Kamis, 04 November 2010

Beberapa Puisi tentang Senja, Pagi, dan Hari


Sebuah Senja

Malam begitu cepat datang

Bukan kita yang datang begitu cepat padanya

Malam bertamu lebih dini

Sebatang rokok yang dimintanya kita bungkus selembar kantuk



Lorca

Tunggu

Puisi saya

Seratus enam puluhkarakter

Maksimal

Dan juga tanpa darah

2010-02-08



Pagipagi Remang, Siangsiang Legam,

dan Senjasenja Sengkarut

Aku tengadah memandang awan

Awan itu

Sepagi ini ia nampak di sana

Di sudut langit tiga perdelapan

putihnya, warna kesiasiaan, menanti

hitam hadir dalam kepenuhannya

Aku tengadah memandang awan

Awan itu

Ia memetakumpeti matahari;

Siswa kelas I SD baru ditahbiskan

Bukan sebagai anak bawang

nadinadi lengkungnya, ketegaran siasia,

darah yang semenit lagi tak mengalir

aku tinggalkan dia, bagaimanapun juga

hidup bukan hanya pagi yang riang dan

mimisan akibat sinus si sisilia

Aku menengok, keacuhan gadis perawan

Langit yang tiga perdelapan, sudut terberkahi

Awan itu

Penghuni kerasan, atau keras kepala?

putihnya menggeliat kepanasan, atau kegelisahan?

maut yang siap dilontarkan gununggunung, atau

pabrikpabrik?

Aku menengok, keacuhan gadis perawan

Langit yang tiga perdelapan, sudut terberkahi

Awan itu

Menolak dengan manis, ajakan magis

Siklus alam, kefanaan nirtolak

lengkung nadinya, lenguh kemurungan

ooooi, tangantangannya mencengkram langit

dalam bening kepasrahan

tak bisa lagi aku menengok, bagaimanapun juga,

kelokan itu menutup langit tiga perdelapan

berganti kamarkamar lantai sepuluh dengan aroma

birahi menyembul dari balkonbalkonnya

Ini dia pancaroba kedua, kestatisan yang memastikan

Segala

Langit tiga perdelapan tentu berbenah, aku menyapanya

Dalam ritual siasia, segelas kopi dan segumpal tembakau,

Awan itu, dingin menatap matahari, “ini aku di singgasanaku”

putihnya kelicikan bunglon

nadi lengkunya keraskepala kurakura

Ini dia pancaroba kedua, kestatisan yang memastikan

Segala

Langit tiga perdelapan dalam seratusdelapanpuluh derajat

Putaran bumi, aku menyapanya dalam ritual siasia, segelas

Kopi dan segumpal tembakau, awan itu tanpa ekspresi

Bisikan angin disuruhnya bungkam

putihnya abuabu kefanaan

nadi lengkungnya garigaris kepastian

Aku tengadah memandang awan

Awan itu

Langit yang tiga perdelapan, sudut terberkahi

Awan itu

Aku menyapanya dalam ritual siasia

awan itu

Matraman—Depok—Matraman, Desember 2008




Tidak ada komentar: