Minggu, 03 Januari 2010

Amor Fati a la Peter Pan


Saya baru saja menemukan sesuatu yang cukup menggelitik saya sendiri; terlepas dari apa yang kita perbincangkan nanti adalah sesuatu yang benar atau salah—anggap saja ini keisengan semata.

Pertama, kita akan sedikit disentil dengan sebuah filsafat dari Nietzsche tentang amor fati sebagai sebuah cara menerima hidup yang dianalogikan Nietzsche sebagai Seorang Bayi (baca anak kecil). Kedua, kita akan mencoba mengingat kisah tentang Peter Pan. Jadi, dari sebuah vcd anak-anak milik sepupu saya yang mereka beli di TB Gramedia dengan harga 10 ribu padahal harga bajakannya di—sebut saja—Jatinegara kira-kira hanya 3 ribuan saja, Wendy ketika pulang ke rumah setelah lama ”lari” ke Neverland bersama dua saudaranya berkata kira-kira demikian, ”seorang anak melihat dari Jendela, dia sudah merasakan segala kebahagiaan yang tak pernah dirasakan anak-anak lainnya. Tetapi, kebahagiaan yang satu ini (yakni sang anak merasa diri sebagai bagian dari sebuah keluarga) tak akan pernah dirasakannya, tak akan pernah dirasakannya.” Seorang anak yang melihat dari jendela itu adalah Peter Pan.

Apa hubungan antara Jiwa Seorang Bayi (baca anak-anak) Nietzsche dengan Peter Pan?

Intuisi Bayi Nietzsche adalah kira-kira hendak mengatakan bahwa terimalah hidup apa adanya; sekaligus berjarak dan sekaligus tidak. Dengan menerima hidup apa adanya ini, hidup akan dijalankan dengan lebih baik, akan ada kebahagiaan (kalimat ini mungkin dari saya sendiri). Tapi setidak-tidaknya, hidup yang ”baik” adalah hidup yang dijalani dengan amor fati itu; menerima dengan berjarak sekaligus tidak segala kemungkinan dan segala yang ada dalam hidup itu.

Nah, Neverland-nya (mari kita sepakat untuk tidak mengutak-atik makna dari kata Neverland ini) Peter Pan itu adalah sebuah tempat untuk Anak Hilang; anak-anak yang tidak pernah ingin jadi dewasa. Jika anak-anak adalah mereka yang bisa menerima hidup apa adanya, bermain-main dengan hidup, maka kebanyakan dari orang dewasa itu tidak. Dengan bermain-main dengan hidup, menerima hidup secara berjarak sekaligus tidak, maka hidup yang penuh, hidup yang bahagia, hidup yang dijalankan dengan tenang akan tersedia, hidup yang anschenden. Hidup tanpa thelos-nya Seorang Bayi ini (karena mereka menerima segala yang ada dan akan ada dalam hidup begitu saja) memungkinkan sebuah hidup yang tanpa dibebani thelos tertentu. Hidup orang dewasa adalah hidup yang penuh dengan problematika; jatuh cinta (ini dalam film Peter Pan manusianya dielaborasi dengan sedikit lebih serius lewat provokasi tokoh Kapten Hook), menjadi bagian dari keluarga dan (mungkin) berkeluarga; intinya adalah hidup orang dewasa itu dibebani oleh thelos yang tidak akan ada dalam hidup a la seorang bayi (baca anak-anak)-nya Nietzsche. ”Silahkan pergi dan menjadi dewasa dan lupakan semua (kebahagiaan) ini,” Peter Pan berujar suatu ketika di Neverland.

(Hem, sebenarnya tadi saya hendak mengetik beberapa hal yang terlintas di benak, tetapi kedatangan tetamu mengakibatkan semua yang ada tadi lenyap dibawa angin, rupanya ide orisinal itu adalah yang berhamburan tak tentu arah di dalam atmosfer kita, tinggal kapan dia menemukan pelabuhannya atau pelabuhan berikutnya dan apakah pelabuhan atau pelabuhan berikut itu bisa menahannya lebih lama)

Nah, ketika Wendy dan saudara-saudaranya serta Anak Hilang lainnya memutuskan untuk pulang ke rumah Wendy, dengan demikian mereka memutuskan untuk meninggalkan dunia menjadi anak-anak selamanya dan memutuskan untuk tunduk pada mainan waktu yang akan membawa mereka jadi dewasa, saya kira di situ jugalah mereka menyadari hidup mereka pada akhirnya yang ”harus” tunduk atau menciptakan thelos tertentu. Seperti yang dikatakan Wendy di atas, ada satu kebahagiaan yang tak akan pernah dirasakan Peter Pan. Bagi saya, itu adalah kebahagiaan ketika sang anak yang menjadi dewasa memikirkan thelos yang harus dipilihnya dan diperjuangkannya. Sedangkan Peter Pan yang tetap menjadi anak-anak dan tidak mau menjadi dewasa, meskipun memiliki dan merasakan banyak kebahagiaan lainnya, tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang satu itu yakni kebahagiaan mempunyai sebuah thelos dan juga mungkin kebahagiaan ketika proses mencapai thelos itu dirasakan; entah akan tercapai atau tidak, setidak-tidaknya sudah ada sebuah proses menuju ke sana.

Maka, mungkin memutuskan untuk memiliki thelos itu haruslah dimiliki oleh mereka-mereka yang memutuskan ”pulang ke rumah” dan tidak terus berada di ”Neverland”. Lalu selanjutnya, ”militan” terhadap ”thelos” masing-masing adalah konsekuensi berikutnya.

Gang Sengon 5
03/01/10

Tidak ada komentar: