Sabtu, 18 Juli 2009

MENGINTIP SANG SAUDARA



Papua Nugini, sebuah negara tetangga yang kerap alpa dalam perbincangan kita di Negara ini. Ia dekat, tapi seakan jauh, ia di sana, tapi seakan tak ada. Papua Nugini sang saudara kandung yang terlupakan mungkin. Kisah-kisah tentang Papua Nugini, bagi saya sama tak adanya dengan kisah-kisah tentang Ethiopia atau banyak negara kecil di Afrika dan Pasifik sana, mungkin. Memang, kedua nama negara itu ada dalam repertoar kata saya, tapi tak lebih dari nama sebuah tempat saja.

Buku PERCIKAN API FAJAR: TIGA NOVELET PAPUA NUGINI adalah sebuah buku yang menghancurkan barang sedikit dari ketaktahuan itu. Melalui juru cerita Benyamin Umba, August Kituai, dan Jim Baital barang sedikit dari sang saudara yang terselubung itu sedikit-sedikit tersingkap. Tiga kisah yakni PERCIKAN API FAJAR, LARINYA SEORANG PENDUDUK DESA, dan TALI tak pelak merupakan tiga kisah yang cukup menggelitik rasa persaudaraan itu. Bahwa dari ketiga cerita yang ’sederhana’ ini, terlihat barang sedikit kesamaan kita dan Papua Nuginea. Masalah apharteid, kemiskinan, tergerusnya masyarakat tradisional, pandangan orientalis, poskolonialisme sedikit banyak terhampar secara merata di dalam ketiga cerita ini.

Salah satu penulis mengungkapkan Papua Nugini sebagai perempuan muda yang cantik rupawan yang sepertinya sangat siap sedia akan kehadiran lelaki di atas tubuhnya. Sebuah gambaran atas tanah poskolonial yang siap dijajah dan dipreteli oleh bangsa-bangsa penjajah. Ini serupa dengan gambaran seorang penulis (saya lupa namanya) menggambarkan Amerika Latin yang dikutip Annia Lomba dalam bukunya ’Postkolonialism and Kolonialism’.

Buku PERCIKAN API FAJAR: TIGA NOVELET PAPUA NUGINI adalah buku sastra Papua Nugini dalam bahasa indonesia pertama yang saya temukan. Sepanjang pencaharian saya yang tidak bisa dibilang gencar ini, belum lagi ditemukan buku serupa.Semoga, buku-buku sejenis ini semakin sering muncul dalam bahasa Indonesia. Bila sastra Malaysia, Singapura Brunai sering menghiasi majalah Horison, kenapa tidak pada suatu ketika kita menemukan sastra-sastra Papua Nugini dan bisa juga Timor Leste di rak-rak buku kita, di etalase-etalase toko dan menjadi bacaan kita bersama. Sehingga mereka yang dekat, tak lagi terlihat jauh. Sehingga sang saudara, tak lagi terselubung kabut ketak-kenalan.

Tidak ada komentar: