Jumat, 17 Juli 2009

Yang Melukai Halimunda, Kerabat Macondo Itu



Tentu judul di atas akan mengingatkan anda pada dua novel tebal yang sempat menarik perhatian para penikmat sastra dan buku itu. Ya benar! Macondo adalah sebuah kota imajiner dalam Seratus Tahun Kesunyian (STK) karya Gabriel Garcia Marquez dan Cantik Itu Luka bold (CIL) karya Eka Kurniawan berkisah di Halimunda. Tentu sudah sering kedua tempat ini dan kedua karya ini dibahas dalam berbagai kaca mata pembacaan. Karya sastra memang tak pernah bisa habis untuk dibahas. Lihatlah Layar Terkembang, Romeo dan Juliet, atau Madame Bovary. Apakah ketiganya sudah bosan diperbincangkan? Menurut hemat saya tidak. Kreatifitas pengarang bisa dipandang sebagai kerja tanpa sadar untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak disadari pula. Jadi, karya sastra mengungkapkan sesuatu yang tak disadari dalam keadaan yang tak sadar (Kutha Ratna, 2008). Di sinilah peran pembacaan atas karya sastra nampak; mencari yang tak disadari sebagai hasil kerja yang tanpa sadar pula. Maka, setiap pembacaan dengan kaca mata pembacaannya masing-masing sangat mungkin mengungkapkan ketidak sadaran-ketidak sadaran yang berbeda-beda. Sama dengan hasil pembacaan saya atas STK dan CIL yang berkelindan-bersetubuh dengan hasil pembacaan saya atas hasil pembacaan-pembacaan terhadap STK dan CIL lainnya yang terkristalkan dalam tulisan ini; mencoba mengungkapkan sesuatu yang (mungkin) tak terungkap.
***
Menarik membandingkan STK dan CIL. Pasalnya, dalam pembacaan sepintas pun terlihat bagaimana kesamaan antara kedua karya ini; pertama sama-sama menggunakan gaya realisme magis. Realisme magis sendiri merupakan gaya penulisan yang menggunakan surealisme dan realisme secara bersamaan dan tak terpisahkan. Istilah ini diambil dari kasanah seni lukis oleh kritikus sastra untuk mencandrakan karya Marquez, Grass (dalam novel The Tin Drum) Borges, Okri serta Eka Kurniawan. Elleke Boehmer (dalam Bandel, 2003) mengatakan, bahwa gaya realisme magis merupakan gaya yang cocok bagi penceritaan tanah-tanah pascakolonial untuk menceritakan dirinya dengan kaca matanya sendiri. Kedua, STK dan CIL punya atribut-atribut cerita yang hampir-hampir mirip.

Salah satu yang paling kentara adalah kedua novel ini menyertakan pohon silsilah. STK tentang silsilah keluarga Buendia sedangkan CIL silsilah keturunan Ted Stammler. Keduanya mengambil latar tempat kota imajiner, seperti yang diungkapkan pada awal tulisan ini. Peristiwa moksa terdapat pada keduanya; Maman Gendeng di CIL dan Si Cantik Remedios dalam STK. Perlindungan terhadap keperawananpun terdapat pada keduanya; Ursula dengan “…celana dalam yang panjang buatan ibunya dari kain layar yang diperkuat dengan tali kulit yang disiliang-menyilang dan bagian depannya ditutup dengan gesper besi tebal.” (STK, hal.27). Sedangkan Alamanda dalam CIL menggunakan “…celana dalam terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tak memiliki lubang anak kunci untuk membukanya.” (CIL, hal. 248) Bahkan, Alamanda menggunakan semacam mantra khusus. Inces akan sering ditemukan dalam kedua novel ini. Si Cantik Remeditos muncul kembali dalam persamaan berikut; keluguan dua tokoh perempuan yang cantiknya tak terkira, bahkan akibat kecantikan itu, laki-laki yang melihatnya dipastikan akan demam tinggi dalam beberapa minggu; Rengganis Si Cantik dalam CIL dan Si Cantik Remeditos dalam STK. Bedanya, Si Cantik Remeditos akhirnya moksa. Berarti, kecantikan dan keluguannya tak tersentuh apa pun. Sedangkan Rengganis Si Cantik diperkosa oleh saudaranya sendiri, Krisan, hingga melahirkan seorang anak. Kedua novel berakhir dengan pandangan yang cenderung nihilis; STK dengan ketak-bersisaan ‘dinasti’ keluarga Buendia di Macondo dan CIL diakhiri dengan kenyataan, bahwa kutukan Ma Gedik ternyata akan terus berlanjut.

***

Menengok pendapat Elleke Boehmer di atas, tentu saja kedua novel ini lebih indah bila dibaca dengan kaca mata postkolonialisme. Kaca mata satu ini yang adalah varian postmodernisme mengandaikan adanya pengetahuan sejarah kolonial dari tanah pascakolonial tempat karya itu lahir. Maka itu, dengan penuh kerendahan hati, tulisan ini hanya akan lebih fokus pada CIL dengan sedikit-sedikit menengok STK.

Adalah menarik ketika melihat tokoh sentral CIL adalah Dewi Ayu. Walau pun banyak yang mengatakan bahwa cerita ini bercerita tentang keturunan Ted Stammler, kata Stammlet sendiri sangat jarang muncul. Saya lebih condong menyebut cerita ini sebagai kisah Dewi Ayu dan keturunannya. Dewi Ayu sendiri adalah indo tiga perempat Belanda, seperempat Indonesia. Indo merupakan warisan kolonial yang paling nyata. Biasanya, seorang Indo akan lebih condong pada darah Belandanya. Ini akan ditujukan pula dengan penggunaan nama Belanda bagi Indo. Sekolah-sekolah modern barat a la Belanda sangat berperan dalam konstruksi pembeda-bedaan ini. Sekolah-sekolah Belanda bahkan akan menamakan semua muridnya dengan nama Belanda. Minke dalam tetralogi Buruh Pramoedya serta Rusli (periksa lagi) dalam Salah Asuhan Marah Rusli pun demikian. Adalah sesuatu yang aneh ketika Henri Stamler dan Aneu Stamler menamai anak mereka dengan Dewi Ayu. Namun baiklah kita menerima Dewi Ayu sebagai Indo yang lebih memilih Indonesia ketimbang Belanda. Hal ini semakin dibuktikan dengan kekeras-kepalaan Dewi Ayu untuk tetap tinggal di Halimunda ketika semua keluarganya meninggalkan Indonesia.

Dari pandangan yang berbeda, sosok Dewi Ayu bisa dilihat sebagai simbol tanah Indonesia pasca VOC yang masih tetap eksotis, indah dan menantang untuk disetubuhi. Barat cenderung menampilkan diri sebagai laki-laki, maskulin, agresif dan timur (tanah kolonial) sering disimbolkan dengan perempuan perawan, cantik rupawan, lugu dan siap untuk ditaklukan laki-laki. Kolonialisme Indonesia dalam CIL adalah Indonesia pasca VOC (yang ditandai dengan Dewi Ayu: nama Indonesia dengan darah campuran: warisan VOC). Maka tak heranlah ketika Komandan Bloedenkamp (mewakili Jepang) menghadapi Dewi Ayu (simbol Indonesia) yang menyerahkan diri tanpa syarat, Komandan itu memperkosa dengan “…menyerangnya dengan ganas, langsung tanpa basa-basi…” (CIL, hal. 77) sedangkan Dewi Ayu hanya bisa menghindar ketika laki-laki itu hendak mencium bibirnya. Dewi Ayu dan beberapa perempuan lainnya selanjutnya menjadi “penghibur jiwa-jiwa tentara Jepang” di rumah pelacuran Mama Kalong di Halimunda. Dari rumah pelacuran Mama Kalong jaman jepang inilah Dewi Ayu melahirkan Alamanda. Belakangan, Alamanda yang hasil persetubuhan Dewi Ayu dan Jepang menikah dengan Sodancho, seorang gerilyawan massa Jepang yang hebat yang menjadi pemimpin militer di Halimunda.
(versi awal sebuah tulisan di PendarPena No.6.tahun 1. mei 2008, sastra)

Tidak ada komentar: