Sabtu, 10 Agustus 2013

DARI RANGGA HINGGA JOHN (?)

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu ....
(Toto Sudarto Bachtiar, "Ibukota Senja")

Pemuda gondrong itu tengah berjalan-jalan di Kwitang dengan menenteng sebuah buku bersampul abu-abu dengan wajah lelaki yang tengah merokok, wajah penyair Chairil Anwar. Ya benar, saya tengah berkisah tentang film AADC. Khabarnya, sukses film ini di bioskop-bioskop Jakarta diikuti dengan gandrungnya remaja SMA waktu itu pada buku yang sama dengan yang dibawah Rangga itu. Namun bukan itu maksud utama umbaran ini. Hanya saja, Si Rangga itulah yang mengingatkan pada penyair yang sajaknya sudah ubanan dan bercucu / di perut Ida (“Kepada Penyair Mati Muda”, Sitor Situmorang).
Di daerah Kwitang yang dua hari lalu saya jambangi demi mencari KBBI bajakan inilah, mungkin Chairil bertemu Ida, Tuti Artic, Ina Mia, Gadis Rasyid, Ria atau perempuan lainnya lagi, mungkin sampai dia terkena syphilis. Atau mungkin di Kwitang atau pun sekitar Pasar Senen itu Chairil pernah pada suatu malam di tahun 1949 berdiri ketakutan di antara banyak orang yang samasama tengah menanti trem dari arah Kota, Chairil berdiri dengan resahnya, dengan takutnya akan syphilis, kusta dan juga bom atom. Simak dalam puisinya “Aku Berkisar Antara Mereka” yang saya kutip sebagian ini; ... Hudjan menimpa. Kami tunggu trém dari Kota / Ah hati kami dalam malam ada do’a / Bagi jang batja tulisan tanganku dalam tjinta meréka / Semoga segala syphilis dan segala kusta / (sedikit lagi bertambag derita bom atom pula) /... Mungkin saat itulah tanda-tanda maut mulai datang pada penyair yang suka berkeliaran di Senen ini, sehingga ramalannya sendiri menjadi kenyataan; ...malam tambah merasuk, rimba djadi semati tugu./ / di Karét di Karét (daerahku j.a.d.) sampai djuga deru / angin/ /aku berbenah dalam kamar, dalam diriku djika kau da-/tang... (“Yang Terhempas dan Yang Luput”).
***
Seberapa penting membincangkan keterkaitan sebuah puisi dengan tempat di mana puisi itu lahir atau dengan tempat di mana puisi itu bercerita? Dalam pengantar buku Tempat-tempat Imajiner karya Michael Pearson edisi Bahasa Indonesia, Budi Darma menulis demikian, “suatu lingkungan dapat menjadi penting bukan karena lingkungan itu memang penting, tapi karena seorang pengarang pernah tinggal di situ”. Beranjak dari pernyataan Budi Darma di atas, maka menjadi sangat pentinglah kota Jakarta ini dalam perjalanan sastra Indonesia, tentu dengan tidak menutup mata pada pentingnya kota-kota lain. Tentang menentukannya Jakarta dalam perjalanan sastra Indonesia ini memang sebuah lagu lama, seberdebu tegangan antara pusat dan pinggiran; di satu sisi tak adil terlalu terpaku dan terpesona dengan pusat, di sisi lain pusat tetap menyedot dengan pesonanya yang tanpa sadar menarik segala ke dalam titik pusarannya.
Pada pengantar buku Djakarta Dalam Puisi Indonesia, Adjip Rosidi berujar; banyak orang atau anak muda yang datang ke Jakarta tidak dengan niat menjadi pengarang atau pun penyair. Namun di kota inilah ia menemukan minatnya di dunia seni dan mendedikasikan hidupnya untuk seni itu.
Entah benar atau tidak pernyataan Ajip Rosidi ini, tak perlu kita perdebatkan benar. Nyatanya, Jakarta memang menjadi tempat lahirnya begitu banyak puisi dan banyak puisi telah bercerita tentang Jakarta. Mungkin, di saat kita tengah berjalan-jalan di sekitar kota ini, kita akan berpapasan dengan seseorang yang tengah merenung, mencorat-coret, dan mungkin yang dicorat-coretnya itu adalah sebuah puisi yang suatu ketika menjadi pepatah milik publik seumpama kalimat... aku ingin mencintaimu dengan sederhana-nya Sapardi atau puisi sejuta umat seperti ...aku binatang jalang dari kumpulan yang terbuang-nya Chairil atau kalimat penuh makna...siapa menabur angin dia akan menuai badainya (kalau tak salah) Subagio Sastrowardoyo?
Tidak kebetulan bila tiga nama yang kita temukan di atas, akrab dengan kota ini. Mereka melahirkan kalimat-kalimat penuh makna itu dalam pergumulannya dengan hidup di kota ini. Saya jadi teringat kata-kata Lance Castles, di Jakarta Tuhan menciptakan orang Indonesia. Siapakah orang Indonesia yang diciptakan Tuhan di Jakarta itu?
Dalam pengembaraan puisi tentang dan di kota ini, saya menemukan empat larik menarik dari Sitor Situmorang; Jakarta, di sana aku hidup / dan kerja- / Tiap menunggu bus, aku melihat / ia yang serupa dengan saya! (“Puisi Herinneringen”). Penyair tua yang kini berdomisili di Belanda itu kerap menyebut diri dan disebut sebagai Si Anak Hilang, anak yang telah meninggalkan kampung halaman dan hampir lupa realitas kampungnya. Yang tertinggal hanya kenangan dan nostalgia lama.
Mungkin benar. Di sini semua orang serupa. Mungkin benar, di Jakarta berkumpul para ‘Anak Hilang’ dari seluruh nusantara. Mereka berjuang, mengejar hidup, memimpikan Indonesia, sekaligus semakin menjadi anak hilang. Maka, saya dan anda adalah anak hilang, orang Indonesia yang diciptakan Tuhan itu.
Tapi ingat;...Jakarta, ini Jakarta John (?)... Jakarta, ini Jakarta... (Eka Budianta).


*tulisan di rubrik “coratcoret”, Pendar Pena, Nomor. 07 / Tahun I / Juni 2008

Tidak ada komentar: