(seri catatan kuliah; 20/03/2010)
Hari ini, mungkin hanya satu masalah ini yang sempat menghinggapi otak saya yang patut untuk dituliksan di sini. Hidup sebagai lagu. Demikian kira-kira bila saya menangkap secara sederhana salah satu percikan pemahaman Emmanuel Levinas. Jadi, manusia berada dalam sebuah rangkaian yang tak bisa dilepas-pisahkan satu dengan yang lainnya. Rangkaian ini adalah rangkaian waktu yang bersambung; masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Oke, mungkin sekarang ada baiknya kita membayang-bayangkan sejenak sebuah lagu. Sebuah lagu, kita tahu, selalu penuh dengan kejutannya sendiri-sendiri; bagaimana musik awalnya, nada setelahnya apa, dan seterusnya dan seterusnya. Intinya sebuah lagu punya keunikannya masing-masing.
Yah, jika benar hidup seperti lagu; dan saya setuju dengan itu. Tetapi jika kita sedikit menengok Heidegger yang mengatakan bahwa manusia adalah ada yang terlempar di sana (da Sein), maka bisa dikatakan manusia yang hidup adalah ada yang terlempar di sana yakni terlempar dalam sebuah alunan lagu.
Manusia adalah ada yang terlempar dalam sebuah alunan lagu. Ini agak aneh kalau dipikir-pikir. Sebuah lagu, tentu saja kita sudah punya konsep tentangnya. Apa pun itu. Sesuatu yang sudah terkatakan menandakan bahwa sesuatu itu sudah ada konsep tentangnya di kepala kita. Jika demikian, hidup sebagai sebuah lagu, justru membunuh konsep da Sein, keterlemparan di sana tanpa tahu apa itu di sana. Atau mungkin lagu ini dipahami sebagai sesuatu yang tak kita ketahui sama sekali? Mungkin lagu ada baiknya kita tulis demikian; "lagu". "lagu" adalah sesuatu yang pasti mempunyai kesinambungannya dari awal, sekarang, dan nantinya. Kepastian tentang kesinambungan ini malah membuat kita menerima apa saja yang terjadi; toh itu adalah sesuatu yang niscaya karena ia berkesinambungan dari yang kemarin dan pastinya yang sekarang menyambung pada yang akan datang.
Hem, agak merepotkan catatan ini. Tetapi begitulah. Hidup sebagai "lagu". Tetapi, ada baiknya pula ketersinambungannya kita beri kurung pula di kepala kita. Sebab itu memberikan harapan tertentu; misalnya juga harapan akan datangnya sang mesias.
Hari ini, mungkin hanya satu masalah ini yang sempat menghinggapi otak saya yang patut untuk dituliksan di sini. Hidup sebagai lagu. Demikian kira-kira bila saya menangkap secara sederhana salah satu percikan pemahaman Emmanuel Levinas. Jadi, manusia berada dalam sebuah rangkaian yang tak bisa dilepas-pisahkan satu dengan yang lainnya. Rangkaian ini adalah rangkaian waktu yang bersambung; masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Oke, mungkin sekarang ada baiknya kita membayang-bayangkan sejenak sebuah lagu. Sebuah lagu, kita tahu, selalu penuh dengan kejutannya sendiri-sendiri; bagaimana musik awalnya, nada setelahnya apa, dan seterusnya dan seterusnya. Intinya sebuah lagu punya keunikannya masing-masing.
Yah, jika benar hidup seperti lagu; dan saya setuju dengan itu. Tetapi jika kita sedikit menengok Heidegger yang mengatakan bahwa manusia adalah ada yang terlempar di sana (da Sein), maka bisa dikatakan manusia yang hidup adalah ada yang terlempar di sana yakni terlempar dalam sebuah alunan lagu.
Manusia adalah ada yang terlempar dalam sebuah alunan lagu. Ini agak aneh kalau dipikir-pikir. Sebuah lagu, tentu saja kita sudah punya konsep tentangnya. Apa pun itu. Sesuatu yang sudah terkatakan menandakan bahwa sesuatu itu sudah ada konsep tentangnya di kepala kita. Jika demikian, hidup sebagai sebuah lagu, justru membunuh konsep da Sein, keterlemparan di sana tanpa tahu apa itu di sana. Atau mungkin lagu ini dipahami sebagai sesuatu yang tak kita ketahui sama sekali? Mungkin lagu ada baiknya kita tulis demikian; "lagu". "lagu" adalah sesuatu yang pasti mempunyai kesinambungannya dari awal, sekarang, dan nantinya. Kepastian tentang kesinambungan ini malah membuat kita menerima apa saja yang terjadi; toh itu adalah sesuatu yang niscaya karena ia berkesinambungan dari yang kemarin dan pastinya yang sekarang menyambung pada yang akan datang.
Hem, agak merepotkan catatan ini. Tetapi begitulah. Hidup sebagai "lagu". Tetapi, ada baiknya pula ketersinambungannya kita beri kurung pula di kepala kita. Sebab itu memberikan harapan tertentu; misalnya juga harapan akan datangnya sang mesias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar