Minggu, 21 Maret 2010

Kekalahan Perempuan, Kekalahan Kepemilikan Komunal : Resensi Buku Friedrich Engels, The Origin of Family, Private Property and The State

Dari : Problem Filsafat No. 4 / Tahun I / Maret 2010

oleh: Berto Tukan

Hari perempuan sedunia (8 Maret) diwarnai dengan berbagai perayaan. Demonstrasi dan berbagai acara dilakukan untuk mengenang hari ini. Mungkin karena kita hidup di Indonesia yang medianya begitu getol mengeksploitasi berita-berita ‘aneh’ sehingga tanpa perlu mencari tahu dengan sungguh-sungguh bukti-bukti ‘vulgar’ penindasan perempuan, kita serta merta disuguhkan ‘kisah’ tentang seorang istri yang dihantam dengan laptop oleh suaminya hingga mangkat, lalu setelah iklan sejenak, ada berita yang saking sudah biasanya, membuat kita berkata dalam hati, “oh, penggusuran toh?”. Maka, relevanlah membicarakan penindasan ‘perempuan’ pada hari-hari ini.

Tulisan ini sekadar penuturan kembali—dengan keterlupaan di sanasini—atas penindasan perempuan, yang ternyata berkorelasi jalannya dengan perubahan struktur sosial yang dimungkinkan oleh perubahan/penemuan/pengefektifan alat-alat produksi demi kebutuhan hidup manusia, seperti yang diuraikan Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State.
***
Permasalahan penindasan perempuan sudah menjadi perhatian Marx dan Engels, jauh sebelum The Origin ditulis.(1 Dalam German Ideology di tahun 1846, mereka menulis bahwa pembagian kerja pertama adalah antara lakilaki dan perempuan dalam hal prokreasi dan pertentangan kelas yang pertama dalam sejarah berkembang bersamaan dengan pertentangan antara pria dan wanita di dalam perkawinan monogami.(2 Dalam The Origin, Engels meneliti lebih jauh—berdasarkan penemuan-penemuan antropologi termutakhir waktu itu terkhusus karya Lewis H. Morgan, Ancient Society—hubungan antara kemerosotan kaum perempuan, properti-pribadi, pembentukan negara, dan pertentangan kelas. Karya ini diterbitkan pada 1884 dan berdasarkan atas beberapa catatan Marx atas karya Morgan. Baik Marx mau pun Engels terkejut bahwa Morgan dalam karyanya itu menggunakan pendekatan materialis (produksi dan reproduksi kebutuhan hidup). Sehubungan dengan emansipasi perempuan, Reed menulis dalam kata pengantar untuk The Origin: "…dia (Engels) menunjukkan sebabsebab historis yang nyata di balik bencana besar kejatuhan kaum perempuan, dan dengan demikian ia memberi kecerahan bagi masa depan emansipasi perempuan.

Masyarakat Komunal dan Pembagian Kerja Spontan

Pembabakan kebudayaan masyarakat pra-sejarah Morgan ditandai dengan cara mereka memenuhi kebutuhan hidup. Diawali dengan zaman kebuasan yang terbagi dalam tahap perkembangan rendah, menengah, dan tinggi. Setiap perubahan dari tahap yang satu ke yang lainnya didorong oleh penemuan alat produksi. Penemuan api, tombak, pentungan dan pengolahan binatang air menandakan perubahan dari tahap rendah ke menengah. Saat ini, manusia mulai menyebar ke berbagai penjuru. Hal ini selain karena ditemukannya beberapa bahan konsumsi yang memungkinkan manusia tidak hanya tinggal di hutan—tetapi juga bisa di pesisir pantai, sungai atau danau—tentu juga disebabkan oleh ketakmampuan hutan, yang harus berbagi dengan binatang lainnya, memenuhi kebutuhan populasi manusia yang meningkat. Faktor populasi ini, pada hematnya, mengiringi juga perkembangan ke tahap lainnya. Pemutakhiran atas tombak dan pentungan dalam rupa busur dan anak panah (sebagai alat berburu) menandai peralihan ke tahap tinggi. Saat ini juga sudah mulai ada pemukiman dan beberapa hal lain seperti pembuatan kano, rumah sederhana, serta tenunan sederhana. Dengan mulai munculnya pemukiman, pembagian kerja secara alamiah pun timbul di mana lelaki mencari makanan dan perempuan mengurusi rumah dengan kekuasaan sepenuhnya atas rumah di tangan perempuan.

Pemukiman, lantas penemuan tembikar menandakan perubahan dari zaman kebuasan ke zaman barbarisme tingkat rendah. Keadaan alam yang berbeda berpengaruh pada perbedaan karakteristik barbarisme rendah di masing-masing belahan bumi. Perbedaan ketersediaan pangan oleh alam untuk manusia mengakibatkan perbedaan durasi di setiap periodenya. Penjinakan berbagai binatang dan budi daya bermacam bebijian muncul di belahan bumi timur. Sedangkan di belahan barat hanya Lyama yang diternakan dan jagung untuk pertaniannya. Produksi bahan pangan pun meningkat pesat di timur yang memungkinkan populasi bertambah pesat.

Pada zaman kebuasan ini (dan hingga barbarisme rendah) perkawinan yang terjadi adalah ‘perkawinan kelompok’. Perkawinan kelompok ini dimulai dengan ‘hubungan terbuka’ lantas ‘perkawinan sedarah’ (4: setiap laki-laki dalam satu generasi adalah suami bagi setiap perempuan dalam generasi yang sama dan setiap perempuan dalam generasi itu adalah istri untuk setiap laki-laki. Begitu pula generasi selanjutnya. Pembagian kerja di antara ‘keluarga’ saat ini terjadi secara spontan dan segala alat produksi yang ada di dalam gen adalah milik bersama setiap anggota gen. Engels menyebutnya sebagai “properti yang dihasilkan” (earned property).

Di tahap selanjutnya, ‘keluarga punaluan’ yang berkembang bertahap. Dimulai dari pelarangan nikah antar saudara kandung (incest) hingga antara saudara sepupu pertama, kedua dan ketiga. Di sini terlihat, bagaimana pelarangan terhadap pernikahan sedarah berjalan terus, dan menurut Engels, “..tapi selalu dalam pengelompokan spontan tanpa kesadaran yang jelas akan tujuannya”. (5

‘Keluarga punaluan’ membentuk institusi gen. (6 Di dalam ‘perkawinan kelompok’ yang terjadi adalah si ibu mengenal siapa-siapa anak yang dilahirkannya dan si anak mengenal siapa ibunya; sedangkan ayah kandung tidak bisa dikenali. Maka, garis keturunan hanya bisa dikenali sebagai garis ‘keturunan ibu’ dan warisan mnejadi “hak-ibu”. Masa ‘perkawinan kelompok’ yang maternal ini menyebar di segala penjuru bumi dalam waktu yang berbeda dengan beberapa variasi. Cikal-bakal pernikahan monogami sudah mulai muncul di zaman ini oleh praktik penculikan perempuan untuk istri. Terkadang juga dengan pembelian perempuan, lelaki memberikan hadiah pada gen perempuan untuk mendapatkan perempuan. Dengan ini, mulai muncul pula ‘perkawinan berpasangan’ temporal yang menjadi semakin kentara di zaman barbarisme tinggi.

Masyarakat Produsen dan Awal Mula Penindasan Perempuan

Pada zaman barbarisme menengah belahan timur memanfaatkan sistem irigasi dan pembuatan batubata untuk rumah. Sedangkan di belahan barat, ketika masih dalam barbarisme rendah ke barbarisme menengah, intervensi dari luar terjadi, intervensi dari kelompok masyarakat yang sudah mengalami kemajuan ke zaman peradaban. Namun tentu saja, kaum kolonial ini juga mengalami perubahan bertahap yang lebih kompleks tanpa loncatan tibatiba ini. Di sini terlihat pula bagaimana penguasaan terhadap alat produksi yang lebih canggih dan mutakhir menundukan dengan mudah alat produksi yang masih ‘primitif’: suku-suku Indian Amerika sudah mencapai tahap pemanfaatan logam dan masih menggunakan persenjataan dari batu. Akibat imperialisme ini, perubahan secara alamiah dari Suku Indian Amerika dihentikan dan mereka dipaksakan untuk mengikuti apa yang telah ada pada masyarakat imperialisme.

Peternakan muncul lebih dahulu dari pada pertanian di belahan timur. Pertanian muncul akibat semakin berkurangnya pangan untuk ternak dari alam, sehingga cara baru harus diciptakan. Pertanian yang awalnya untuk binatang ini, pada gilirannya dimanfaatkan untuk manusia juga. Pembagian kerja alamiah di zaman kebuasan dan barbarisme rendah (lelaki mencari makanan dan perempuan mengurusi rumah dengan kekuasaan sepenuhnya di tangan perempuan) mengakibatkan lelaki yang mengusahakan bahan pangan baru ini (peternakan dan pertanian). Alat-alat produksi baru pada awalnya masih sebagai milik gente pada peralihan barbarisme rendah ke menengah. Pada tahap ini, muncul pembagian kerja baru yakni penggembala, ketika ternak harus digembalakan berpindah-pindah, sebelum ditemukannya pertanian. Yang patut dilihat pula bahwa saat inilah pertukaran dalam skala kecil terjadi ketika ada bagian bumi tertentu yang memberi penghasilan berlimpah dengan tingkat konsumsi yang tak rendah, sehingga kelebihannya bisa dipertukarkan kepada suku-suku lain yang berada di keadaan alam yang berbeda, namun juga pertukaran ini dikarenakan suku penggembala butuh peralat lain yang bisa didapatkannya dari para pengrajin. Maka, komoditas yang digunakan para penggembala saat itu tentu saja ternak. Di sini, kebutuhan akan sebuah alat tukar sudah mulai muncul.

Perkawinan pada masa ini mulai berkembang menjadi perkawinan pasangan di mana selain ada ibu kandung ada juga ayah kandung yang dikenali. Perbudakan mulai muncul ketika ternak dan pertanian berkembang pesat dan dibutuhkan penggarap lain untuk mengerjakannya. Laki-laki sebagai pengguna alat kerja di luar rumah, otomatis adalah juga pemilik budak. Namun, pewarisan harta miliknya masih tetap jatuh pada gen-nya (bukan anak-anak kandungnya yang warisannya ada dalam gen ibu).

Perubahan dari properti-kelompok ke properti-pribadi perlahan-lahan terjadi ketika kekayaan atas alat-alat baru ini menempatkan posisi lelaki lebih tinggi dari sebelumnya. Kebutuhan untuk mewariskan kekayaan laki-laki pada anaknya pun terlihat mendesak (ketika sekarang lelaki bisa mengenali yang mana anaknya). Namun, ini bisa dilakukan ketika garis keturunan berdasarkan ibu diganti oleh garis keturunan ayah. Dan ini dilakukan. Dengan demikian, properti yang dulunya adalah milik gen berubah menjadi milik seorang lelaki.

Ketika lelaki memiliki kekuasaan atas pangan dan garis keturunan pun berdasarkan garis keturunannya, lelaki juga lantas mengambil alih pengurusan rumah tangga dan perempuan menjadi hanya sekadar pembantu, pemuas nafsu lelaki dan juga sebagai alat melanjutkan garis keturunan lelaki. Periode ini oleh Engels disebut “peristiwa sejarah dunia kekalahan perempuan”. Monogami yang terjadi sebenarnya hanya untuk perempuan saja. Sebagai properti, dia harus tunduk pada sang pemilik dan tak punya hak mengatur sang pemilik. Adanya poligami dan kemunculan hetaerisme (7; perzinahan di mana perempuanlah yang selalu dianggap salah sedangkan lelaki tidak membuktikan itu. Perkawinan monogami adalah perkawinan berlandaskan ekonomi; perkawinan untuk mempertahankan properti-pribadi atau menambanya. Telenovela-telenovela Amerika Latin dan film-film Bollywood mungkin bisa menggambarkan dengan lebih baik masalah ini. Dalam wajahnya yang termutakhir, cinta individu—yang baru mulai muncul cikal bakalnya pada ‘perkawinan pasangan temporal’—yang dipercayai sebagai landasan perkawinan monogami modern menjadi tak penting khususnya dalam kelas borjuis. Proletar sebagai yang tak berpunya tak punya cukup alasan untuk melakukan perkawinan berlandaskan ekonomi ini. Maka monogami berdasarkan cinta individu menjadi mungkin. Namun, konstruksi sosial borjuis menimbulkan imajinasi borjuis pula di kelas proletar.

Demikianlah, dalam masyarakat yang baru. Lelaki menjadi superior karena ia sebagai pemilik alat-alat produksi. Penemuan-penemuan baru dan tuntutan-tuntutan baru dalam kerja yang lebih ‘beradab’ ini lantas membutuhkan pekerja tambahan yang didapat dari budak sebagai hasil peperangan. Muncul pula saat itu logam mulia sebagai alat tukar. Bersamaan dengan itu, muncul kelas baru dalam masyarakat yakni pedagang sebagai perantara atas pembagian kerja yang makin mencolok dan ekstrim. Kehadiran kelas pedagang ini, pada akhirnya menciptakan uang sebagai alat tukar: ”Komoditas yang dihasilkan dari komoditas telah ditemukan, yang merangkul semua komoditas lain yang tersembunyi di dalamnya; alat ajaib yang dapat mengubah segala sesuatu atas kehendak akan apa yang menarik dan diharapkan” (hal. 210).

Komoditas, perbudakan, uang, dan tanah menjadi kekayaan yang dimiliki waktu itu. Kepemilikan tanah pun berubah seperti properti-gen lainnya yang menjadi properti-pribadi. Penguasaan terhadap tiga hal itu membagi masyarakat dalam kelas-kelas; sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Pada awal kemunculan peradaban yang ditandai dengan kemunculan negara, yang sebentar lagi akan dilihat, kita saksikan bahwa masyarakat terbagi dalam kelas-kelas berlandaskan pada kepemilikan alat produksi dan juga pembagian kerja. Di sini muncul pula tentu saja para pemilik yang sangat dominan dan para pemilik yang sangat tidak dominan atau pun yang sama sekali tidak memiliki. Namun, sistem gen yang
sangat komunistik tidak memfasilitasi bentuk kekayaan baru yang adalah proverti-pribadi ini. Maka, muncullah institusi baru ini yakni negara yang dalam bahasa Engels; “sebuah institusi yang akan mengabadikan, bukan hanya kebangkitan pembagian kelas yang baru dalam masyarakat, tetapi juga hak dari kelas bermilik untuk menghisap kelas yang tak bermilik, dan kekuasaan kelas bermilik atasa kelas yang tak bermilik”. (8 Jelaslah di sini, negara adalah institusi yang dibangun atas kebutuhan melegitimasi properti-pribadi yang ‘mengkhianati’ properti komunal nenek moyangnya dan untuk melegitimasi —setidak-tidaknya dalam pandangan Engels—penindasan yang dilakukan kelas berpunya (laki-laki, pemilik tanah, pedagang besar) terhadap kelas miskin papa (perempuan, petani tanpa ladang, dan budak).

Dinihari Negara dan Pengukuhan Properti-Pribadi

Perbudakan, penbagian kerja yang semakin menyempit dan kepincangan institusi gen dalam menghadapi perubahan di tengah masyarakat mendesak kemunculan negara; walau pun pengaturan kepemimpinan di dalam gen (yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang turun temurun dan dalam garis laki-laki serta pengambilalihan mereka atas propertikomunal menjadi properti-pribadi) turut ambil bagian penuh dalam pembentukan negara.

Engels dalam The Origin menggambarkan kemunculan Negara Yunani, Romawi dan Jerman, yang adalah cikal bakal dari negara modern Eropa. Negara Athena bercikal-bakal dari perdagangan yang semakin meluas, memusat di suatu tempat sebagai titik temu, maka terbangunlah komunitas dari berbagai gen, suku yang bercampur baur.(9 Institusi baru diciptakan untuk mengatur masyarakat dengan karakteristik ini. Selanjutnya masyarakat dibagi ke dalam tiga kelas eupatrides (bangsawan), geomoroi (penggarap tanah), dan demiurgi (pengrajin). Menurut Engels, ini memecah komunitas gen ke dalam kelas-kelas baru; komunitas gen yang anggotanya setara kini terbagi dalam kelas-kelas yang tidak setara dengan hak tertentu ada pada kelas tertentu saja. Uang dan praktek lintah darat menjadi sarana penindasan ini. Hukum-hukum diciptakan, seperti penggadaian, hukum hutang-piutang, menjadi alat legitimasi atas penindasan. Jabatan-jabatan atas urusan publik dibentuk, begitu juga dengan angkatan perang yang dibentuk dalam rangka pengamanan diri.

Solon melakukan reformasi pada 254 SM di mana ia menghapus hutang-hutang dan membagikan tanah pada yang tak berpunya dan yang lari ke luar negeri. Selain itu, dia juga membagi masyarakat dalam empat kelas berdasarkan kepemilikan tanah dengan tiga kelas adalah mereka yang memiliki tanah beserta hasilnya dengan jumlah yang bervariasi sedangkan golongan keempat adalah mereka yang tak berpunya. Tiga kelas pertama berhak menduduki jabatan pemerintahan sedangkan kelas keempat berpartisipasi dalam hak bicara dan hak pilih dalam majelis rakyat. Di sini jelaslah bahwa propertiprivat menjadi nilai ukur keterlibatan seseorang dalam bernegara. Dalam kemajuannya, Athena menjadi lebih demokratis dan tak ada perbudakan, praktek lintah darat tak ada lagi tetapi praktek perbudakan baru muncul, yakni dengan penaklukan atas daerah-daerah bukan Athena sebagai sumber budak atau pekerja.

Negara Roma juga dibangun dalam rumusan ini; sebagai institusi yang melindungi properti-pribadi sang kaya. Konstitusi baru Roma yang militeristik dibentuk pula berdasarkan jumlah kekayaan; di mana lima kelas pertama sebagai pemilik kekayaan dengan jumlah tertentu dan kelas keenam adalah proletariat yang tidak berhak menjadi tentara dan bebas dari pajak. Dalam majelis centuriae, kelas pertama memiliki suara terbanyak.
***
Jelaslah kini, di dalam zaman kita, zaman peradaban, yang terjadi adalah praktek penindasan dari kelas berpunya terhadap kelas tak berpunya atas dasar mempertahankan dominasi atau menambah properti-pribadi dengan wajahnya yang paling mutakhir sekarang ini. Penindasan oleh ‘Sang Adam’ terhadap ‘Si Tulang Rusuknya’ patut diterima sebagai kodrat, karena seperti yang dinyanyikan Ahmad Dhani, “hawa tercipta di dunia untuk menemani sang adam”.

Dalam rangka perkawinan monogami yang berbasiskan kebutuhan ekonomi ini, Engels mengungkapkan bahwa apakah mungkin ketika properti-pribadi dihapuskan monogami pun hilang? Atau sebaliknya? Atau malah ketika private property sudah tak ada, perkawinan yang muncul adalah monogami yang setara, tanpa ada penindasan.

Dalam sejarah perjuangan perempuan, pemikiran Engels (dan juga Marx) cukup berperan penting, termasuk juga August Babel, Woman and Socialism. Clara Zetkin, seorang feminis Jerman, misalnya memperjuangkan faktor ekonomi perempuan sebagai titik pijak kesetaraan perempuan, suatu hal yang ditekankan Engels dalam The Origin. Clara Zetkin ini pula yang memprakarsai hari perempuan internasional pada 1907 yang terus dirayakan hingga sekarang.

Catatan Akhir
1. Sharon Smith, Engels and the Origin of Women’s Oppression, International Socialist Review, Issue 2, Fall 1997. Menurut Smith, hal ini bisa dilacak, sebagai salah satu contoh, dalam The Communist Manifesto, di mana Marx dan Engels menulis bahwa kaum borjuis memandang istrinya sebagai
(sama seperti) alat produksi. Bdk. Economic and Philosophy Manuscrip of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Prometheus Books), 1988, hal. 227.
2. Terrell Carver, The Very Short Introduction of Engels, (New York: Oxford University Press Inc), 1981, hal. 72. Di dalam German Ideology ini, Marx dan Engels melihat adanya ‘tumpang tindih’ antara sosial dan natural: ‘‘the production of life, both of one’s own in labour and of fresh life in procreation, now appears as a twofold relation: on the one hand as a natural, on the other as a social relation’. Ronaldo Munck, Marx @ 2000 : Late Marxist Perspectives (New York : St. Martin’s Press, Inc), 2000, hal. 80.
3. Keluarga sendiri merupakan istilah yang problematis. Keluarga di sini tidak dipahami sebagaimana pemahaman atasnya saat ini, tetapi merujuk pada suatu kumpulan masyarakat yang bersifat komunal.
Maka, ketika membicarakan masyarakat pra-kapitalis, pemahaman atas kata ‘keluarga’ merujuk pada sifatnya yang komunal sedangkan masyarakat kapitalis keluarga menjadi seperti yang dipahami sekarang.
4. Mengenai ‘perkawinan sedarah’, dalam beberapa mitos asal-usul masyarakat kita bisa menemukannya. Mitos-mitos di daerah Pulau Timor, NTT, dan Maluku mengisahkan tentang manusia ‘mitis’ yang menikah dengan saudara/saudari kandungnya sendiri. Bdk, F.A.E. van Wouden, Klen, Mitos dan Kekuasaan, (Jakarta: Grafiti Press), 1985, hal. 93.
5. Pernikahan tak sedarah ini oleh Morgan menyebabkan sebuah seleksi alam yang tak terkira, yakni membentuk kondisi fisik dan mental yang tak terkira. Morgan menemukan bahwa ketika dua suku berbeda bercampur menjadi satu masyarakat maka akan ada pembentukan otak baru dengan
kemampuan yang luar biasa dari sebelumnya. Selain itu, populasi yang bertambah dalam satu gen mengakibatkan gen itu harus dipecah. Ketika gen kedua terpisah dari gen induk, disertai pula dengan dilarangnya perkawinan sedarah ini.
6. Gen/klen : lingkaran terbatas kerabat saudara dari garis keturunan perempuan.
7. Berasal dari kata hetaira (Yunani) yang berarti pelacur kelas tinggi. Hetaearisme merujuk pada praktik pelacuran.
8 Ibid. The Origin, hal. 130
9 Sunda Kalapa a.k.a. Batavia a.k.a. Jakarta merupakan salah satu contoh tempat yang seperti ini. Meski masih dalam polemik, ada kemungkinan Orang Betawi adalah kumpulan budak yang didatangkan dari berbagai penjuru oleh Jan Pieterzoen Coen pada abad ke-18. Para Budak ini nantinya hidup berbaur dengan penduduk bebas yakni orang Tionghoa, tentara bayaran Jepang, orang Moor, dll. Lance Castles, The Ethnic Profile of Jakarta, Jurnal Indonesia thn. 1967.

1 komentar:

Pemuda Adonara Bangkit mengatakan...

Ijin share di blog, bung