N. Driyarkara dikenal sebagai
seorang pemikir yang mana namanya dibadadikan sebagai nama sebuah sekolah
tinggi filsafat yang ada di Jakarta. N. Driyarkara sendiri—sebagaimana banyak
pemikir dan tokoh bangsa Indonesia yang tetap dikenang sampai saat ini—hidup dan
aktif pada sebuah masa yang penting (1950-an hingga 1970-an) yakni masa ketika
Bangsa Indonesia sedang berusaha memperkuat dan memperkokoh nasionnya yang
dengan susah payah sudah direbut dari penjajah pada masa Revolusi Fisik
beberapa tahun sebelumnya. Sebagai orang yang hidup pada zaman yang demikian,
Driyarkara melalui tulisan-tulisannya menunjukan pada kita bahwa ia memang anak
zaman itu, ia memang terlibat dengan roh zaman itu.
Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan
memaparkan pemikiran Driyarkara tentang revolusi—yang merupakan kata yang
sangat familiar untuk masyarakat Indonesia masa itu dan bisa dikatakan sebagai
semangat zaman itu, terlepas dari kelemahan dan kekurangannya—yang termuat
dalam tulisan-tulisan Driyarkara. Tulisan-tulisan Driyarkara yang menjadi
rujukan saya adalah “Romantik Revolusi”, “Dialektik Revolusi”, “Revolusi:
Romantik, Dinamika, Dialektika”, dan “Demonstrasi, Mogok, Demokrasi”. Keempat
tulisan itu saya ambil dari buku Karya
Lengkap Driyarkara.[1] Selain itu, saya juga menggunakan
sebuah tulisan Driyarkara yang tidak dicantumkan dalam karya lengkap itu yakni
tulisan bertajuk Vivere Pericoloso[2].
Dalam tulisan ini pertama saya akan
coba memaparkan keadaan Indonesia pada 1950-1960an, waktu-waktu ketika tulisan
Driyarkara yang menjadi rujukan utama tulisan ini ditulis dan atau diterbitkan.
Kedua, saya akan masuk pada beberapa
pemikiran Driyarkara yang saya sarikan dari tulisan-tulisan Driyarkara yang
saya rujuk. Bagian kedua ini akan kita
bagi dalam beberapa pokok pembahasan. Dan ketiga, saya akan meringkaskan apa yang dipikirkan Driyarkara tentang
revolusi di Indonesia itu.
Indonesia 1950-1960-an dan Revolusi
Membicarakan Indonesia dan juga
dunia umumnya pada era 1950-an hingga 1960-an, kita tentu tidak bisa menutup
mata pada keadaan dunia masa itu secara keseluruhan yakni Perang Dingin.
Indonesia dalam perkembangan waktu itu tidak memilih untuk berada pada salah
satu pihak yang berseteru yakni Paktawarsawa dan atau NATO. Indonesia bersama
beberapa Negara dunia ketiga lainnya justru membentuk apa yang disebut sebagai
Gerakan Non Blok. Di dalam negeri sendiri pertarungan secara politik antara
ideologi-ideologi yang berbeda pun terjadi. Maka dari masa itu pula kita
mengenal adanya istilah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunisme) yang oleh
beberapa sejarahwan dianggap sebagai sebuah upaya Soekarno untuk menyatukan
keberagaman tendensi di ranah politik kala itu di Indonesia.
Namun, perbuatan Soekarno seperti
ini pun bukannya tidak punya risiko. Dengan melihat kenyataan bahwa sistem
parlementer tidak berjalan dengan semestinya—adanya tarik ulur dari beragam
kepentingan partai yang ada di parlemen—Soekarno lantas membuat apa yang
disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Kekecewaan Soekarno pada sistem partai itu
terlihat dalam pidatonya pada 1956 di hadapan pemuda:
Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih parah
daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan! Engkau bertanya, penyakit apakah
itu? Itulah penyakit kepartaian, saudara-saudara! Ya, aku akan berterus-terang;
itu penyakit kepartaian. Pada bulan November 1945—baiklah kita berterus
terang—kita telah membuat kesalahan besar. Kita menganjur-anjurkan pembentukan
partai-partai, partai-partai, partai-partai. Itulah salah satu kesalahan pada
bulan November 1945. Sekarang kita menanggung akibat-akibatnya. Lihatlah
keadaan kita! Selain penyakit kesukuan dan kesetiaan kedaerahan, kita terkena
penyakit kepartaian yang sayang sekali, sayang sekali, menyebabkan kita selalu
cakar-cakaran satu sama lain… Sekarang marilah kita bersama-sama mengubur semua
partai.[3]
Kita tahu, selain masalah tarik ulur
kepentingan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, Indonesia di
tahun-tahun itu pun dihantui oleh separasi kedaerahan.[4]
Demokrasi terpimpin sendiri akirnya muncul Dekrit 5 Juli 1959 yang
menginstruksikan untuk kembali ke UUD 1945 yang memberi angin segar untuk
diterapkannya Demokrasi Terpimpin.
Selain problem dalam bentuk
demokrasi—demokrasi parlementer atau demokrasi terpimpin—bagi masyarakat
Indonesia kebanyakan saat itu revolusi menjadi kata penting bagi kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Salah satu kalimat penting Soekarno yang dikumandangkan
saat itu adalah “revolusi belum selesai”. Revolusi di sini menjadi kata yang
biasa dan menjadi jargon di dalam banyak kehidupan masyarakat.[5]
Kata revolusi inilah yang direfleksikan secara mendalam oleh Driyarkara di
dalam tulisan-tulisannya yang menjadi pokok utama tulisan saya ini. Tentu di
saat itu sarjana filsafat di Indonesia belum banyak dan bisa dikatakan langka.
Driyarkara adalah salah satu dari yang langka itu. Itu berarti tentu secara
akademis memang sangat sedikit orang yang mengenyam pendidikan filsafat. Namun
wacana filsafat saya kira bukanlah sesuatu yang asing benar di Indonesia kala
itu. Salah satu contohnya, penulis seperti Jean-Paul Sartre pun tulisannya
dipublikasikan oleh redaksi koran.[6] Untuk lebih memperdalam apa yang dipandang oleh
Driyarkara dengan revolusi, pada bagian berikut kita akan mengkajinya.
Revolusi dalam Pandangan Driyarkara[7]
Revolusi sebagai Sesuatu yang Penting
Driyarkara mengatakan
bahwa revolusi adalah sebuah perbuatan mendalam yang menjebol orde lama menuju
orde baru. Tentu saja orde lama dan orde baru yang dimaksudkan oleh Driyarkara
di sini bukan dalam pengertian massa kepemimpinan di Indonesia. Kita juga perlu
memperhatikan kata “perbuatan” di atas. Dengan mengetengahkan kata “perbuatan”,
revolusi dalam pandangan Driyarkara bisa dikatakan merujuk pada “kerja
tertentu” atau “aksi” tertentu. Perhatikan pula apa yang dikatakannya
selanjutnya mengenai rasa romantik revolusi sebagai sebuah rasa yang hanya
mungkin dihayati oleh orang yang tekun
bekerja tanpa bicara daripada orang yang banyak bicara tanpa berbuat sesuatu[8].
Romantik adalah sebuah perasaan yang mendalam, sebuah
perasaan yang mendalam. Kenapa ia menjadi sebuah perasaan mendalam? Karena
romantik itu adalah sebuah perasaan yang muncul hanya ketika manusia
benar-benar berdialektika antara kerohaniannya dengan kejasmaniannya. Demikian
Driyarkara berujar, “romantik adalah suatu
situasi manusia jasmani-rohani; romantik dalam artinya yang sesungguhnya adalah
sebuah perasaan manusia yang menunjukan kerohaniannya yang “berdialektika”
dengan kejasmaniannya”[9]. Maka romantika bisa muncul pada manusia ketika manusia
tersebut benar-benar melakukan sesuatu dengan mendalam.
Maka, sesungguhnya revolusi menurut Driyarkara adalah
sebuah perbuatan yang mendalam yakni sebuah perbuatan yang mengharuskan manusia
mendialektikakan unsur rohaninya dengan unsur jasmaninya. Itulah sebabnya
Driyarkara menekankan unsur romantik dalam revolusi. Driyarkara menunjukan
betapa revolusi adalah sebuah perbuatan serius yang sungguh-sungguh dijalankan
manusia yang berjasmani-berohani yang pada pokok utama manusia itu digerakan
oleh rohaninya. Itu berarti jika di dalam
sebuah revolusi atau di dalam jiwa seorang revolusioner tak ada unsur atau
perasaan romantik terhadap revolusi itu sendiri, dia sesungguhnya belum
benar-benar menjalankan revolusi.
Revolusi adalah Dialektika
Pada
pembahasannya mengenai dialektika revolusi, Driyarkara menggunakan unsur
kebudayaan Jawa untuk menjelaskan dialektika itu yakni ia menggunakan
dialektika wahya-jatmika. Menurut Driyarkara, manusia itu terdiri dari unsur
jasmani dan unsur rohani; tak ada manusia yang hanya terdiri dari satu unsur
saja. Sehingga, di dalam diri manusia itu sendiri sudah ada dialektika yakni
dialektika antara unsur jasmani dan unsur rohaninya atau yang disebutnya dengan
dialektika Wahya-Jatmika.
Karena
pada dirinya sendiri sudah ada dialektika, maka di dalama hidup bermasyarakat
pun tentu akan ada dialektia. Kenapa demikian? Karena menurut Driyarkara,
masyarakat itu menjadi mungkin ada karena adanya individu-individu yang menjadi
anggota dari masyarakat itu sendiri. Salah satu dialektika dalam kehidupan
bermasyarakat adalah revolusi tersebut. Menurut Driyarkara pula, dialektika itu
tidak pernah selesai. Dialektika bagi Driyarkara akan selalu ada karena
dialektika itu inheren dalam hidup manusia sendiri.
Di
sini bisa kita simpulkan bahwa dialektika yang coba dipahami Driyarakara beda
dengan dialektika a la Hegel. Bagi Hegel, dialektika adalah perjalanan roh
untuk mencapai Roh Absolut. Di dalam dialektika Hegel pula manusia hanyalah
sebatas ekspresi dari Roh tersebut. Namun Driyarkara dengan menekankan bahwa di
dalam diri manusia itu sendiri pun ada dialektika karena manusia itu pada
dasarnya terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang senantiasa saling
berdialektika, maka di sini Driyarkara menempatkan posisi manusia cukup penting
dalam dialektika, sesuatu yang tak ditemui dalam dialektika Hegel. Perbedaan yang
kedua dengan dialektika Hegel adalah bahwa Driyarkara tidak melihat adanya akir
dari dialektika—jika di dalam dialektika Hegel akir itu adalah pemenuhan diri
Roh Absolut. Dialektika senantiasa ada karena dialektika itu ada dalam diri
manusia. Artinya, dialektika itu akan berhenti hanya jika tak ada manusia lagi.
Otomatis jika tak ada manusia lagi, tak ada lagi pikiran yang bisa mencerna
realitas dan bisa memaknai realitas itu sendiri. Realitas materil mungkin akan
tetap ada tetapi dia tak berarti untuk manusia karena manusia sudah tak ada.
Selain
akir dialektika Hegel, rupa-rupanya Driyarkara juga menyerang akir sejarah a la
dialektika marxisme fulgar yang mempercayai akir sejarah sebagai kemenangan
kelas proletar yang mana mengakibatkan emansipasi di segala penjuru. Demikian
Driyarkara, “…nonsense
belakalah jika orang mengira bahwa masyarakat manusia akan mencapai status
terakhir dengan kenikmatan sosial ekonomis yang tak terganggu, di mana semua
bekerja untuk semua dengan semua kekuatannya dan mendapat bagian kenikmatan
sesuai dengan kebutuhannya”[10].
Maka,
dialektika di dalam masyarakat dengan demikian akan selalu ada dan tak akan
pernah mencapai titik akir. Salah satu dialektika di dalam masyarakat adalah
revolusi maka revolusi itu sendiri pun tak akan pernah selesai karena akan
selalu senantiasa ada “orde baru” lain yang mencoba menembus dinding-dinding
kokoh “orde lama” apa pun ketika “orde” tersebut semakin terlihat usang dan tak
mewadahi kebutuhan manusia lagi.
Revolusi Pancasila
Sebelum berlanjut, kita harus mengingat beberapa pokok
penting pemikiran Driyarkara tentang revolusi di atas. Pertama, revolusi adalah
bentuk dialektika di dalam masyarakat. Dialektika dimungkinkan karena yang
menghidupi hidup adalah manusia dan di dalam diri manusia itu sendiri secara
inheren ada dialektika. Sedangkan di dalam revolusi yang adalah dialektika itu
ada unsur romantik yang menunjukan bahwa revolusi adalah sebuah perbuatan yang
sungguh-sungguh mendalam, artinya sebuah perbuatan yang sungguh-sungguh
melibatkan jiwa manusia karena di antara rohani dan jasmani tadi, pokok
utamanya menurut Driyarkara adalah jasmani manusia.
Revolusi yang demikian itu didorong
oleh apa yang disebut dengan dinamika revolusi. Dinamika revolusi muncul dari
jiwa rohani manusia. Karena revolusi yang dibicarakan oleh Driyarkara adalah revolusi
di Indonesia maka menurut Driyarkara kejiwaan Indonesia yang sungguh-sungguh
menunjukan dialektika antara jasmani dan rohani itu adalah jiwa yang harus
benar-benar berdasarkan Pancasila. Pancasila kita tahu adalah lambang atau azas
hidup Indonesia. Bagi Driyarkara, jiwa dialektika jasmani rohani manusia
Indonesia itu diekspresikan dengan baik dalam Pancasila itu sendiri.
Driyarkara menunjukan bagaimana
hubungan antara dinamika dan romantisme revolusi. Menurutnya, jika dinamika
yang memunculkan revolusi maka romantisme revolusilah yang akan terus memberi
bahan bakar pada dinamika itu. Namun di dalam revolusi itu sendiri terdapat
sesuatu yang justru bisa berbalik menjadi kontra revolusi. Driyarkara
menjelaskan bahwa revolusi pertama-tama adalah kontra dialektika dalam
pengertian bahwa revolusi merupakan dialektika yang melawan dialektik yang
sudah membalik menjadi lawan dari dialektik yang sebenarnya. Oleh karena itu
bagi Driyarkara di dalam dinamika, dialektika, dan romantika—ketiga-tiganya
adalah unsur revolusi—terdapat bahaya yakni di dalamnya selalu ada unsur-unsur
yang kontradiktif dan menghancurkan.
Penutup: Revolusi via Vivere
Pericoloso
Setelah membahas beberapa unsur
dalam revolusi yang diungkapkan Driyarkara, berikut kita akan memberikan
beberapa ringkasan dan catatan.
Seperti
yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa revolusi itu merupakan dialektika dan
dialektika itu selalu akan terjadi. Selain itu, secara eksplisit kita menemukan
bahwa karena revolusi ada unsur romantiknya yang mana unsur romantik itu
dimungkinkan oleh mereka yang benar-benar ‘mendalami’ revolusinya maka ada
kontra revolusi yang mungkin mucul dari mereka yang tidak mempunyai unsur
revolusi yang mendalam. Mereka inilah yang akan menjadi unsur dialektika yang
keluar dari dialektika sebenarnya. Mereka inilah yang harus menjadi lawan dari
revolusi yang sebenarnya. Dengan
memasukan unsur ‘kelemahan’ dialektika dalam dialektika itu sendiri,
sesungguhnya dialektika terus berjalan menuju keparipurnaan. Demikian juga
revolusi. Tetapi karena dialektika tidak ada keparipurnaannya menurut
Driyarkara maka kerja keraslah yang dibutuhkan untuk terus berada dalam jalur
revolusi sebenarnya yakni jalur revolusi yang melawan kontra-kontranya.
Revolusi yang tak pernah lelah
melawan kontra-kontranya demi ke luar dari “orde lama” menuju “orde baru” ini
butuh kerja keras. Kerja keras yang dimaksud adalah keberanian bertindak walau
pun tanpa kepastian atau apa yang oleh Driyarkara disebut sebagai “vivere
pericoloso”[11].
Revolusi Indonesia dengan demikian membutuhkan manusia-manusia yang “vivere
pericoloso” yakni mereka yang mau terus bekerja keras melawan kontra-kontra
revolusi tersebut dan mereka yang juga berlandaskan jiwa pancasila.
[1] A. Sudiarja, SJ, G.
Budi Subanar, SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2006,
hlm. 627-650.
[2] Prof. Dr. Drijarkoro,
SJ, “Vivere Pericoloso”, Kompas, 10
September 1965.
[3] Sebagaimana dikutip
oleh In Nugroho Budisantoso, “Hatta Mundur Karena Kecewa?”, dlm Rikard Bagun
(ed.), Seratus Tahun Bung Hatta, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas), 2002, hlm. 350.
[4] Onghokham, Soekarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S
1965, (Depok: Komunitas Bambu), 2009, hlm. 27.
[5] Pada kesempatan
presentasi di kelas Filsafat Driyarkara beberapa waktu lalu, saya menduga bahwa
kata revolusi hanya muncul sebatas jargon tetapi untuk membenarkan pernyataan
saya itu tentu membutuhkan penelitian tersebdiri. Untuk itu maka pada
kesempatan ini pendirian saya adalah bahwa mungkin di kalangan rakyat jelata
pemahaman seputar revolusi tidak terlalu memadai. Namun di kalangan intelektual
kala itu tentu kata revolusi ini terpahamkan sesuai dengan latar belakang ilmu
mereka masing-masing.
[6] Yang saya maksud
adalah Koran Harian Rakjat. Pada 12 November 1955, redaksi harian tersebut
menerbitkan tulisan Jean-Paul Satre bertajuk “Kebenaran di Tiongkok adalah: Haridepan”, Harian Rakjat, 12 November 1955.
[7] Hampir semua
pemaparan bagian ini bersumber dari A. Sudiarja, SJ, G. Budi Subanar, SJ, St. Sunardi,
dan T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2006, hlm. 627-650.
[8] A. Sudiarja, SJ, G.
Budi Subanar, SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:..., hlm. 630.
[9] A. Sudiarja, SJ, G.
Budi Subanar, SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:..., hlm. 635.
[10] A. Sudiarja, SJ, G.
Budi Subanar, SJ, St. Sunardi, dan T. Sarkim (peny.), Karya Lengkap Driyarkara:..., hlm. 637.
[11] Prof. Dr. Drijarkoro,
SJ, “Vivere Pericoloso”, Kompas, 10
September 1965.
Vivere Pericoloso pernah
dipakai Soekarno sebagai semboyan pula untuk membicarakan revolusi. Istilah ini
diambil Soekarno dari Musollini. Lihat Onghokam, Soekarno,
Orang Kiri, Revolusi dan G30S 1965..., hlm. 55. Apakah Driyarkara terinspirasi juga dari
semboyan yang dipakai Soekarno ini dalam artikel yang dimuat di Kompas di atas
ataukah Driyarkara mengembangkannya lebih lanjut? Hal ini mungkin butuh sebuah
penelitian lebih lanjut.
*Tulisan ini merupakan makalah akir pada kelas Filsafat Driyarkara di STF Driyarkara, semester genap 2011/2012.
**Gambar karya Jaroslaw Kukowski bertajuk "New Millennium".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar