Minggu, 17 Februari 2013

Henry Kecil, Sobat-sobitnya, dan Peta yang Tak Sempurna

Cerpen oleh Berto Tukan

Ketika hembusan angin membuat sebagian serangga yang berdiam di pohon-pohon tua enggan bercengkarama dan bahkan burung-burung dara pun tak mau pergi dari sarangnya, Henry kecil berlari meninggalkan rumahnya. Pedas yang membakar masih terasa di mulutnya. Membakar. Sangat membakar! Henry kecil terus berlari-bergegas. Seakan dengan berlari ia bisa memadamkan api di mulutnya. Seakan dengan berlari, keterbakaran mulutnya bisa tergantikan aroma sejuk pegunungan hijau seperti rasa paper mint. Seakan-akan dengan berlari, api yang membara di mulut, meranggas ke rongga hidung, asapnya memasuki perut, terus membakar mata, dahi, dan rambutnya bisa dipadamkan seketika.

Henry kecil berlari di antara nafas-nafas memburu yang menyeruak dari kamar ayah-ibunya. Henry kecil terus berlari, menjauhi rumahnya. Tak sendirian ia berlari. Ada Susan di sampingnya. Ia memandang Susan yang terengah-engah mengikutinya dari belakang.
“Ayo cepat…. Kita harus mencapai tempat itu sebelum Nenek Bulan memergoki kita. Ayo Susan. Ayo cepat. Kau mau dijadikan pembantu di istana Si Nenek Bulan?”
Henry kecil terus berlari, diajaknya juga Susan berlari cepat. Henry menerjang rerimbunan semak, diinjaknya dua ekor kucing yang tengah main kuda-kudaan.
“Miauuuuuuuw!!!!”
“Awas Susan. Mereka jelmaan penjaga istana Si Nenek Bulan. Injaklah mereka sekali lagi.”
“Ah, kau tak menginjaknya Susan? Baru ingat aku, kau sangat menyayangi kucing. Hati-hati Susan, kita pasti bisa selamat, asalkan kau berlari lebih cepat lagi.”

Selengkapnya dari cerpen ini silah disimak di Jakartabeat

Tidak ada komentar: