Pendahuluan
Filsafat
eksistensi merupakan sebuah cabang yang menarik untuk dilihat. Eksistensi
adalah filsafat yang membahas tentang bagaimana manusia berada.
Setidak-tidaknya filsafat eksistensi atau eksistensialisme dimulai oleh
Kierkegaard dan juga Nietzsche. Namun demikian istiah eksistensialisme sendiri
diperkenalkan oleh Gabriel Marcel pada akir Perang Dunia Kedua. Dan di saat itu
eksistensialisme menjadi sebuah cabang ilmu yang paling dominan.
Setidak-tidaknya dari kata eksistensialisme sendiri ada dua kata kunci yang
penting yaitu essensi dan eksistensi. Banyak pemikir yang bergulat di bidang
eksistensialisme ini. Sebut saja Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Albert Camus.[1]
Terkadang eksistensialisme sendiri lebih disebut dengan eksistensi saja. Hal
ini mungkin karena oleh para filsuf di atas, kata eksistensialisme sendiri tak
pernah dipakai, terkecuali oleh Gabriel Marcel. Bahkan Heidegger sendiri
menolak pelabelan eksistensialisme itu padanya. Demikian juga Merleau-Ponty
mengikuti jejak dari Heidegger.[2]
Sartre sendiri pernah menolak kata eksistensialisme itu, sebagaimana pengakuan
dari de Beauvoir, “Sartre had
refused to allow Gabriel Marcel to apply [the existentialist] adjective to him:
‘My philosophy
is a philosophy of
existence; I don’t even know what Existentialism is’ ”[3].
Meskipun
eksistensi secara luas dianggap baru mulai muncul setelah Perang Dunia II[4],
pemikiran tentang eksistensi sendiri mempunyai akar sejarah yang panjang,
bahkan jauh di masa Sokrates. Socrates memperkenalkan pula filsafat praktis
sebagai bentuk “perhatian pada diri” (epimeleia
heautou). Filsafat jenis ini lebih berkonsentrasi pada
praktek dan bukan pada ide-ide yang abstrak. Dalam dialog Laches misalnya, Laches mengatakan bahwa ia tertarik pada Socrates
bukan pada ajaran-ajarannya melainkan pada hidup Sokrates sendiri.[5]
Filsafat
eksistensi dikenal juga sebagai filsafat individu dan juga berkonsentrasi pada
permasalahan kebebasan. Dengan kata lain, filsafat eksistensi adalah filsafat
tentang subyek. Ada subyek “aku” yang menyadari keberadaan dirinya di dunia. Dengan
demikian eksistensi bisa dilihat dalam dua kata yaitu essence dan existence.
Heidegger memproblematisir lagi subyek ini. Dalam proyek fundamental
ontologinya, Heidegger menemukan apa yang disebutnya sebagai Being dan bagaimana manusia berhadapan
dengan Being itu dan menjadi Dasein. Setelah Heidegger, Sartre muncul
dengan eksistensinya yang juga menjadi model untuk dunia Pasca Perang Dunia II
khususnya di Prancis. Sartre menekankan persoalan dialektika eksistensi dan
ketiadaan yang tertuang dalam buku tebalnya Being
and Nothingness.
Dalam sebuah
tulisannya Toward a New Concept of
Existence Alain Badiou melalui pembahasan atas Heidegger dan Sartre justru
memunculkan pemikiranya tentang eksistensi yang meniadakan peran subyek atau
individu di dalamnya. Alain Badiou memang bukanlah filsuf yang lebih dikenal
dalam ranah eksistensi; ia justru lebih dikenal sebagai pemikir politik dan
Marxis.[6]
Dalam tulisan ini saya akan coba mengurai apa yang dimaksud Badiou dengan
konsep baru eksistensi tersebut. Untuk itu, rujukan utama saya adalah artikel Toward a New Concept of Existence dengan
sesekali merujuk pada beberapa artikel Badiou tentang tema tersebut. Untuk itu
saya akan pertama membahas secara
singkat siapa itu Badiou, lantas kedua saya
akan masuk dalam pembahasan artikelnya Toward
a New Concept of Existence. Dan bagian ketiga
adalah kesimpulan yang didahului dengan beberapa catatan atas artikel
tersebut.
Riwayat
Singkat Alain Badiou[7]
Alain
Badiou lahir di Rabat, Maroko, pada 17 Januari 1937. Ayahnya adalah seorang
wali kota Tolouse (1944-1958) dari kalangan merah. Setelah lulus dari ENS (Ecole
Normale Sepérieure) pada 1962, ia menjadi guru di lycee (sekolah menengah) di Reims dari 1963 – 1968. Badiou mulai
publikasi karyanya sebagai sastrawan dengan penerbitan dua novelnya Almagestes (1964) dan Portulans (1967). Ia juga mulai
mempublikasikan artikel-artkel filsafat dalam kerangka pemikiran Althusserian[8].
Oleh Althusser juga, Badiou pada 1968 memberian ceramah di ENS dalam sebuah
seri kuliah. Ceramah itu pada 1969 diterbitkan sebagai buku dibawah judul Le Concept de modele (Konsep Tentang Model).
Pada
Mei 1968 di Prancis terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Di sinilah
kita mengenal heroisme dan radikalisme Jean-Paul Sartre ketika ia turun dan
berdemonstrasi bersama mahasiswa. Alain Badiou termasuk orang yang ikut juga
dalam aksi massa tersebut.[9]
Ia tergabung dengan organisasi Maois radikal bernama Kesatuan Komunis Muda—Marxis-Leninis. Organisasi ini didirikan pada
1966 dan dibubarkan oleh dekrit presiden pada 1968. Badiou lantas aktif dalam
pembentukan organisasi baru Kesatuan
Komunis Prancis—Marxis-Leninis bersama tokoh-tokoh intelektual kiri lainnya
seperti Sylvain Lazarus dan Natacha Michel. Dia pada waktu itu juga mendapatkan
posisi mengajar di Universitas Paris VIII di Saint-Denis. Universitas ini pada
waktu itu merupakan universitas baru yang didirikan pemerintah yang lantas
menjadi benteng baru mahasiswa kiri Prancis kala itu.
Badiou
terlibat juga dalam perdebatan dengan Deleuze dan Gauttari yang mengedepankan
posisi anarkis dalam buku mereka Anti-Oedipus.
Buku Badiou yang mengartikulasikan posisi Maois-nya tentang subjek
revolusioner muncul pada 1982 dengan judul Teori
Tentang Subyek. Ia kembali bersama Sylvain Lazarus dan Natacha Michel
membentuk organsisasi bernama l’Organisation
Politique setelah organisasi
mereka sebelumnya dibubarkan.
Badiou baru mulai dikenal secara
internasional pada 1988 dengan terbit bukunya L’Être et l’evénement (Ada
dan Peristiwa). Pada 1989 bersama Jacques Derrida, François Lyotard, dll.,
ia mendirikan Collège Internationale de
Philosophie. Pada 1999 ia menjadi professor emeritus di ENS dan di sana ia
mendirikan Pusat Studi Internasional
tentang Filsafat Prancis Kontemporer. Badiou masih aktif
mengajar di sana sampai hari ini.
Sebuah Konsep Baru
Eksistensi[10]
Problem utama
eksistensi menurut Badiou adalah membedakan antara being as such atau being qua
being dengan eksistensi yang oleh
Heidegger dibahasakan sebagai Being (untuk
being as such) dan Dasein (untuk eksistensi). Dimaksudkan di sini adalah problem being as such mengantar Heidegger dalam
proyek filsafatnya untuk menemukan apa yang disebutnya sebagai Being yang olehnya dikatakan sebagai
sudah dilupakan oleh filsafat barat. Sedangkan eksistensi mendapatkan ekspresinya dalam filsafat Heidegger sebagai
Dasein. Kata eksistensi sendiri secara topologis berarti ada di sini, ada di
dunia ini. Badiou pertama-tama ingin menentukan konsep eksistensi dalam keharusannya berpikir tentang dunia, tempat, dan
segala yang bersama kedua hal itu.
Badiou memulai pembahasannya perkara
ini dalam Towards a New Concept of
Existence dengan membahas pemikiran Heidegger. Menurut Badiou melalui
Heidegger kita sudah mendapatkan konsep tentang eksistensi secara terang. Demikian Badiou, “but clearly for Heidegger, Da-sein, and finally, existence, is a name for human being, for historical
destiny of thinking, for crucial and creative experience of the becoming of
being itself”.[11]
Setelah Heidegger, Badiou juga mengangkat pemikiran Sartre yang menurutnya
menunjukan bagaimana pembedaan antara Being
dan eksistensi adalah sebuah konsekuensi dialektis dari
pembedaan antara being dan nothingness. “In
fact, existence is the effect of nothingness within the full and stupid
massiveness of being qua being,” demikian
Badiou.[12]
Berdasarkan pemikiran Heidegger dan Sartre, Badiou menemukan dua hal penting
yang (tersirat maupun tersurat) ada dalam pemikiran mereka yakni perihal
“multiplisitas/kejamakan”—ini dari konse Dasein
Heidegger di mana merujuk pada dunia dan dunia itu ada dalam kondisi
kejamakan—dan dari Sartre ia menemukan konsep “void” atau “himpunan kosong”. Namun di sini, tidak seperti dua
pemikir yang dirujuknya, Badiou beranggapan bahwa kedua konsep di atas tidak
sama sekali berhubungan dengan ide seperti subyek
atau kebebasan.
“Kejamakan” dan “himpunan kosong” merupakan konsep-konsep
penting dalam filsafat Badiou. “Kejamakan” dalam pemikiran Badiou dibagi
menjadi dua yakni “kejamakan inkonsistensi” dan “kejamakan konsisten”. Yang
dimaksud dengan “kejamakan inkonsistensi” adalah kejamakan yang mendasari
setiap situasi yang belum dihitung sebagai kumpulan satuan atau presentasi murni. Sedangkan “kejamakan
konsisten” adalah kejamakan yang sudah dihitung sebagai kumpulan satuan atau presentasi. Sedangkan “himpunan kosong”
adalah himpunan yang direpresentasikan secara universal dalam setiap himpunan.
Sebagai kekosongan ia berada pada
aras presentasi murni yang melandasi situasi. Sebagai himpunan kosong ia berada pada aras representasi universal yang
terdapat dalam semua himpunan. Ia menjadi yang kedua karena ia pada dasarnya
adalah yang pertama—artinya, ia menjadi direpresentasian secara universal dalam
setiap himpunan persis karena ia tak terhitung, tetapi tinggal implisit atau
laten, dalam setiap situasi[13].
Selanjutnya,
melalui konsep Kant Badiou menyimpulkan eksistensi sebagai suatu seperti
tingkatan tertentu dan juga intensitas dari being-there
atau being-in-the-world. Badiou
juga mengambil pemikiran Hegel yakni eksistensi dipikirkan sebagai gerakan dari
pure being menuju being-there atau dari essensi menuju
fenomena. Namun Badiou tidak
memasukan subyek transcendental dalam konsep ini[14].
Setelah meneliti
dan melihat hal-hal penting dalam Heidegger, Sartre, Kant, mau pun Hegel,
Badiou lantas mengajukan tiga hal pokok perihal eksistensi yakni pertama secara ontologis, apa konsep
tentang being qua being yang
jawabannya adalah multiplisitas atau kejamakan. Kedua apa itu being-there
yang jawabannya adalah wilayah transcendental yang tanpa subyek. Dan ketiga adalah pertanyaan apa itu
eksistensi yang jawabannya adalah “…... derajat identitas dari sesuatu untuk dirinya sendiri di dunia adalah eksistensinya di dunia ini."[15]
Selanjutnya
Badiou memprolematisir thing.
Baginya, thing bukanlah obyek. Thing yang harus dipikirkan adalah
keberadaannya sebelum ia terobyektifikasikan dalam dunia. Thing seperti apakah itu? The
Thing atau das Ding atau das Ur-Ding
adalah “…form of being which certainly is
after the indifference of nothingness, but also before the qualitative
difference object.”[16]
Jadi, thing selalu merupakan basis
pra-obyektif dari obyektifitas. Apa itu basis pra-obyektif dari obyektifitas? Tak
lain dan tak bukan dalam pemikiran Badiou adalah kejamakan atau multiplisitas.
Multiplisitas-lah yang mendasari
segala peristiwa. Dan bentuk paling primordial dari multiplisitas ini adalah mltiplisitas
tanpa multiplisitas sama sekali.
Jadi bisa dikatakan thing tanpa thing sama sekali atau keadaan void/kekosongan.
Thing
sendiri punya dua hukum menjadi yakni sebagai multilisitas yang asli (atau
sebagai Thing) yang secara sains
berada dalam tataran ontology matematika dan kedua adalah untuk ada-di-sana
sebagai kemunculan (atau sebagai obyek) yang secara sains adalah logika
fenomeologi. Dua distingsi ini didapatkan dari kategori yang dibuat Kant.
Setelah menguraikan dua hal itu, Badiou menyimpulkan demikian, “…Existence is a general category of the logic
of appearance, and we can talk about existence completely apart from any
consideration about subjectivity”.[17]
Multiplisitas
haruslah mempunyai struktur tertentu untuk bisa menjadi obyek atau untk bisa
ada-di-dunia. Mari kita ingat lagi dua distingsi tentang “kejamakan konsisten”
dan “kejamakan inkonsisten”. Maka bisa dikatakan bahwa thing ada dalam wilayah “kejamakan inkonsisten” dan obyek ada dalam
“kejamakan konsisten”. Dengan demikian eksistensi adalah nama dari nilai fungsi
identitas ketika ia diterapkan pada unsur yang satu dan sama.
Jadi, eksistensi adalah cara menjadi
ada-di-dunia dari thing. Eksistensi
ada di tataran “kejamakan konsisten” yang mana thing itu terpresentasikan secara pasti dengan kategori-kategori
tertentu, atau ia adalah identitas dengan unsur-unsur penentu yang sama. Sedangkan
thing sendiri ada pada “kejamakan
inkonsisten” yang berpresentasi murni. Sedangkan “kejamakan konsisten” dan
“kejamakan inkonsisten” ini ada dalam wadah “himpunan kosong”. Dengan demikian,
setiap obyek pada saat yang bersamaan juga adalah thing dan thing bisa pada
saat yang bersamaan adalah obyek.
Eksistensi yang membuat thing menjadi
obyek bergerak dalam sebuah situasi[18].
Badiou menutup uraiannya denga
sebuah contoh dari pertanyaan tentang kematian. Kematian kita tahu adalah
sebuah konsep yang menjadi konsentrasi pula untuk Heidegger dan juga Sartre. Sesuatu
dikatakan mati apabila, menurut Badiou, di dalam dunia dengan referensi (atau
di dalam “kejamakan konsisten”) tingkat eksistensinya menjadi minimal atau ketika
ia “inexists” di dunia. Kematian dengan demikian bukan soal “inexists” karena
kematian merupakan wacana yang dimulai dari eksistensi yang mana adalah sebuah
tingkatan dari keberadaan itu. Atau kematian lebih cocok dikatakan sebagai
menurunnya derajak keeksistensian.
Melalui pendasaran soal multiplisitas tadi kematian dipandang
sebagai perubahan identitas kejamakan tertentu. Kita harus ingat, bahwa bagi
Badiou dalam konsep ini eksistensi bukanlah perkara subyektifitas atau
kesadaran seperti yang ditekankannya ketika mengambil ide ada-menjadi dari
Heidegger sebelumnya. Jadi eksistensi baginya bukanlah sesuatu yang bersifat
subyektif tetapi eksistensi adalah ketersituasian tertentu dengan struktur
presentasi tertentu dari thing dalam
sebuah kekosongan yang melandasi situasi. Jadi menurunnya derajat keeksistensian
ini bukanlah menurunnya derajat seorang individu melainkan menurunnya derajat
dalam sebuah multiplisitas yang
konsisten. Dengan demikian eksistensi bukanlah sebuah ada dari diri tetapi
keseluruhan dari multiplisitas konsisten ke multiplisitas
inkonsisten yang selalu berada dalam sebuah situasi tertentu.
Badiou menutup pembahasannya dengan
kalimat demikian[19]:
The philosophy of death is
included in one sentence: Do not be afraid by the logic of a world, or by the
games of existence. We are living and dying in many different worlds.
Penutup
Demikianlah,
eksistensi bagi Alain Badiou bukanlah sebuah filsafat mengenai subyek atau yang
bersifat subyektif. Melalui penalaran bahwa dunia adalah multiplisitas inkonsisten dan eksistensi adalah cara dari thing yang bukan obyek melainkan
pra-obyektifikasi dari obyek menjadi obyek
yakni thing yang berada dalam situasi
dan struktur tertentu atau dengan kata lain thing
menjadi obyek ketika ia berada
dalam multiplisitas konsisten. Dengan
demikian eksistensi adalah sesuatu yang pasti dari thing itu.
Eksistensi dengan demikian oleh Badiou
menjadi bukanlah lagi sebuah pemikiran tentang aku-ego melainkan sebua filsafat
yang berpikir tentang keseluruhan Ada, keseluruhan dunia, atau keseluruhan multiplisitas ikonsisten. Eksistensi
juga tak dilihat sebagai pembeda-bedaan antara 8subyek dan obyek, diri dan di
luar diri, melainkan eksistensi dilihat sebagai cara berada pada situasi
tertentu dan bisa jadi eksistensi berubah dalam cara berada dalam situasi yang
lainnya. Namun keuniversalan yang menyatukan setiap eksistensi dengan
eksistensi lainnya dalam setiap situasi dengan situasi lainnya adalah kekosongan yang melandasai semua situasi dengan demiian memungkinkan
setiap eksistensi.
Pemikiran
Badiou ini membawa pada imortalitas ide yang mana tersirat dalam apa yang
dikatakannya tentang kematian bahwa jangan takut pada kematian karena kita mati
dan hidup di banyak dunia yang berbeda.***
Daftar
Bacaan
Badiou, Alain, 2007, “Towards a New Concept of
Existence” dalam Jurnal Lacanian Ink,
Volume 29.
Bunnin, Nicholas dan Jiyuan Yu, 2004, The Blackwell Dictionary of Western
Philosophy, The Blackwell Dictionary
of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing).
Flynn, Thomas
R., 2006, Existentialism: A Very Short
Introduction, (New York: Oxford University Press Inc.)
Michelman, Stephen, 2008, Historical Dictionary of Existentialism, (Plymouth: The Scarecrow
Press, Inc.).
Reynolds, Jack, 2006, Understanding Existentialism, (Chesham: Acumen Publishing Limited).
Suryajaya, Martin. 2011. Alain
Badiou dan Masa Depan Marxisme, (Yogyakarta: Resist Book).
[1] Nicholas Bunnin dan
Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of
Western Philosophy, The Blackwell
Dictionary of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria: Blackwell
Publishing), 2004, hal. 238-239.
[2] Jack Reynolds, Understanding Existentialism, (Chesham:
Acumen Publishing Limited), 2006, hal. 3.
[3]
Stephen Michelman, Historical Dictionary
of Existentialism, (Plymouth: The Scarecrow Press, Inc.), 2008, hal. 13.
[4]
Eksistensialisme sendiri pasca Perang Dunia II bukan hanya sebuah aliran
filsafat semata, ia juga menjadi sebuah gerakan budaya, bisa juga dianggap
sebagai gaya hidup. Tentang gaya hidup ini bisa dikenai pada gaya Jean-Paul
Sartre dan Simone de Beauvoir yang menekankan kemerdekaan. “Existentialism is commonly associated
with Left-Bank Parisian cafes and the ‘family’ of philosophers Jean-Paul Sartre
and Simone de Beauvoir who gathered there in the years immediately following
the liberation of Paris at the end of World War II. One imagines offbeat,
avant-garde intellectuals, attached to their cigarettes, listening to jazz as
they hotly debate the implications of their new-found political and artistic
liberty. The mood is one of enthusiasm, creativity, anguished self-analysis,
and freedom – always freedom.” Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction, (New York: Oxford
University Press Inc.) 2006, hal. ix.
[5] Thomas R. Flynn, Existentialism: A Very …. hal. 1.
[6] Toward a New Concept of
Existence agaknya adalah
sebuah naskah pidato atau kuliah. Hal itu saya simpulkan dari kalimat,”pada
mala mini saya akan…” dalam tulisan tersebut. Namun sampai tulisan ini dibuat,
usaha untuk mencari tahu dan menemukan keterangan tentang sebagai muasal teks
itu sebenarnya belum saya temui.
[7] Diringkas dari Martin
Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan
Marxisme, (Yogyakarta: Resist Book), 2011, hal. 19-21.
[8] Louis Althusser dalah
Marxis Prancis dan dikenal sebagai marxis srukturalis. Ia tergabung dalam PKP
(Partai Komunis Prancis) namun kemudian diadili oleh para intelektual partai
itu sendiri ketika ia mendukung Mao dan tidak mengikut partai yang lebih
mengikuti garis Kruscev pasca kematian Stalin. Badiou ketika menjadi mahasiswa
mendapat pengajaran pula dari Althusser.
[9] Belakangan, Alain
Badiou sangat mengagumi keradikalismean dan keheroikan Sartre ini.
[10] Bagian ini merujuk
pada Alain Badiou, “Towards a New Concept of Existence” dalam Jurnal Lacanian Ink, Volume 29, Tahun 2007.
Jika ada sumber lain yang digunakan, akan ditunjukan pada catatan kaki-catatan
kaki berikutnya.
[11] Alain Badiou,
“Towards a New Concept of….” hal. 64.
[12] Alain Badiou,
“Towards a New Concept of….” hal. 64.
[13] Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan…. hal. xii-xiv.
[14] Hegel kita tahu
dikenal dengan konsep Roh Absolut yang menasingkan dirinya dalam rangka
bergerak menuju pengenalan kembali atas dirinya. Apa yang dimaksud Badiou
dengan subyek transenden di sini adalah Roh Absolut dalam pemahaman Hegelian
yang demikian.
[15] Alain Badiou,
“Towards a New Concept of….” hal. 65.
[16] Alain Badiou,
“Towards a New Concept of….” hal. 65.
[17] Alain Badiou,
“Towards a New Concept of….” hal. 67.
[18] “Situasi: suatu
wilayah di mana Ada hadir, baik secara manifest (dalam rupa elemen dan bagian)
maupun laten (dalam rupa kekosongan). Dalam pemikiran Badiou, situasi sama
dengan ontology”. Lih. Martin Suryajaya,
Alain Badiou dan Masa Depan…. hal.
xix.
[19] Alain
Badiou, “Towards a New Concept of….” hal. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar