Rabu, 27 Juli 2011

EVERYBODY’S FINE DAN HARUKI MURAKAMI


Beginilah cerita pagi ini—sebelum saya mulai cerita, playlist saya jejali dengan Tom Waits dan seketika ia menyanyikan Ice Cream Man. Saya teringat tiba-tiba, kalau tak salah Haruki Murakami pernah menulis juga tentang Ice Cream Man. Maka saya pun main ke calibre library saya dan mencari Murakami. Ternyata bukan Ice Cream Man tetapi Ice Man. Seorang perempuan menikahi seorang lelaki yang terbuat dari es. Demikian kira-kira pembukaan cerita itu. Saya tak berniat membaca keseluruhan cerita itu tentu saja. Kafka on The Shore dalam bulan ini sudah cukup untuk sedikit berbincang dengan Murakami yang romantic modern itu. Romantic modern ini tak perlu dipikirkan lebih lanjut karena saya hanya berpegang pada dua kenyataan yang secara acak dan serampangan saya satukan lantas terciptalah frase itu untuk Murakami. Kenyataan pertama adalah Murakami termasuk penulis kontemporer dan menulis tentang jaman ini—dia tidak avant garde. Kedua, adalah bahwa ia selalu menyisipkan drama tragedy Yunani di dalam karya-karyanya. Nah, palingan ke kebesaran budaya Yunani klasik adalah cirri utama romantisisme Eropa dengan tokoh seperti Goethe, Hoelderin di Jerman misalnya. Iphigenie auf Tauris termasuk karya Goethe dari zaman ini, meskipun Goethe tidak hanya penulis romantic karena dia juga menulis perihal barok dan strum und drank. Oke, kembali pada Murakami, mungkin dia juga punya tendensi kuat seperti para penulis besar Jepang sebelum dia seperti Ryunosuke Akutagawa yang memilih menggali tradisi Jepang ketika penulis pada zamannya sibuk dengan eksistensialisme—kalau ga salah. Hal ini sedikit terlihat pada Kafka on The Shore. Namun Murakami tidak seperti Yukio Mishima yang menggali tradisi sufistik Jepang dan memadukannya dengan eksistensialisme barat seperti dalam karyanya Kuil Kencana. Untungnya sampai sekarang Murakami tidak bunuh diri seperti kedua seniornya; kita lihat di hari-hari ke depan.  

Nah, saya langsunglah menuju halaman belakang cerpen Ice Man itu. Ternyata, ada hal demikian saudara-saudara di sana (saya kutipkan):

"Winter has come," my husband said. "It's going to be a very long winter, and there will be no more planes, or ships, either. Everything has frozen over. It looks as though we'll have to stay here until next spring." 

Saya langsung teringat pada sebuah kisah yang pernah saya tulis. Seperti ada kesamaan pada akir cerita ini dengan kisah itu. Setelah dipikir-pikir, rasanya saya belum membaca Ice Man ini sebelumnya. Memang saya sudah mengkoleksinya sejak lama tetapi terus terang belum pernah saya baca. Hem, saya tidak sembrono untuk lantas mengatakan itu original dari saya karena hal itu tidak dewasa sama sekali menurut saya—walau pun hal itu juga tidak penting-penting amat dilakukan karena saya bukan seorang penulis yang dibaca berjuta orang dengan demikian bisa membuat banyak orang salah arah; hal yang dilakukan beberapa penulis di Indonesia yang punya akses pada mass media begitu besar pada zaman kita. Setelah dipikir-pikir, mungkin saja keterpengaruhan itu berasal dari seorang kawan saya yang suka menulis cerpen tanpa EYD. Bisa jadi ia terpengaruh dari si Ice Man, menulisnya dalam sebuah karyanya, saya membaca dari karyanya karena memang ada di computer saya, dan dari sana saya secara tak sadar terpengaruh oleh hal itu. Oke, saya tak mau berpanjang-panjang soal sastra di sini karena, seperti judul di atas dan bagian pertama kalimat pertama tulisan ini tidak menyinggung sastra.  

EVERYBODY’S FINE. Inilah yang sebenarnya hendak saya tuliskan. DAN HARUKI MURAKAMI sejujurnya saya tambahkan setelah tulisan ini berjalan sekitar 5 atau 6 kalimat. Jadi, tak ada kesamaan berarti di sini. Sebenarnya pagi ini setelah terjaga saya mengopi bersama sebatang dua batang rokok. Nah, di sini kita punya sambungan dengan Everybody’s Fine. Jaringannya sudah normal kembali (atau tak normal? Terserah anda). Ketika Frank (Robert de Niro) mengunjungi Robert (Sam Rockwell) anaknya yang bekerja sebagai pemain perkusi pada salah satu orchestra, Frank mengajak anaknya itu untuk berhenti merokok karena itu lebih baik dari pada merokok. Robert memandang ayahnya sebagai orang yang suka menuntut ini itu pada anaknya sehingga ia menyimpan kembali rokoknya. Namun ketika Frank melihat Robert seperi menyimpan begitu banyak masalah, Frank mengatakan padanya untuk merokok kembali. 

Oke, saya kini akan kembali pada perkara setting tulisan ini. Seperti awal kalimat pertama saya yang membicarakan “beginilah cerita pagi ini”, yang terlihat menggantung, saya akan melanjutkannya. Karena saya orang yang mulai merasa tak suka dengan hal-hal yang menggantung yang menyisahkan pertanyaan-pertanyaan. Saya seperti hendak memahami realitas sejauh-jauhnya karena realitas ketika sudah ada dan terjadi tentunya harus bisa terpahami. Di sini bukan soal penafsiran dengan kesibukan di kepala sendirian, tetapi bagaimana si kepala yang bertugas memeriksa hal ihwal realitas itu bertemu dengan realitas yang terjadi. Di sini dibutuhkan ketepatan informasi, ketepatan membaca keadaan, ketepatan merangkai segala ihwal keadaan yang terkesan terpisah-pisah. Ini perkara serius saudara-saudara. Antara memilih dunia sendirian Idea atau dunia bersama Realitas.

Beginilah cerita pagi ini. Sebuah papan catur dengan counterpart yang mampu menunggu lama kita berpikir. Dia tak pernah bosan, dia tak pernah mengeluh. Karena dia adalah computer. Yah, dia adalah computer. Saya tak mau berpikir lebih jauh bahwa janganjangan boneka tradisional turki dengan cangklong di mulut dalam tesis I dari On the Concepts of History-nya Benjamin adalah computer. Raja saya menunggu waktu untuk mati dan kematiannya sengaja saya tunda dengan membiarkan saja papan catur virtual itu di sana. Bahkan, kematiannya bisa saya abaikan dengan tidak menyelesaikan sama sekali permainan itu. Saya tinggalkan dan saya pergi begitu saja. Maka episode ini adalah episode yang tak pernah selesai. Aduh, episode yang tak pernah selesai seperti sebuah credo yang indah; sedikit romantic tragis—saya tak akan menjelaskan panjang lebar tentang romantic tragis ini.

Dan sepertinya saya akan menyelesaikan cepat-cepat tulisan ini. Jadi karena kekalahan yang mengintip di muka pintu pada permainan catur saya dan juga kehendak untuk membunuh waktu sebelum menentukan langkah mendorong saya untuk menulis sesuatu dan pilihan itu jatuh pada sebuah film yang didirektori Kirk Jones, Everybody’s Fine. Ini kisah drama tentang seorang ayah yang hendak menikmati hari tuanya dengan anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa dan punya dunia masing-masing. Pada hari natal, anak-anaknya itu (4 orang) secara tiba-tiba membatalkan kehadiran mereka. Lantas sang ayah (Frank) memutuskan untuk memberikan surprise pada mereka dengan mendatangi mereka satu-satu. Dalam perjalanan itulah ia memahami kesalahan-kesalahannya dan menemukan bahwa setiap orang punya dunianya masing-masing. Seperti juga resensi-resensi yang lain, saya menganjurkan anda untuk menontonnya.
 


Sssst, sebenarnya dari tadi saya menunggu sebuah nomor dari Waits berjudul Middle Class Girl tetapi ia tak muncul-muncul jua. Ngomong-ngomong, Ice Cream Man lebih baik dari pada Ice Man.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

dimana saya dapat membaca cerpen-cerpen murakami dalam bahasa indonesia? tolong informasinya

Terima kasih