Gedung-gedung
dan kepala mengabur dalam senja
O,
kota kekasih
Tekankan
aku pada pusat hatimu ....
(Toto Sudarto Bachtiar, "Ibukota Senja")
Pemuda gondrong itu tengah berjalan-jalan di Kwitang
dengan menenteng sebuah buku bersampul abu-abu dengan wajah lelaki yang tengah
merokok, wajah penyair Chairil Anwar. Ya benar, saya tengah berkisah tentang
film AADC. Khabarnya, sukses film ini di bioskop-bioskop Jakarta diikuti dengan
gandrungnya remaja SMA waktu itu pada buku yang sama dengan yang dibawah Rangga
itu. Namun bukan itu maksud utama umbaran ini. Hanya saja, Si Rangga itulah
yang mengingatkan pada penyair yang sajaknya sudah ubanan dan bercucu / di
perut Ida (“Kepada Penyair Mati Muda”, Sitor Situmorang).
Di daerah Kwitang yang dua hari lalu saya jambangi
demi mencari KBBI bajakan inilah, mungkin Chairil bertemu Ida, Tuti Artic, Ina
Mia, Gadis Rasyid, Ria atau perempuan lainnya lagi, mungkin sampai dia terkena
syphilis. Atau mungkin di Kwitang atau pun sekitar Pasar Senen itu Chairil
pernah pada suatu malam di tahun 1949 berdiri ketakutan di antara banyak orang
yang samasama tengah menanti trem dari arah Kota, Chairil berdiri dengan
resahnya, dengan takutnya akan syphilis, kusta dan juga bom atom. Simak dalam
puisinya “Aku Berkisar Antara Mereka”
yang saya kutip sebagian ini; ... Hudjan menimpa. Kami tunggu
trém dari Kota / Ah hati kami dalam malam ada do’a / Bagi jang batja tulisan
tanganku dalam tjinta meréka / Semoga segala syphilis dan segala kusta /
(sedikit lagi bertambag derita bom atom pula) /... Mungkin saat itulah
tanda-tanda maut mulai datang pada penyair yang suka berkeliaran di Senen ini,
sehingga ramalannya sendiri menjadi kenyataan; ...malam tambah merasuk,
rimba djadi semati tugu./ / di Karét di Karét (daerahku j.a.d.) sampai djuga
deru / angin/ /aku berbenah dalam kamar, dalam diriku djika kau da-/tang... (“Yang
Terhempas dan Yang Luput”).
***
Seberapa penting membincangkan keterkaitan sebuah
puisi dengan tempat di mana puisi itu lahir atau dengan tempat di mana puisi
itu bercerita? Dalam pengantar buku Tempat-tempat Imajiner karya Michael Pearson edisi Bahasa
Indonesia, Budi Darma menulis demikian, “suatu lingkungan dapat menjadi penting
bukan karena lingkungan itu memang penting, tapi karena seorang pengarang
pernah tinggal di situ”. Beranjak dari pernyataan Budi Darma di atas, maka
menjadi sangat pentinglah kota Jakarta ini dalam perjalanan sastra Indonesia,
tentu dengan tidak menutup mata pada pentingnya kota-kota lain. Tentang menentukannya
Jakarta dalam perjalanan sastra Indonesia ini memang sebuah lagu lama,
seberdebu tegangan antara pusat dan pinggiran; di satu sisi tak adil terlalu
terpaku dan terpesona dengan pusat, di sisi lain pusat tetap menyedot dengan
pesonanya yang tanpa sadar menarik segala ke dalam titik pusarannya.
Pada pengantar buku Djakarta Dalam Puisi
Indonesia, Adjip Rosidi berujar; banyak orang atau anak muda yang datang ke
Jakarta tidak dengan niat menjadi pengarang atau pun penyair. Namun di kota
inilah ia menemukan minatnya di dunia seni dan mendedikasikan hidupnya untuk
seni itu.
Entah benar atau tidak pernyataan Ajip Rosidi ini,
tak perlu kita perdebatkan benar. Nyatanya, Jakarta memang menjadi tempat
lahirnya begitu banyak puisi dan banyak puisi telah bercerita tentang Jakarta.
Mungkin, di saat kita tengah berjalan-jalan di sekitar kota ini, kita akan
berpapasan dengan seseorang yang tengah merenung, mencorat-coret, dan mungkin
yang dicorat-coretnya itu adalah sebuah puisi yang suatu ketika menjadi pepatah
milik publik seumpama kalimat... aku ingin mencintaimu dengan sederhana-nya
Sapardi atau puisi sejuta umat seperti ...aku binatang jalang dari kumpulan
yang terbuang-nya Chairil atau kalimat penuh makna...siapa menabur angin
dia akan menuai badainya (kalau tak salah) Subagio Sastrowardoyo?
Tidak kebetulan bila tiga nama yang kita temukan di
atas, akrab dengan kota ini. Mereka melahirkan kalimat-kalimat penuh makna itu
dalam pergumulannya dengan hidup di kota ini. Saya jadi teringat kata-kata
Lance Castles, di Jakarta Tuhan menciptakan orang Indonesia. Siapakah orang
Indonesia yang diciptakan Tuhan di Jakarta itu?
Dalam pengembaraan puisi tentang dan di kota ini,
saya menemukan empat larik menarik dari Sitor Situmorang; Jakarta, di sana
aku hidup / dan kerja- / Tiap menunggu bus, aku melihat / ia yang serupa dengan
saya! (“Puisi Herinneringen”).
Penyair tua yang kini berdomisili di Belanda itu kerap menyebut diri dan
disebut sebagai Si Anak Hilang, anak yang telah meninggalkan kampung halaman
dan hampir lupa realitas kampungnya. Yang tertinggal hanya kenangan dan
nostalgia lama.
Mungkin benar. Di sini semua orang serupa. Mungkin
benar, di Jakarta berkumpul para ‘Anak Hilang’ dari seluruh nusantara. Mereka
berjuang, mengejar hidup, memimpikan Indonesia, sekaligus semakin menjadi anak
hilang. Maka, saya dan anda adalah anak hilang, orang Indonesia yang diciptakan
Tuhan itu.
Tapi ingat;...Jakarta,
ini Jakarta John (?)... Jakarta, ini Jakarta... (Eka Budianta).
*tulisan di rubrik “coratcoret”, Pendar
Pena, Nomor. 07 / Tahun I / Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar