Senin, 20 Desember 2010

Dirty boots (dan kita ganti dengan) Piano Sonata Nomor Tiga


Saya sedang ingin menulis saja petang ini ditemani Deftones. Oke, ini sebuah usaha untuk menulis secara otomatis. Jadi saya sebenarnya sok-sokan surrealis dengan mencoba secara tibatiba dan otomatis melakukan sebuah aktifitas berkarya dan membiarkannya menjadi sesuatu yang entah.

Namun sesungguhnya kepala saya sudah terlalu banyak diisi dengan hal-hal yang entah; saya pikir saya terlalu cepat menjadi dewasa.

Oleh karena itu maka, sebuah lembaran kosong tak terisi kita butuhkan di sini.

Saya tak mau mengutip apa pun untuk tulisan ini, saya menjauh dari segala yang mengendap di kepala ini.

Saya mencoba jujur meski pun namanya kejujuran itu jauh sungguh hilang sudah.

Ini ratapan anak tiri kehidupan saudarasaudari. Jika tak ada kata saudarasaudari, kirakira saya akan menyapa anda dengan apa?

Saya sesungguhnya tak jujur pada anda ketika mengatakan bahwa saya menulis saja ditemani Ddeftones. Karena sekarang ada King Crimson.

Saya termasuk orang yang menganggap bahwa ya sudahlah kalau budaya aseli indonesia itu memang sudah saatnya hilang dari peradaban ya sudah biarkan saja tak perlu pusing-pusing.

Saya juga sebenarnya sedang baca-baca di “senja hampir habis”. Saya sedang melihatlihat itu beberapa resensi buku yang ada di sana.

Tak perlu kau takut memandang seorang perempuan yang duduk bertopang dagu ketika “senja hampir habis” itu saudarasaudari. Percayalah padaku bahwa dia perempuan perkasa dan hebat dan saya jatuh cinta padanya.

Nah, ini dia.

Kita sebenarnya tak terlalu mementingkan tetek bengek demikian.

Namun saya menjadi ragu dengan soal pengembaraan ketika ada yang menganggap pengembaraan tanpa ruang dan waktu itu mungkin. Saya heran sungguh saudara-saudari akan hal ini; sebingungnya saya menempatkan diri dalam perjalanan pulang Roh Absolut menemukan dirinya kembali yang teralienasikan di permulaan sejarah. Bagaimana mungkin dunia tanpa ruang dan waktu? Masih bisakah disebut dunia? Bagaimana mungkin sebuah hubungan tanpa ruang dan waktu? Masih bisakah dia disebut hubungan?

Itulah yang membuat saya tak menyukai penulispenulis berbahasa sama dengan saya dan sibuk menulis di sana di mari; asyik masyuk dengan akrobat kata tanpa tahu bahwa sebenarnya mereka hanya menghias essensi yang ituitu saja dengan akrobat kata yang mengerikan dengan meminjamminjam banyak sekali literatur dari luar atau menggali literatur asli. Mungkin memang maksudnya mencari sesuatu yang lain, namun nyatanya mereka bergerak di tempat atau kalau mau dianalogikan; membawa perangkat komputer baru namun cara menggunakannya masih seperti zaman ketika mereka menggunakan mesin tik. Sudahlah. Ternyata saya tak bisa bersurrealis gila di sini; karena memang ternyata surrealis juga tak berfaedah apaapa.

Ah ha. Saya teringat perbincangan dengan seorang kawan siang tadi. Jadi ada sebuah buku antologi puisi berjudul “Empat Amanat Hujan”. Nah mungkin pembahasan berikut sedikit mengingatkan anda pada apa yang saya komatkamitkan tanpa jeda dan jelas di atas.

Jadi seorang penulis bernama Okky Tirto menulis puisi berjudul “Bangsa Surealis”. Kami memang tak mencari tahu dan tak membaca lebih jauh apa isi puisi itu. Kami hanya sontak tertawa saja membaca itu. “Bangsa Surealis?” di mana? Apa? Luna Maya dan Ariel bercinta saja mereka menclakmenclok. Di tahun 1960-an ketika mahasiswa di seluruh belahan dunia lain di luar sana sibuk dan bahu membahu menyerang kapitalisme, eh mahasiswa di sini malah sibuk membangun fondasi kapitalisme; terkadang kita memang bukan dunia—ini juga pernah dikatakan seorang kawan saya yang sama. Ya sudahlah.

Namun saya akan membahas sesuatu yang tentunya akan menutup kejengahan pada paragraf atau bahasan persis sebelum kalimat ini. Bukan karena pembahasannya, justru objek yang akan kita bahaslah yang membuat saya akan bisa tersenyum dan berbahagia. Ada kalimat demikian kawankawan, “tidakkah kita hidup seperti duduk di pinggir jalan, menimpa bekas duduk masa lalu dengan hari ini”.

A ha. Mari membayangkannya. Tidakkah kita hidup seperti duduk di pinggir jalan. Mari membayangkan seseorang duduk di pinggir jalan. Ada lalu lalang di jalan itu. Hem, di sini kita tak tahu pasti jalanannya seperti apa. Baiklah, kita andaikan saja jalanan yang ramai; karena kalau secara sosiologis, saya agak susah membayangkan si pencetus kalimat ini lebih akrab dengan jalanan yang sepi.

Eh sebentar. Intermeso sejenak. Sesungguhnya saya belum memberi judul akan tulisan ini. Saya sudah memutuskan untuk memberi judul tulisan ini dengan lagu apa yang sedang berkumandang nanti ketika tulisan ini selesai. Jadi ini seperti demokrasi Athena yang diketengahkan kembali oleh Ranciere kawankawan (ya sudah kalau kalian kurang tahu Ranciere; sesungguhnya saya juga tak terlalu banyak tahu; hanya dengardengar dikit lalu didaurulang sekehendak hati seperti ini; sama seperti banyak orang yang menganggap diri hebat di negeri ini; kehebatannya ternyata hanya untuk menjual negeri ini ke orang asing; dan atau kehebatannya ternyata hanya bisa untuk membohongi kitakita. Aduh saya marahmarah lagi. Tuh kan, kalau keluar sedikit dari kalimat yang hendak kita bahas di atas, saya marahmarah lagi? Mari kembali)

Nah seseorang duduk di jalanan ramai; itulah hidup. Okey. Jadi, si tokoh kita seperti pasif kawankawan. Dia duduk saja, memandang keriuhan di depannya. (ups, tapi jalanan seramai apa pun pasti punya moment sepinya). Jadi sebenarnya dia memandang keriuhan sekaligus juga kesepian, aktifitas sekaligus juga kelenggangan, pokoknya semuanya yang mampu diungkapkan sebuah jalan; dan itulah hidup. Hem, benarkah si tokoh ini diam saja alias pasif? Menonton dan duduk memang sebuah kata kerja namun di sini kerja yang pasif dalam konteks ini menurut saya. Mari melanjutkan.

A ha. Kalimat berikut adalah, “menimpa bekas duduk masa lalu dengan hari ini”. Nah di sini kita melihat ada sebuah aktifitas, ada unsur ‘kerja’-nya kawankawan yakni ‘menimpa’. Dia menimpa bekas duduk masa lalu dengan duduk hari ini. Bukan seperti membangun sesuatu. Analogi dialektika sejarah bisa juga—jika mengikuti Hegel—ada yang lama bertemu yang sekarang akan menghasilkan sesuatu yang baru. Ini berbeda. Ada sebuah unsur ‘begitu sajanya’ yakni dengan duduk di atas bekas duduk kemarin. Kita tentu sepakat tak akan terjadi apaapa pada bekas duduk kemarin dan apa yang perlu kita sesalkan dengan duduk di atas bekas hari kemarin? Sementara jalan di depan kita beraktifitas sebagaiamana sebuah jalan. Menimpa bekas duduk hari kemarin dengan bekas duduk hari ini adalah suatu keniscayaan; tanpa tendensi untuk menghancurkan yang lama dan membangun yang baru atau memaksakan sesuatu yang baru di atas yang lama. Ada dialektika di sana namun dialektika yang sangat halus, tanpa apa-apa, namun bermakna pada aktifitas itu sendiri.

Duduk berkalikali pada suatu tempat tak menghasilkan apaapa secara signifikan (tempat duduk itu menjadi lebih tebal atau lebih licin; yah akan menjadi demikian tetapi akan sangat lama sekali). Pantat kita akan menjadi sakit atau celana kita akan cepat jadi tipis, itu pun tak secara signifikan namun yah akan terjadi demikian. Jadi hidup memang sesuatu yang berjalan dengan halus, perubahan yang perlahanlahan, tanpa membuang yang lama atau memaksakan yang baru namun moment duduk selalu berbeda pada setiap harinya. Dan tentunya, saya sedang dalam sebuah moment duduk yang berbeda dengan moment-moment duduk sebelumnya. Ini moment duduk yang membetahkan. Moment duduk yang membetahkan; saya rasa yah karena seseorang yang bertopang dagu di senja hampir habis sedang duduk juga di sini. Semoga dia juga betah pada moment duduk yang ini.

Sekian!!!

Dan berdasarkan intermeso di atas, kita harus memberi judul tulisan ini dengan ; Dirty Boots (sonic Youth).

Uh, saya ingin menambahkan satu dua kalimat akir jadi terpaksa judul Dirty Boots kita eliminasi dikit lagi.


Tidak ada komentar: