Kita kerap mendengar pepatah lama;
tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya demi selamat hidupmu. Tentu pepatah itu
merujuk pada pengertian ilmu pengetahuan secara luas; bukan sekadar ilmu dalam
pengertian science. Namun kata ilmu
di pepatah tersebut bisa juga kita pahami sebagai science. Dengan demikian kita bisa memparafrasekan kembali pepatah
di atas; pahamilah science sebanyak-banyaknya,
sedalam-dalamnya agar hidup manusia bisa lebih selamat dan bisa menuju taraf
yang lebih baik. Dengan menggunakan pepatah lama ini kita sudah menemukan
pemahaman tujuan science bagi
manusia; science adalah alat untuk
menjadikan hidup manusia menjadi lebih baik.
Tentu saja jawaban sederhana ini perlu kita refleksikan
lebih jauh. Pertanyaan selanjutnya yang muncul dari jawaban tersebut adalah
seperti apakah hidup manusia itu sehingga ia butuh science untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik? Sejak era para
pemikir alam dari Yunani, manusia sudah sadar bahwa ia tidak hidup sendirian
saja. Manusia hidup bersama dan dimungkinkan oleh segala hal yang ada di
sekitar dirinya; entah entitas biotis mau pun non biotis. Refleksi tentang
kehidupan manusia berhubungan erat dengan segala sesuatu yang ada di semesta
ini bertahan sejak era Yunani Kuno hingga saat ini. Tentu dengan beragam
variasinya. Setidaknya, penulis belum menemukan pendapat yang menafikan hal
tersebut secara total.
***
Kesadaran akan hal itu
semakin mengemuka di era ini ketika lingkungan hidup mulai mengalami kerusakan
yang parah. Kerusakan lingkungan yang parah ini membuat manusia was-was akan
keberlangsungan hidupnya sendiri. Karena manusia hidup tidak bisa tidak selalu
dalam hubungan dan bersama dengan segala entitas yang ada di alam semesta ini,
maka kerusakan entitas-entitas itu sedikit banyak akan menimpa kehidupan
manusia.
Saya rasa apa yang
digambarkan Arne Naess benar adanya. Menurutnya, segala hal di alam semesta ini
punya makna yang sama pentingnya dalam rangka menyumbang pada keberlangsungan
alam semesta itu sendiri. Segala makhluk, entah biotis mau pun abiotis sama-sama
menyusun kehidupan di alam semesta ini. Posisi semua makhluk itu sama dan
sederajat; alam semesta akan ‘terguncang’ jika satu saja di antaranya tidak
ada. Kita tentu tidak berniat masuk lebih jauh pada perihal ekologis. Yang
hendak ditekankan di sini adalah posisi manusia di tengah segala macam makhluk,
segala macam hal di alam semesta ini.
Baiklah, kita sedikit
banyak sudah menemukan bagaimana posisi manusia dan segala hal lain di alam
semesta ini. Manusia hidup sebagai interaksi dengan segala hal yang ada di
sekitarnya, yang disadari keberadaannya oleh manusia itu sendiri mau pun yang
tidak disadari oleh manusia sendiri. Di dalam kaitannya dengan keberadaan
manusia yang demikian di tengah alam semesta, pertanyaan selanjutnya yang
muncul adalah bagaimana cara manusia hidup di tengah hubungannya dengan segala
sesuatu yang ada di alam semesta itu?
***
Manusia, dalam sebuah
lingkar saling membutuhkan dan saling menunjang dengan antara segala hal yang
ada di alam semesta itu, hidup dari dan oleh alam semesta itu sendiri. Secara
jelas manusia butuh bernafas untuk bisa hidup, dsb. Lebih jauh lagi manusia
butuh mengolah segala hal yang ada di alam semesta ini menjadi segala hal yang
dibutuhkannya untuk hidup. Di sini, saya menggunakan perspektif Marxisme bahwa
manusia butuh bekerja untuk mengolah alam untuk keberlangsungan hidupnya. Yang
terutama dalam hidup manusia—dengan tentu saja menyadari hidupnya sebagai buah
dan ditunjang oleh segala hal di alam semesta ini—adalah kerja. Dari kerja
inilah muncul teknologi, ilmu pengetahuan dalam arti luas, dan ilmu pengetahuan
dalam arti science.
Dengan demikian, kita
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa bagaimana pun juga science adalah hasil dari kerja manusia. Namun kerja yang
bagaimana? Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kerja adalah usaha manusia untuk
mengolah segala macam hal yang ada di alam semesta demi keberangsungan
hidupnya. Dengan demikian, science selalu
berurusan dengan apa-apa yang ada di alam semesta ini. Bagaimana posisi adanya
segala sesuatu di alam semesta itu yang menjadi obyek dari science? Menjawab pertanyaan ini hendaknya kita kembali pada apa
yang sudah dikatakan di atas bahwa manusia hidup bersama dan ditunjang oleh
segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Manusia tidak menciptakan segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini atau segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini tidak bergantung pada manusia.
Science
dengan
demikian berurusan dengan hal-hal, kenyataan real alam semesta, yang tidak
bergantung pada manusia. Tetapi seiring semakin kompleks kehidupan manusia,
manusia perlu tahu hal-hal tersebut. Hal-hal yang ada secara obyektif di alam
tersebut. Tentu saja ini adalah posisi realisme. Dengan demikian kita bisa
dikatakan bahwa science bertugas
untuk memaparkan corak real dunia. Meski pun ilmu punya independensi, pada
titik awalnya ilmu berfungsi sebagai ‘alat kerja’ manusia. Yakni membuka
tabir-tabir keadaan obyektif alam semesta untuk diketahui manusia untuk
selanjutnya ditanggapi demi kehidupannya yang lebih baik. Karena hidup manusia
selalu bergantung dengan alam semesta tentu saja pengetahuan akan alam obyektif
yang diungkapkan melalui science
perlu ditanggapi dengan sebijak sana mungkin.
***
Kembali
pada pepatah yang diutarakan di awal tulisan ini bahwa ilmu pengetahuan
berfungsi untuk membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Hidup manusia adalah
hidup yang dimungkinkan dan ditunjang oleh segala isi alam semesta; manusia
tidak lebih hebat dan tidak lebih tinggi posisinya dalam hal kebutuhannya akan
hidup di tengah alam semesta. Satu hal yang membedakan manusia, sejauh ini
dengan makhluk lainnya, adalah kemampuannya untuk bekerja. Kerja itu sendiri
pun bukan tercipta lantaran independensi manusia dari alam semesta, melainkan
memang cara ia menghadapi alam semesta demi hidupnya itu sendiri. Kerja manusia
ini berkembang dari bentuk yang paling sederhana menuju ke bentuk yang paling
abstrak. Bentuk-bentuk kerja ini berdialektika seiring sejalan dengan
perkembangan hidup manusia dari yang sederhana menuju ke bentuk kehidupan yang
lebih kompleks. Tantangan-tantangan hidupnya pun berkembang sedemikian rupa.
*Tulisan dari sebuah kuliah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar