Rabu, 16 Desember 2015

SCIENCE SEBAGAI ALAT KERJA MANUSIA

Kita kerap mendengar pepatah lama; tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya demi selamat hidupmu. Tentu pepatah itu merujuk pada pengertian ilmu pengetahuan secara luas; bukan sekadar ilmu dalam pengertian science. Namun kata ilmu di pepatah tersebut bisa juga kita pahami sebagai science. Dengan demikian kita bisa memparafrasekan kembali pepatah di atas; pahamilah science sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya agar hidup manusia bisa lebih selamat dan bisa menuju taraf yang lebih baik. Dengan menggunakan pepatah lama ini kita sudah menemukan pemahaman tujuan science bagi manusia; science adalah alat untuk menjadikan hidup manusia menjadi lebih baik.
   
Tentu saja jawaban sederhana ini perlu kita refleksikan lebih jauh. Pertanyaan selanjutnya yang muncul dari jawaban tersebut adalah seperti apakah hidup manusia itu sehingga ia butuh science untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik? Sejak era para pemikir alam dari Yunani, manusia sudah sadar bahwa ia tidak hidup sendirian saja. Manusia hidup bersama dan dimungkinkan oleh segala hal yang ada di sekitar dirinya; entah entitas biotis mau pun non biotis. Refleksi tentang kehidupan manusia berhubungan erat dengan segala sesuatu yang ada di semesta ini bertahan sejak era Yunani Kuno hingga saat ini. Tentu dengan beragam variasinya. Setidaknya, penulis belum menemukan pendapat yang menafikan hal tersebut secara total.

***

Kesadaran akan hal itu semakin mengemuka di era ini ketika lingkungan hidup mulai mengalami kerusakan yang parah. Kerusakan lingkungan yang parah ini membuat manusia was-was akan keberlangsungan hidupnya sendiri. Karena manusia hidup tidak bisa tidak selalu dalam hubungan dan bersama dengan segala entitas yang ada di alam semesta ini, maka kerusakan entitas-entitas itu sedikit banyak akan menimpa kehidupan manusia.

Saya rasa apa yang digambarkan Arne Naess benar adanya. Menurutnya, segala hal di alam semesta ini punya makna yang sama pentingnya dalam rangka menyumbang pada keberlangsungan alam semesta itu sendiri. Segala makhluk, entah biotis mau pun abiotis sama-sama menyusun kehidupan di alam semesta ini. Posisi semua makhluk itu sama dan sederajat; alam semesta akan ‘terguncang’ jika satu saja di antaranya tidak ada. Kita tentu tidak berniat masuk lebih jauh pada perihal ekologis. Yang hendak ditekankan di sini adalah posisi manusia di tengah segala macam makhluk, segala macam hal di alam semesta ini.

Baiklah, kita sedikit banyak sudah menemukan bagaimana posisi manusia dan segala hal lain di alam semesta ini. Manusia hidup sebagai interaksi dengan segala hal yang ada di sekitarnya, yang disadari keberadaannya oleh manusia itu sendiri mau pun yang tidak disadari oleh manusia sendiri. Di dalam kaitannya dengan keberadaan manusia yang demikian di tengah alam semesta, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana cara manusia hidup di tengah hubungannya dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta itu?

***

Manusia, dalam sebuah lingkar saling membutuhkan dan saling menunjang dengan antara segala hal yang ada di alam semesta itu, hidup dari dan oleh alam semesta itu sendiri. Secara jelas manusia butuh bernafas untuk bisa hidup, dsb. Lebih jauh lagi manusia butuh mengolah segala hal yang ada di alam semesta ini menjadi segala hal yang dibutuhkannya untuk hidup. Di sini, saya menggunakan perspektif Marxisme bahwa manusia butuh bekerja untuk mengolah alam untuk keberlangsungan hidupnya. Yang terutama dalam hidup manusia—dengan tentu saja menyadari hidupnya sebagai buah dan ditunjang oleh segala hal di alam semesta ini—adalah kerja. Dari kerja inilah muncul teknologi, ilmu pengetahuan dalam arti luas, dan ilmu pengetahuan dalam arti science.

Dengan demikian, kita sampai pada sebuah kesimpulan bahwa bagaimana pun juga science adalah hasil dari kerja manusia. Namun kerja yang bagaimana? Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kerja adalah usaha manusia untuk mengolah segala macam hal yang ada di alam semesta demi keberangsungan hidupnya. Dengan demikian, science selalu berurusan dengan apa-apa yang ada di alam semesta ini. Bagaimana posisi adanya segala sesuatu di alam semesta itu yang menjadi obyek dari science? Menjawab pertanyaan ini hendaknya kita kembali pada apa yang sudah dikatakan di atas bahwa manusia hidup bersama dan ditunjang oleh segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Manusia tidak menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini atau segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak bergantung pada manusia.

Science dengan demikian berurusan dengan hal-hal, kenyataan real alam semesta, yang tidak bergantung pada manusia. Tetapi seiring semakin kompleks kehidupan manusia, manusia perlu tahu hal-hal tersebut. Hal-hal yang ada secara obyektif di alam tersebut. Tentu saja ini adalah posisi realisme. Dengan demikian kita bisa dikatakan bahwa science bertugas untuk memaparkan corak real dunia. Meski pun ilmu punya independensi, pada titik awalnya ilmu berfungsi sebagai ‘alat kerja’ manusia. Yakni membuka tabir-tabir keadaan obyektif alam semesta untuk diketahui manusia untuk selanjutnya ditanggapi demi kehidupannya yang lebih baik. Karena hidup manusia selalu bergantung dengan alam semesta tentu saja pengetahuan akan alam obyektif yang diungkapkan melalui science perlu ditanggapi dengan sebijak sana mungkin.    
***

Kembali pada pepatah yang diutarakan di awal tulisan ini bahwa ilmu pengetahuan berfungsi untuk membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Hidup manusia adalah hidup yang dimungkinkan dan ditunjang oleh segala isi alam semesta; manusia tidak lebih hebat dan tidak lebih tinggi posisinya dalam hal kebutuhannya akan hidup di tengah alam semesta. Satu hal yang membedakan manusia, sejauh ini dengan makhluk lainnya, adalah kemampuannya untuk bekerja. Kerja itu sendiri pun bukan tercipta lantaran independensi manusia dari alam semesta, melainkan memang cara ia menghadapi alam semesta demi hidupnya itu sendiri. Kerja manusia ini berkembang dari bentuk yang paling sederhana menuju ke bentuk yang paling abstrak. Bentuk-bentuk kerja ini berdialektika seiring sejalan dengan perkembangan hidup manusia dari yang sederhana menuju ke bentuk kehidupan yang lebih kompleks. Tantangan-tantangan hidupnya pun berkembang sedemikian rupa.

Pada rentang perkembangan inilah science muncul. Science dengan demikian adalah bentuk dari kerja manusia. Tujuan science, demi membuat hidup manusia menjadi lebih baik tersebut, adalah memaparkan pada manusia keadaan real obyektif alam semesta yang adalah sumber kehidupan manusia. Science dengan demikian, dari perspektif yang demikian, bisa dikatakan sebagai alat kerja manusia menghadapi sebuah obyek-obyek real di alam semesta. Science bertujuan untuk memaparkan obyek-obyek real tersebut agar manusia bisa berhadapan dengannya demi hidup manusia itu sendiri. Tentu sebuah kehidupan yang juga tetap di dalam keterjagaan bahwa manusia selalu membutuhkan alam semesta dan alam semesta membutuhkan manusia demi kelestarian keduanya.

*Tulisan dari sebuah kuliah.

Tidak ada komentar: