakan yang “lebih dalam, lebih ke kedalaman batin (inwardness)” yang dicapai dengan sebuah
penderitaan asketis. Yang memungkin Nietzsche membicarakan inwardness yang seperti ini adalah tahap kebatinan Kristen.
Dalam ide tentang penderitaan (suffering), Elveton mengatakan bahwa kita bisa melihat perbedaan
antara Nietzsche dan Stoicisme. Untuk itu, ia mengutip Berdyaev yang menunjukan
karakteristik stoikisme dalam menanggapi penderitaan sebagai sebuah sikap yang
putus asa. Sikap moral yang tinggi dalam Stoikisme yang ditandai dengan apatheia[18]
menurut Berdyaev menyimpan ciri moralitas putus asa dan dekaden. Demikian
Berdyaev seturut kutipan Elveton[19]:
Stoicism is the doctrine of self-salvation and of
the attainment of peace or “apathy.” Stoic morality testifies to a very high
level reached by man’s moral consciousness, but in the last resort it is a
decadent and pessimistic morality of despair, which sees no meaning in life; it
is inspired by the fear of suffering. One must lose sensitiveness to suffering
and become indifferent—that is the only way out.
Sebaliknya,
ketika Berdyaev merujuk ke pada Nietzsche, ia melihat adanya sebuah tendensi
Nietzsche untuk melihat penderitaan dalam rangka penebusan menuju ke kehidupan,
walau pun memang penderitaan tersebut bisa juga membawa manusia pada kematian.
Penutup:
“Will To Power”
Demikianlah
dengan merujuk hampir sepenuhnya pada artikel R. O. Elveton R. O. Elveton,
“Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside” kita melihat adanya keterpautan
antara Nietzsche dan Stoicisme. Pada satu sisi, Nietzsche mengagumi apa yang
menjadi pencapaian-pencapaian filsafat stoikisme dan di sisi lain ia pun
mengkritik serta meradikalkan apa yang tersedia dalam filsafat stoiksime demi
mengembangkan filsafatnya sendiri.
Selain
kagum pada Epictetus dan Senecca yang oleh Nietzsche dianggagp sebagai figur
moral terhebat, kita melihat bahwa Nietzsche membaca dengan tekun dan serius
karya Epictetus. Dan oleh Elveton ditunjukan beberapa hal yang mana ada
kesamaan dari ide Nietzsche dan Epictetus. Tentu dengan gampang kita
menyimpulkan bahwa Nietzsche-lah yang dipengaruhi oleh Epictetus.
Namun,
Nietzsche pun mengkritik beberapa pandangan dan berbeda jalan dalam beberapa
hal dengan para pemikir stoikisme termasuk juga Epictetus tersebut. Kita
melihat hal yang paling mendasar adalah bagaimana konsep hidup berdasarkan alam dari Stoikisme menjadi pendasaran bagi Nietzsche untuk mengembangkan will to power-nya. Namun konsekuensi dari pengembangan dari hidup berdasarkan alam menjadi will
to power ini membawa Nietzsche pada pembedaan yang tajam dengan Stoikisme
terkhusus dalam hal diri, dan juga intensionalitas.
Akir kata,
mencerna apa yang menyamakan dan apa yang membedakan Nietzsche dan Stoikisme
bukanlah perkara gampang. Apalagi keduanya adalah dua tradisi besar dengan
kompleksitas pemikiran yang tak bisa dianggap remeh pula. Tulisan ini hanya
merupakan review atas upaya pembacaan hubungan antara Nietzsche dan Stoikisme
yang dilakukan R. O. Elveton sehingga sangat mungkin tulisan ini melewati dan
tidak bisa mencerna apa saja yang diajukan Elveton, mengingat untuk memahaminya
diandaikan pemahaman yang sangat memadai pula tentang stoikisme dan Nietzsche.
Daftar
Bacaan:
Elveton, R. O., “Nietzsche’s
Stoicism: The Depths are Inside”, dalam Paul Bishop (ed.), Nietzsche and Antiquity: His Reaction and Response to the Classical
Tradition,(Toronto: Husion House), 2004.
Sedgwick, Peter R., Nietzsche: The Key Concepts, (New York:
Routledge), 2009.
Sellars, John, Stoicism, (Durham: Acumen), 2010.
Spinks, Lee, Friedrich Nietzsche, (New York: Routledge), 2003.
Wibowo, A. Setyo, “Rangkuman dan
Ajaran Stoicisme”, catatan untuk Kuliah I “Seminar Stoicisme” di STF
Driyarkara, 27 Januari 2012.
[3] Beberapa tulisan Nietzsche
tentang filsafat dan budaya Yunani yang saya maksud antara lain, “The Greek
State”, “The Greek Woman”, “Homer’s Contest”, dan “Philosophy During the Tragic
Age of Greeks”.
[4] R. O. Elveton, “Nietzsche’s
Stoicism: The Depths are Inside”, dalam Paul Bishop (ed.), Nietzsche and Antiquity: His Reaction and Response to the Classical
Tradition,(Toronto: Husion House), 2004,
hlm. 192-203.
[6] Bagian ini merujuk hampir
sepenuhnya pada R. O. Elveton, “Nietzsche’s Stoicism: The Depths are Inside”.
Jika ada rujukan lain akan disampaikan pada catatan kaki.
[8] Term genealogi dalam Nietzsche harus diingat merujuk pada metode untuk
menganalisas model-model yang dominan dan yang berbeda-beda dalam wacanan
tentang etika (moralitas). Ia adalah juga sebuah ‘penelitian’ tentang konsep
etika (moralitas) dalam sejarah. Lih. Peter R. Sedgwick, Nietzsche: The Key Concepts, (New York: Routledge), 2009, hlm. 54.
[12] Bagian ini, seperti bagian
sebelumnya, hampir sepenuhnya merujuk ke artikel R. O. Elveton, “Nietzsche’s
Stoicism: The Depths are Inside”. Jika ada rujukan lain akan dijelaskan pada
bagian catatan kaki.
[13] Lihat, A. Setyo Wibowo,
“Rangkuman dan Ajaran Stoicisme”, catatan untuk Kuliah I “Seminar Stoicisme” di
STF Driyarkara, 27 Januari 2012, hlm. 3.
[14] Hal ini bisa jadi berbeda dengan
pembacaan yang umum atau yang lain. Bdk. Dengan catatan kaki no. 7.
[18] Apatheia adalah ketenangan jiwa.
Orang bijak yang “apatheia” artinya “ia tidak pernah ditarik-tarik” ke mana
pun. Keteguhannya tidak bisa digoyahkan oleh impuls-impuls berlebihan. Lih. A.
Setyo Wibowo, “Rangkuman dan Ajaran Stoikisme”..., hlm. 6.
*Tulisan ini merupakan tugas dalam rangka UAS pada kelas Stoikisme bersama Dr. A. Setyo Wibowo di STF Driyarkara pada semester genap 2011-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar