Jumat, 14 Desember 2007

Calon Arang dan Konsepi Masyarakat

Sebagaimana dikatakan Julia Kristeva, intertekstualitas merupakan kunci untuk memahami sebuah karya sastra dengan lengkap. Masih menurut Kristeva yang pada tataran tertentu bisa dianggap sebagai seorang teoritikus feminis, sebuah teks sastra diciptakan dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu, selalu ada relasi antara suatu teks sastra dengan teks lainnya dalam suatu ruang dan antara satu teks sastra dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.

Pembahasan atas Calon Arang tak bisa dilepaskan dari hal-hal di luar dirinya, intertekstual-nya. Calon Arang sebagai sebuah cerita rakyat yang muncul dari masyarakat tradisional, dalam hal ini masyarakat tradisional Indonesia, tentu saja tidak terlepas dari budaya dan ideologi yang dianut oleh masyarakat tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, yang juga dijelaskan dalam pengantar buku, cerita Calon Arang muncul dari ranah masyarakat tradisional Hindu Jawa-Bali dan sekiranya boleh ditambahkan, dari ranah masyarakat feodal agraris Indonesia tradisional. Maka wajar untuk dikatakan, bahwa Calon Arang merupakan cerita yang muncul dari sebuah masyarakat yang kental dengan konsep patriarki.

Dalam masyarakat Hindu yang awalnya berasal dari Asia Selatan, konsep patriarki sangatlah mudah ditemukan. Bahasa setempat pun menunjukkan bagaimana laki-laki menjadi makhluk yang dipertuan oleh perempuan. Kata-kata yang merujuk pada laki-laki dalam hubungan pernikahannya dengan perempuan di daerah itu adalah swami, shauhar, pati, malik, merupakan kata-kata yang berarti “tuan” atau “pemilik”. Hal ini dapat dengan mudah ditemukan di novel ini, misalnya pada dialok antara anak Calon Arang dengan suaminya, Resi ……. dengan istrinya.

Lebih jauh lagi, pembicaraan tentang Calon Arang dan agama Hindu, menimbulkan terulangnya sebuah pertanyaan dan diktum klasik yakni agama-agama langit adalah agama laki-laki. Agama-agama langit yang juga bisa dikatakan sebagai agama-agama modern ini seperti yang disebutkan di atas, sangat kental sifat patriarkalnya. Bahkan, perempuan dalam agama-agama ini kerap dianggap sebagai pembawa bencana. Kisah tentang Nabi Adam dan Siti Hawa atau Adam dan Eva menunjukan hal tersebut, walau pun untuk masalah ini bisa dibicarakan dan didiskusikan lebih lanjut. Siti Hawa atau Eva menjadi faktor utama runtuhnya hubungan baik manusia dan Pencipta.

Hal yang sama ditemukan dalam kisah ini. Bagaimana digambarkan bahwa Dewi Durga adalah dewi perusak dengan pengikutnya Calon Arang yang setali tiga uang dengan junjungannya. Kedua perempuan ini tetap saja harus ‘mengakui’ kehebatan laki-laki, ketika tuah yang didapat dari Dewi Durga dilepaskan Calon Arang terhadap penduduk negeri dimentahkan oleh Resi…….. Di sini terlihat pengakuan dan tunduknya perempuan yang terwakilkan oleh Calon Arang dan Dewi Durga terhadap kecerdikan, kekuasaan dan kehebatan laki-laki yang terwakilkan oleh Resi…… dan Batara Guru.

Melihat kedudukan dan jabatan-jabatan tokoh-tokoh dalam kisah ini, dapat kita temukan stereotipe perempuan di wilayah domestik dan laki-laki pada wilayah non-domestik. Hampir semua tokoh laki-laki dalam kisah ini digambarkan berada pada sebuah jabatan atau kedudukan tertentu yang bukan di wilayah domestik. Entah itu sebagai raja dan para pembesar istana, sebagai pertapa, atau pun sebagai kepala desa. Sedangkan tokoh-tokoh perempuan hanyalah sebagai penghuni wilayah domestik yakni sebagai istri dan seorang anak. Tak ditemukan satu pun tokoh perempuan di luar wilayah itu, tentu saja dengan pengecualian Calon Arang. Dilihat dari kedudukan dan jabatan ini, terlihat sosok Calon Arang sebagai seorang perempuan istimewa pada masa itu. Tak ada pendeta dan petapa perempuan lain selain dia, setidak-tidaknya dalam karya ini.

Tapi, mengapa perempuan istimewa ini harus digambarkan sebagai tokoh jahat tak berperikemanusiaan? Kenapa pada akhirnya perempuan istimewa ini harus tunduk juga pada laki-laki dalam kedudukan yang sama (pendeta dan petapa)? Pada titik ini, kami memberanikan diri untuk menarik kesimpulan bahwa, cerita ini dibuat untuk menunjukkan, perempuan yang keluar dari ranah domestik pastilah perempuan yang tidak benar, sebab ia telah melanggar norma masyarakat patriarchal yang berlaku. Oleh karena itu, perempuan seperti ini haruslah dimusnahkan dan pastinya akan tunduk pada laki-laki sebagai yang dipertuan dalam strata masyarakat tersebut.

Terlepas dari semua itu, masih kita temukan secercah harapan akan perjuangan perempuan dalam karya ini. Ini terjadi ketika tokoh anak resi diberi pengajaran oleh ayahnya dan atas pilihannya sendiri menjadi seorang pertapa pula. Pada tokoh ini terlihat bagaimana seorang perempuan pada akhirnya atas kemauan sendiri mendapat tempat yang sama dengan laki-laki. Jadi pertanyaan, apakah hal ini memang berasal dari cerita asli mengenai Calon Arang, ataukah sekadar tambahan dari pencerita ulangnya Pramoedya yang kita tahu punya apresiasi yang lumayan baik terhadap perempuan (bandingkan dengan karya-karya lainnya seperti Gadis Pantai serta tetralogi Bumi Manusia).

Tidak ada komentar: