Senin, 01 Februari 2010

TINTA STABILO


(Part 1)
Saya kerepotan hendak menulis apa ketika memutuskan untuk membuat semacam pengganti stabilo biru di halaman-halaman buku BOB MARLEY DAN 11 CERPEN PILIHAN SRITI.COM 0809 (selanjutnya ditulis; Marleynya Sriti); karena halaman-halaman buku itu sayang untuk dicorat-coret. Maka, kita tiba-tiba langsung menemukan alasan praktis dan tak penting kenapa cerpen-cerpen yang sudah terhampar di html-html itu dirasa perlu untuk dibukukan lagi; agar bisa distabilo. Maka, rasanya mubasir dan tak pentinglah pelabelan-pelabelan yang susah payah dilakukan Nasery Basral. Dia sepertinya hanya merepotkan diri dengan bentuk “mengada”-nya Marleynya Sriti, tanpa berpikir tentang “ada”-nya Marleynya Sriti, apalagi “ada” itu sendiri; jangan keheranan saudara-saudari, ini bentuk kegenitan “das Man” yang baru mulai membaca Heidegger. Bagi saya sudah jelas seperti yang diutarakan di atas, adalah agar bisa distabilo. Tentu “distabilo” ini sebuah kenyataan praktis dengan segala konsekuensi lainnya yang agak malas untuk saya untuk mengutarakan dan memikirkannya secara panjang lebar di sini. Maka, kita lantas tak perlu lagi membincangkan kesusah-payahan dan keringat-air mata yang dicurhatkan oleh Chusnato di awal buku ini; anggap saja itu cara “mengada” sriti.com.

Ah, Endah Nasution hanya me-list contoh-contoh reifikasi yang sudah diramalkan Marx berpuluh-puliuh tahun silam. Coba bayangkan ketika tiba-tiba internet menghilang secara tiba-tiba dan tanpa sebab dari hari-hari kita. Saya rasa, anda sekalian akan kebingungan, saya juga, dan juga Chusnato dkk; ke mana sriti kita? Apakah dia pernah ada? Tetapi tak apa-apa. Setidaknya Endah Nasution diingatkan bahwa semua yang melingkupi kesehariannya selama ini adalah hal-hal tak penting, hal-hal yang tampil di hadapannya bukan sebagai benda itu sendiri; hal-hal yang selama ini menjadikannya bukan sebagai manusia sepenuhnya. Begitu pula, Endah Nasution mengingatkan pada kita sekalian, siapa kita selama ini.

Keterasingan dari kehidupan sosial itulah yang kembali terulang di dalam KANDANG-nya Yanusa Nugroho. Ini tipikal ceritanya kaum urban Jakarta; tentu saja tidak menutup kemungkinan ini terjadi di tempat lain. Pertemuan dengan sesama manusia, komunikasi bahasa sebagai cara bermasyarakat menjadi hilang dan kering dalam cerpen ini. Maka, hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang punya empati dan simpati terhadap sesamanya hilang sudah. Ini sudah dikatakan Yanusa di awal ceritanya, “Kau tak akan menjumpai sesosok makhluk yang bisa layak kau sebut manusia”. Mungkin Levinas dan Bubber yang mengandaikan kehadiran orang lain untuk memanusiakan “aku” harus mengurut dada membaca kalimat ini; betapa penghayatan terhadap “wajah yang lain” sudah hilang sama sekali.

Lantas, bagaimana CINTA PADA SEBUAH PAGI-nya Eep Saefulloh Fatah? Terus terang, ini cerita yang membuat saya tertawa girang. Karena saya tertawa girang, saya tak berani banyak berkisah tentangnya. Anda tentu perlu membacanya dan bersiap-siaplah untuk hendak merobek Marleynya Sriti ketika hampir sampai anda di penghujung cerita.

Kelahiran dan kematian muncul bersama dalam SATU KUNANG-KUNANG SERIBU TIKUS-nya Intan Paramaditha. Sesuatu yang diterima dengan bahagia dan suka cita bergandengan dengan sesuatu yang menyedihkan dan penuh sedu sedan. Permainan antara dua titik simpul ini, tentu sudah juga terlihat pada judul yang dipilih; kunang-kunang dan tikus. Dua makhluk yang menimbulkan kesan yang berbeda tentu saja untuk kita. Betapa bercampur-aduknya dua kesan itu dalam satu judul setarikan nafas; seakan-akan mengingatkan pada kita, begitulah hidup; ada suka dan duka; atau hidup adalah suka dan duka dalam satu wadah. Mari kita perhatikan juga permainan kata-kata di sana; satu kunang-kunang dan seribu tikus. Untuk makhluk yang hanya satu saja, tidak bisa dituliskan dengan satu kata saja tetapi butuh dua kata yang menjadi satu kata. Kunang-kunang yang seekor tidak bisa ditulis dengan “kunang” saja tetapi harus dengan “kunang-kunang”. Berbahagialah kita orang Indonesia karena bahasa Indonesia kita memungkinkan permainan ini sedangkan bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan mungkin banyak lagi, tidak punya permainan seseru ini. Sedangkan tikus yang berjumlah seribu tidak ditulis dengan tikus-tikus-tikus-tikus-ti
kus-tikus… dst. Melainkan cukup dengan “seribu tikus” saja. Kita juga tak perlu menambah ,–s di belakang tikus. (bersambung…)

Tidak ada komentar: