Rabu, 16 Maret 2011

SONATA BULAN BUNDAR

Aku melihat bulan berjalan pelanpelan bagaikan kakek tua di antara awan gemawan di luar sana. Cahayanya menerjang udara pengap dan hampir menancap di batok kepalaku. Aku menangkap ujung sulur cahaya itu dan memelintirnya hingga melilit di tiang televise dari bambu. The Beatles tibatiba terdiam. Band Of Heroes tibatiba minta diri untuk tampil ke panggung. Sejujurnya aku tak mengenal mereka.

Mendengar Band Of Heroes akan konser di kamarku, si sulur cahaya bulan tibatiba memberontak. Aku bersiapsiaga. Tusukan bulan yang sakit hati konon kabarnya bisa membawa kematian atau yang paling mujur adalah gegar otak permanen.

“Sabar Bung. Saya tak bermaksud jahat. Saya hanya mau menyaksikan Band Of Heroes bersamamu. Dipikirpikir, nama itu mengingatkan saya pada perempuan manis dalam Wir Sind Helden.

Aku tak mau berpanjang tangan membantunya membuka kemelut ikatan dirinya di tiang antene televisi. Ah, dan semua kita punya satu imajinasi karena televisi ini. Aku lantas teringat seorang kawan yang mengatakan bahwa di negeri ini, alihalih mengimport dengan benar konsepkonsep barat, yang terjadi adalah penjiplakan atau penyontekan yang tak sempurna. Tibatiba aku merasa sedikit lebih pintar dari orang Indonesia lainnya. Setidak-tidaknya kalau menyontek aku selalu sempurna dalam menyontek. Itu kenapa ketika ujian aku menyontek dari seorang teman, aku tetap saja mendapat nilai C-. Itu lantaran teman yang baik hati itu pun mendapat C-.

Sulur cahaya bulan itu menjelma Kakek Tua Tambun dengan mata menyala seperti seorang ayah yang baru saja mendengar kabar bahwa rumahnya habis terbakar api. Ah, matanya mengingatkan kembali perkara perkataan seorang kawan tadi. Contoh saja ide free sex di negeri ini diterjemahkan oleh mereka yang mengakunya belajar dan terinspirasi filsafat barat sebagai TTM. Begitulah. Alih-alih menerjang institusi yang adalah tujuan free sex di barat sana, di Indonesia menjadi semacam takuttakut, sembunyisembunyi, berpetak umpet secara serius dengan institusi. Yah, mau bagaimana lagi. Kawan itu meski sudah termakan usia masih menyimpan energi belasan tahun yang besar.

Sulur cahaya bulan yang sudah menjelma kakek tua nyelonong masuk ke kamarku tanpa minta permisi. Aku terbengongbengong di balkon. Bagaimana pun juga rokokku belum habis dan untuk masuk ke kamar engkau harus mematikan rokok. Ini bukan perkara takut pada institusi rumah melainkan perkara mengakali sirkulasi udara kamar yang tak bagus.
Dia langsung duduk di kursiku, menyalakan computer—anehnya dia pun tahu password untuk mengaksesnya pula, padahal jika orang selain aku melakukannya, dia harus memilih satu dari 500 kemungkinan yang ada. Nyala computer ini aku tahu dari berkumandang secara tibatibanya raindrop keep falling… dengan suara renyah Andy Williams.

Setelah rokok selesai, aku menyusul masuk. Lelaki itu tersenyum menyambut tatapan keheranan campur kekaguman campur kemarahanku.

“Tenang Nak. Aku adalah masa depanmu.”

“Hah? Bukannya cahaya selalu berasal dari masa lalu?”

“Ah, kau seperti tak tahu saja. Saya membonceng pada Malaikat Sejarah yang bersekutu dengan Roh Absolut lantas berkelahi dengan Kronos. Dalam perkelahian itu, mereka sepakat memuntahkanku.”

Tibatiba aku berdoa agar waktu berputar ulang dan sulur cahaya bulan yang hampir menikam puncak kepalaku itu tak kutangkap sehingga bermuncratanlah segala isi kepala yang tak penting ini.      

2 komentar:

agung mengatakan...

main2 ke blog saya bang...
tulisannya keren... sangat khas...

BertoTukan mengatakan...

Siip Bung!!!