Selasa, 01 Maret 2011

FIREFLIES ADALAH BANYAK KUNANG-KUNANG ATAU KUNANG-KUNANG—KUNANG-KUNANG?

Setelah selesai bercengkrama dengan Grave of The Fireflies, saya tak mampu menahan diri untuk tidak menulis sesuatu. Padahal, menulis kesan perihal sebuah film yang ditonton tidak lebih penting dari pada pekerjaan lain semisal tidur, merendam pakaian kotor, menyapu remah-remah ciki di lantai kamar, atau mencuci kemeja batik yang baru saja kau pakai untuk menghadiri pernikahan seorang kenalan. Namun seperti yang sudah dikatakan di kalimat pertama tulisan ini, saya lantas—setelah Seita (laki-laki belasan tahun) dan Setsuko (perempuan 4 atau 5 tahunan) duduk dalam merah yang remang-remang memandang penonton yakni saya yang terpana—merogoh celana panjang yang digunakan tadi siang, mencomot selembar lima ribuan, pergi ke warung terdekat, lantas mulai mengetik dengan berbekalkan setengah bungkus Djarum Super.

Sebenarnya Grave of The Fireflies sudah lama bertengger di hardisc saya. Adalah sebuah kesalahan yang laknat bila sebelum menontonnya saya sudah mengulangi sebuah kebodohan; memformat hardisc berisi film itu. Jangan kira saya belum pernah melakukan hal ini. Oke, mari lebih menukik pada film animasi Jepang ini.

Dibuka dengan sebuah serangan udara, kita tak perlu pusing mencari referensi untuk mengatakan bahwa itu serangan dari Amerika setelah pada sebuah hari minggu berkabut Jepang menyerang Pearl Harbour; untuk hal seperti ini sejarah di bangku SD atau SMP di Indonesia patut diacungkan jempol. Kota tempat tinggal Seita, Setsuko dan ibunya pun rata dengan tanah. Rupanya serangan itu sudah diprediksi. Seita tengah sibuk menguburkan barang-barang berharga milik keluarganya. Setsuko sudah disiapkan ibunya untuk mengungsi. Satu data penting adalah ibunya tengah sakit. Jangan dibayangkan sebuah sakit dengan setting si sakit tertidur tak berdaya di tempat tidur, bayangkan saja sebuah sakit yang masih memampukan orang beraktifitas seperti biasa sambil mengkonsumsi obat.

Serangan itu pun datang di saat demikian dan alur yang menguras air mata pada cerita-cerita tentang anak yatim piatu pasca perang pun gampang ditebak; sang ibu meninggal sedangkan sang ayah yang adalah seorang kapten Angkatan Laut Jepang tengah bertugas di front terdepan. Namun bukan di situ sasaran Grave of The Fireflies. Yang dikejar adalah bagaimana kakak beradik itu bertahan hidup dalam masa yang gamang. Detil-detil semacam saudara yang tak kooperatif, tak ada kabar dari sang ayah, tabungan sang ibu di bank yang jadi tak berarti ketika segala harga melonjak tak dilupakan film besutan Isao Takahata yang diangkat dari novel semi autobiografi Akiyuki Nosaka ini.

Kehidupan pasca perang yang sulit di sebuah Negara yang kalah perang sangatlah lumrah. Namun bagaiaman kakak beradik ini mampu merangkai sebuah dunia sendiri yang indah di malam hari. Yah, indah di malam hari karena di siang hari terlalu terang. Kunang-kunang adalah cahaya di malam hari dalam tempat tinggal mereka sendiri; sebuah bunker anti serangan udara yang terletak jauh di luar pemukiman dan sudah jarang dipakai penduduk lainnya. Dengan dua selimut menutupi mulut bunker, malam yang gelap menjadi terang berkerlap-kerlip oleh kunang-kunang. Dan di pagi hari, kunang-kunang itu mati dan jatuh di lantai ‘rumah’ mereka. Lantas si kecil Setsuko bergumam, “kenapa kunang-kunang harus cepat mati?” Setsuko pun menggali sebuah lubang dan menguburkan kunang-kunang itu di sana karena menurut bibinya, ibu mereka pun demikian. (ah make a move dari the busters seperti lagu yang salah casting ketika saya mengetik hal ini)

“kenapa kunang-kunang harus cepat mati?” Yah, kalimat ini menjadi penting ketika kita lihat kebahagiaan pada kakak beradik itu sebagai riak tak berarti dalam lautan kesengsaraan jaman. Bahkan ketika serangan udara yang menjadi mala petaka bagi penduduk kota menjadi kesempatan Seita mencari makanan pun tak mampu menggagalkan kematian Setsuko. Setelah menjual barang curian ketika kota ditinggalkan penduduk yang kocarkacir akibat serangan udara yang lain, Seita pulang dengan makanan yang banyak dan mewah. Sepotong semangka yang disuapkannya pada Setsuko menjadi makanan terakir untuk anak perempuan itu. Ia mati ketika kakaknya berjibaku dengan kota yang terbakar untuk mencari makanan, ia mati ketika kakaknya pulang membawa begitu banyak makanan.

Scene Setsuko yang bermain sendirian di halaman gua perlindungan itu dengan payung rusak, bekas tempat makan, tungku batu berlumut, bunga liar musim semi, ilalang yang menari sambil berkata, “cepat kembali kemari” adalah akir yang bagus untuk sebuah kesia-siaan perang, sebuah kesia-siaan usaha-usaha heroik. Lantas Seita, kita lihat, duduk bersamanya di sana setelah scene itu. Ah, rupanya sang kakak pun tak mampu menantang kerasnya zaman.

Grave of The Fireflies adalah sebuah anti perang, di samping itu lebih saya lihat sebagai sebuah kesia-siaan perang yang indah, kesia-siaan yang memunculkan individu-individu yang tegar. Namun ketegaran seorang individu saja sungguh tak berarti di zaman yang kejam.






Tidak ada komentar: