Jumat, 29 Juli 2011

BAU-BUKU-BUKU-BAU (atau selempang ingatan tentang buku)


Bagian Pertama

Seorang teman saya yang telah menulis dua buah buku punya kebiasaan demikian; satu atau dua minggu menjelang bukunya akan tiba di tangannya dari percetakan atau penerbit, nyaris dia malas menulis apa pun dan membaca apa pun. Yang ditunggunya adalah kedatangan bukunya itu dan aroma kertas-kertas buku itu ketika dibuka dari plastiknya. Saya tak tahu dan juga tak berniat bertanya apa yang dirasakan atau apa yang dimaknainya dengan membaui aroma buku karyanya itu. Apakah realitas ke idea lalu muncul ke materi? Atau apa pun itu. Namun dari ingatan yang satu ini, tiba-tiba terbang di atas kepala saya gambaran sebuah moment ketika saya kirakira kelas dua atau tiga SD. Gambaran ini lantas membentuk frase yang menjadi judul tulisan ini; BAU-BUKU-BUKU-BAU.

Gambaran itu adalah gambaran buku dan hujan. Yah, buku dan hujan. Dalam pengertian yang harus lebih detil yakni gambaran itu sendiri. Begini gambaran itu; saya berumur delapan atau Sembilan tahun duduk di kursi rotan di ruang tamu rumah kami. Hujan turun dengan deras di luar sana, membasahi kaca jendela yang berwarna hitam (sejenis kaca jendela yang lumrah dipakai oleh rumahrumah waktu itu dan mungkin juga sekarang yakni orang di dalam rumah bisa melihat dengan jelas ke luar sedangkan orang di luar tidak bisa melihat ke dalam). Bunyi butiran hujan yang ritmis pecah di atap seng. Daerah kami memang tidak terbiasa menggunakan genteng. Mungkin karena pengrajin genteng tak gampang ditemui di tempat itu atau juga karena keadaan cuaca. Hujan juga jatuh di bebungaan di depan rumah, pecah di jalan aspal di depan rumah yang letaknya lebih tinggi dari rumah kami. Tangga menuju rumah dari jalan penuh aliran air dari jalan. Pohon mangga di depan rumah bergoyang-goyang karena hujan. Jalanan sepi, tak ada apa-apa. Hanya hujan, tetumbuhan yang tak bisa berteduh dan angin yang enggan jalan jauh.

Di tangan saya, saya lupa-lupa ingat, tetapi mungkin pada moment-moment yang sama saya membaca Scott dan Amundsen: Petualangan ke Kutub Selatan dan juga kisah Alexander Agung. Sebagai seorang anak berusia delapan dan Sembilan tahun Scott dan Amundsen ini membuka cakrawala tentang tempat-tempat yang jauh, tempat-tempat yang asing. Asing di sini bukan dalam pengertian tak ada atau metafisik melainkan asing sebagai realitas karena letaknya yang jauh, cuacau, geografi, dan segala ihwalnya berbeda dengan tempat kita. Bayangkan bahwa orang harus memakai sarung tangan, kaos kaki tebal, kaca mata salju, adalah sesuatu yang baru sama sekali, sesuatu yang asing untuk saya yang tinggal di daerah tropis dengan suhu udara yang hampir begitu-begitu saja tiap tahunnya. Saya rasa, Scott dan Amundsen-lah yang mengajarkan saya pertama kali kesadaran kosmologis; tentu saja saat itu saya belum paham sama sekali dengan makna kata kosmologi seingat saya.

Alexander Agung buku kedua yang teringat itu membawa khayalan pada tombak dan panah baju sirah serta mantel tentara Eropa zaman dahulu. Tentu pada tahun-tahun itu, jika anda seumuran dengan saya, TPI sedang asyik-asyiknya menayangkan Mahabrata dan Ramayana dengan senjata yang hampir serupa dengan gambaran dalam kisah Alexander Agung tetapi cara berpakaiannya berbeda. Setidaknya tidak ada helm seperti helm tentara Hellenis di Ramayana tetapi mahkota-mahkotaan seperti raja-raja Hindu.

Jika anda tahu seperti apa kota tempat tinggal saya pada umur sekian, mungkin akan susah memahami paradox yang ada dalam kepala saya. Kuda, lembing, panah, bukanlah sesuatu yang baru benar bila saya atau orang tua saya mengarahkan kepala saya untuk menjauh dari batas-batas kabupaten saya dengan kabupaten lain atau dengan jalan-jalan menuju pusat provinsi dan pusat negara ke bagian pedalaman dari kabupaten itu. Namun seorang anak berusia delapan atau sembilan tahun yang memilih membaca buku di kursi ruang tamu rumahnya apakah bukan seseorang yang secara tak sadar berada di sebuah batas antara ‘yang terlupakan’ dan ‘yang melupakan’. Dan membaca buku, mendekati diri dengan pusat-pusat buku adalah keberpihakan pada ‘yang melupakan’. Dua istilah ini akan kita lanjutkan di lain kesempatan.

Bagaimana pun juga, Alexander Agung (buku cerita anak-anak yang disertai ilustrasi berwarna) dan Ramayana-Mahabarata (film serial televisi) mengajarkan dengan cara yang sangat halus pada sebuah kenyataan tentang kesamaan dan variasi dari kesamaan itu. Kesamaannya adalah besi dan perunggu dan variasinya pada bentuk atau penampakan dari materi perunggu yang sudah mendapatkan sentuhan dari agen pengubah menuju sebuah bentuknya tertentu. Agen pengubah ternyata punya sebuah kebutuhan yang sama namun bervariasi dalam memikirkan soal manfaat dan symbol dari forma dari materi yang mereka bentuk. Sesungguhnya, saya belum terlalu jelas di bagian terakir ini. Karena saya tiba-tiba meloncat pada Aristoteles Setengah Hati. Mungkin inilah salah satu bentuk dari apa yang disebutkan Walter Benjamin dalam salah satu tesisnya tentang filsafat sejarah bahwa sejarah hadir sebagai gambar yang terbang dan tertangkap seketika ketika ia menampakan diri dan tak akan pernah terlihat lagi. Ketika saya masuk pada pembedaan Alexander Agung dan Ramayana-Mahabrata, gambar-gambar itu memudar, secara samar-samar berganti gambar-gambar lain, lantas tiba-tiba begitu banyak gambar berseliweran dengan riuh di dalam kepala saya.

Bersambung…….

Tidak ada komentar: