Minggu, 13 November 2011

PUISI BERTO TUKAN DI JURNAL NASIONAL 13 NOVEMBER 2011



PINTU TERBUKA

Engkau tinggal di sebuah rumah berpintu terbuka
Selalu terbuka
Engkau melirik selalu ke pintu lima menit sekali
Terus berhatihati

Engkau tak menunggu siapa pun
Engkau pun tak ditunggu siapa pun
Hanya kau, pintu yang terbuka dan
Orang yang mondarmandir
Tak pula mereka melirik ke dalam
Tak pula mereka melempar batu

Engkau duduk di sebuah rumah berpintu terbuka
Engkau duduk dan menulis puisi tentang sebuah rumah
Berpintu terbuka

Engkau hendak melangkah; mencari sesuatu di luar rumah
Mungkin sebatang rokok, sebungkus kopi instant, atau mengambil uang
di mesin ATM

Ah, kau takut barangbaranmu di rumah diambil orang
Meski pada saat yang sama kau tahu orangorang tak pernah
Beranjak dari jalan di depan rumahmu untuk sekadar melirik
Apalagi masuk

Engkau berada di rumah berpintu terbuka
Engkau menjaga dengan hatihati segala di sana
Engkau pun tahu semua bisa melihat ke dalam
Engkau pun tahu tak ada satu pun mau melihat ke dalam

2011


TERBACA SEPERTI TAK RELA

Aku butuh sebuah puisi karena malam terhampar dengan laknat.

The Gate of Delirium. Ingin kumaki malam
Karna waktu yang berlalu adalah alaram tentang hidup yang merenta.

Oedipus membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.
Oh, laknat.
Untung hanya dalam cerita.

Jika tak ada puisi yang indah malam ini

Tak jadi masalah
Tak jadi masalah

Seorang pedagang nasi goreng.
Aku tak melihatnya. Hanya bebunyi.
Dan kita tahu dia sedang lewat di bawah.

Bahasa.
Seakan katakata hanya sedikit saja mampu ditampung kepala
Yang lainnya entah pergi ke mana.

Aku butuh sebuah puisi karena malam terhampar dengan laknat.

2011  


BANDARA

Aku melihat keriuhan orangorang
di bandara, berseliweran beruparupa orang
seorang pemuda tanggung mengganjal perut dengan dua potong donat dunkin
gadis bermawar merah menelepon penjemputnya; mungkin kekasih atau suaminya
seorang ibu enampuluh tahunan mendengar keroncong dari blackberrynya
mungkin juga la vie en rose
lantas mengenang kekasih yang berpisah di kemayoran
tak pernah bersua lagi

aku berpikir tentang keberangkatan dan kedatangan
"green tea melati minum teh hijau terbaik dari"
penjemputan dan pengantaran, segala kontradiksi menyatu di satu tempat
bandara
katakata terkadang mengambang jadi pisau
dan kita tak tahu untuk apa si pisau itu digunakan pembaca dan pembicara
aku punya cinta
dan tak kutahu sejauh apa mampu kuaktuskan potensi itu untuk kekasih
ah, bangsat, artic monkey merusak puisi

engkau bisa minum dari gelas yang sama dengan sahabatmu
gelas itu kapan saja bisa terlempar ke mukamu

kepergian dan kedatangan adalah kehilangan sementara dan pertemuan sementara
aku menghantar dan aku menunggu
aku menunggu dan aku membatu

sebaris kata adalah sebuah selat dalam keseluruhan rasa lautan dunia
sebaris kata adalah secuil keterungkapan rasa yang keseluruhannya akan menampak
dalam perjalanan sang waktu

Cengkareng, 23/01/2011 


KISAH TENTANG SEMUT

Seekor semut jalanjalan di meja makanku
Matanya memandang ke sana ke mari
Ah, aku tahu, ia pasti mencari sesuatu
Mungkin yang manis –manis seperti jeli

Si semut berputarputar ke sana kemari
Dari sudut paling kiri sampai sudut paling kanan
Ah, tentu tak ada didapatnya apa yang dicari
Meja makan itu baru saja ibu bereskan

—ibuku ibu terhebat di dunia, tak ada noda sedikit tersisa—

Bukan ibu tega melihat semut lapar
Tapi ibu memang tak tahu semut cari makan
Kucing kami diberinya makan di dapur
Kalau ibu tahu ada semut lapar, makanan dibagikan

Dan aku mencontohi ibu
Kubuka lemari berbau madu
Lantas kucomot sekeping tahu
Kutaro di meja makan untuk tamu
Si semut pun menghampiri malu-malu

Dibauinya tahu yang siap disantap
Aku menatapnya, kursi kudekap
Ah, si semut itu tak juga memakannya
Mungkin ia malu dengan mataku yang menyala

Maka aku pun pergi sembunyi
Sambil mengintip dari balik gorden
Namun si semut malah pergi berlari
Tahu yang sedap belum juga dimakan

Tiba-tiba, semut itu datang lagi
Kini ia tak sendiri
Dibawahnya serta banyak sekali kawannya
Dan mereka cepatcepat mendekati tahunya

Aku hanya menatap terheranheran
Si semut yang tak mau makan sendirian
Tahu yang kuletakan untuknya
Dia memanggil temantemannya tentu lapar mereka

Tahu itu diangkat mereka beramairamai
Sambil bersimbah air mata
Akan rejeki yang diberikan semesta hari ini
Dan mereka pasti akan berpesta


Keterangan: Gambar, lukisan karya Xiao Hong.

1 komentar:

Simpet Soge mengatakan...

Mantap Bang Berto. Salam kenal