Kamis, 26 Maret 2009

Sastra, Sains: Percikan Kecil Api Kehidupan

Karya sastra menawarkan sebuah tamasya batin yang tak terkira. Michael Pearson dalam Tempat-tempat Imajiner menulis; membaca sastra merupakan cara melupakan sejenak kehidupan nyata untuk bertamasya ke tempat lain, merefleksikan dunia nyata, dan lantas kembali lagi ke kehidupan nyata. Dengan nada yang sama, Agus Wibowo berujar, sastra bisa menjadi oase di tengah gurun pasir kehidupan yang tandus (Seputar Indonesia, 16-12-2007).
Seorang pembaca ketika menemukan novel bagus bisa saja lupa bekerja, makan, dan tidur, hanya demi sesegera mungkin menamatkan cerita. Karena di lembaran-lembaran kertas itulah imajinasinya diajak berselancar, mimpi-mimpinya mendapat tempat, kehidupannya jadi berwarna. Ketika membaca, pembaca cenderung menempatkan dirinya sebagai salah satu tokoh, menyamakan dirinya dengan salah satu karakter. Lebih jauh lagi, Agus Wibowo dalam tulisannya di Seputar Indonesia, 16-12-2007, Titik-Temu Sastra dan Sains mengungkapkan, sastra berandil dalam menyuntikkan imajinasi yang memungkinkan manusia mendapat ide atau teori. Di titik ini, kita diingatkan pada penemuan-penemuan di bidang sains oleh para ilmuwan yang (kadang) merangkap sastrawan atau setidak-tidaknya gandrung pada sastra.
Membaca artikel Agus Wibowo di atas, banyak hal dapat kita amini bersama. Namun, tidak sedikit pula yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan gugatan-gugatan yang saya rasa sudah lama didengungkan namun belum juga terjawab.

Sastra dan “Masyarakat Materi”
Sastra hendaknya dipandang sebagai salah satu bentuk kreasi manusia, di antara semesta kreasi lainnya. Pada titik ini, sastra dan sains punya kedudukan sama, sebagai hasil kerja akal budi manusia. Sastra sedikit lebih beruntung, karena bersama filsafat dibaptis sebagai mother of sciences. Dalam perjalanannya di negeri ini, sastra (dan juga filsafat) menjadi anak tiri, menjadi yang bukan pilihan. Bahkan, seperti yang diutarakan Wibowo, bukan saja para orang tua yang berkeluh kesah atas pilihan hidup sebagai sastrawan atau ilmuwan sastra, tak jarang siswa-siswi SMA kita menempatkan ilmu sastra di pilihan kedua dalam SPMB, misalnya. Lebih menyedihkan lagi, jarang kita temukan Perguruan Tinggi (PT) swasta yang punya jurusan sastra dan filsafat. Bahkan, sejak SMA-pun sastra sudah dipandang sebagai subordinat pendidikan, berada di bawah disiplin ilmu lainnya. Lihatlah betapa mindernya siswa-siswi SMA jurusan bahasa kita dan betapa berbangganya mereka yang duduk di jurusan IPA.
Di dunia baca-membacapun keanak-tirian sastra terlihat. Masyarakat memandang kegiatan membaca hanya sebagai pengisi waktu luang. Pada sebuah artikel tentang Pameran Buku IKAPI (saya lupa judul dan pengarangnya) digambarkan bagaimana seorang laki-laki paruh baya begitu malu kedapatan membeli novel. Ketika ditanya, ia menjelaskan bahwa buku itu untuk anak dan istrinya. Ia (lelaki itu) terlalu sibuk bekerja sehingga tak punya waktu membaca novel. Sudah lama memang minimnya ketertarikan masyarakat kita pada dunia membaca (fiksi) dikeluhkan. Ada yang berpendapat, hal ini diakibatkan lebih daulunya kita melangkah ke galaksi McLuhan, tanpa terlebih dahulu berkelana di galaksi Gutenberg.
Kealpaan membaca ini didukung juga oleh sistem, keadaan kehidupan mutakhir kita. Ketika uang menjadi segala-galanya di masa ini, membaca sastra yang memberi kebahagiaan jiwa dianggap tak berguna. Kebanyakan orang memilih bekerja demi uang, bukan untuk mengejawantahkan kemampuan dan bakat alamnya. Ketika uang menjadi alasan orang bekerja, membaca yang kadang menghabiskan waktu dan uang dianggap tak berguna. Maka, pendidikan pada disiplin-disiplin ilmu praktis yang dianggap lebih cepat mendatangkan uang menjadi pilihan utama. Di saat yang bersamaan, televisi telah menjadi keseharian masyarakat kita. Masyarakat yang sibuk bekerja dan capek mengejar uang, akan lebih memilih menonton televisi ketimbang membaca buku sastra. Untunglah, akhir-akhir ini kegiatan membaca mulai menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat menengah kita, sehingga terselamatkanlah dunia sastra dari kesunyiannya yang akut.
Taufik Ismail pada sebuah kesempatan pernah mengungkapkan pentingnya membaca untuk seorang penulis. Tak mungkinlah dari negeri ini muncul banyak penulis yang bagus, apabila semangat membaca masyarakatnya masih seperti di atas. Sudah lama pula krisis membaca-menulis ini muncul. Tulisan Wibowo di penghujung 2007 mengingatkan kita bahwa wacana itu belum selesai bahkan butuh kerja ekstra menghadapinya. Kini, menurut hemat saya, tak perlu lagi kita menuding institusi-institusi tertentu untuk krisis ini. Toh terkadang terasa tak ada gunanya. Marilah mulai menebarkan kegandrungan membaca di lingkungan kecil kita masing-masing.
Profesi sastrawan masih dicibir, masih dianggap profesi yang tak menjanjikan. Memang benar, seperti yang disiratkan Wibowo, sastra dan sastrawan dianggap tak mampu memberikan kelimpahan materi. Namun bukan berarti seorang sastrawan harus hidup dalam kemiskinan materi pula. Pandangan bahwa seorang sastrawan harus hidup dalam keterasingan, kesepian dan kemiskinan, yang terkadang muncul pula dari para peminat dan pemerhati sastra, merupakan anggapan yang lantas mendukung keanak-tirian sastra itu sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dunia sastra dan segala yang terkait di dalamnya berusaha mengapresiasi profesi sastrawan sehingga pembicaraan tentang materi dari profesi itu tidak diulang-ulang lagi. Toh, dengan selesainya pembicaraan tentang materi seorang sastrawan, ia akan berkarya dengan lebih baik. Dengan atmosfir yang demikian sastra kita akan jauh lebih maju, dan bukan tidak mungkin akan muncul Jules Verne, H.G. Wells, Brian Aldiss, Poe, atau pun Borges-nya Indonesia. Tapi jangan mimpi bila misalkan masih lebih mahal sebungkus rokok dibandingkan royalti sastrawan untuk satu bukunya.

Kampus; Wali Pernikahan Sastra-Sains?
Dengan asumsi sastra dengan imajinasinya dapat mempengaruhi pengkonsepan hipotesis atau pengasumsian penelitian dalam sains dan sains bisa menjadi inspirasi dalam penulisan karya sastra, Wibowo menawarkan ide integrasi atau penambahan muatan mata kuliah antara kedua fakultas tersebut. Di sini, kita harus terlebih dahulu melihat kedudukan Fakultas Sastra bukan sebagai tempat menghasilkan karya sastra, melainkan sebagai (meminjam judul tulisan Jafar Fakhrurozi) pusat studi dan apresiasi sastra. Maka menurut saya, salah alamatlah bila mengharapkan muncul karya sastra bertemakan sains dari kampus. Mungkin akan benar pendapat Wibowo bila pengintegrasian kedua fakultas itu dalam rangka mengapresiasi sains fiction.
Namun, mari coba kita bayangkan bila memang terjadi pengintegrasian atau pun penambahan muatan mata kuliah antara dua fakultas itu. Maka, menurut hemat saya, hal yang serupa harus terjadi pula antara Fakultas Sastra dengan Fakultas Psikologi, Fakultas Sastra dengan Fakultas Ilmu Sosial atau pun Fakultas Sains dengan Fakultas Psikologi, Fakultas Sains dengan Fakultas Hukum. Tentu saja bila membicarakan sebuah disiplin ilmu dengan kontribusinya atas kehidupan, semua disiplin ilmu pastinya akan saling bertautan. Sastra harus bergandengan dengan hukum untuk membicarakan fiksi-dektektif misalnya, sains harus berjabatan dengan ilmu psikologi misalnya untuk membicarakan dampak kemajuan teknologi atas masyarakat.
Maka, sebagai salah dua dari begitu banyak disiplin ilmu yang ada di kehidupan ini, hendaknya kita tidak menempatkan faklutas sastra dan sains pada tempat yang istimewa, seperti yang agak tercium dalam tulisan Wibowo. Apalagi kenyataan beban kuliah di fakultas masing-masing sudah sangat memusingkan dan membebani mahasiswa, sehingga bahkan untuk membaca satu buku dari awal sampai akhir pun, bisa-bisa mahasiswa tak punya waktu. Penambahan mata kuliah bisa saja membuat mereka bahkan tidak punya waktu untuk mengintip berita pertandingan Liga Spanyol di Koran pagi.
Ada baiknya, keinginan mencari tahu hal-hal di luar disiplin ilmu yang digelutinya, muncul dari mahasiswa itu sendiri. Bukankah ada sistem pengambilan mata kuliah lintas fakultas di perguruan tinggi – perguruan tinggi kita? Mahasiswa sastra yang ingin mendalami fiksi-dektektif bisa saja melanglang buana ke fakultas hukum dan mahasiswa sains bisa main-main ke fakultas sastra kalau ingin mengapresiasi lebih jauh novel sains fiction yang tengah dibacanya.
Tentu saja, semua itu akan terjadi apabila semangat membaca sudah tertanam dulu di setiap pribadi, tanpa dipertanyakan latar belakang ilmu yang digelutinya. Sebab, kita semua pasti sepakat, bangsa yang berpendidikan adalah bangsa dengan kegandrungan pada baca yang tinggi. Ketika ada kegandrungan baca dan atmosfir kehidupan mendukungnya, pernikahan antara berbagai disiplin ilmu pastinya akan terjadi. Mari berusaha membangkitkan minat baca.*** (edisi tulisan lama)

3 komentar:

Agus Wibowo mengatakan...

Salut atas apresiasi tulisan saya....dari percakapan itu saya berkeyakinan, pergulatan sastra belum berakhir...silahkan mampir di blog saya: www.aguswibowo82.blogspot.com...salam sastra. Agus Wibowo, Yogyakarta

Agus Wibowo mengatakan...

Salut atas apresiasi tulisan saya....dari percakapan itu saya berkeyakinan, pergulatan sastra belum berakhir...silahkan mampir di blog saya: www.aguswibowo82.blogspot.com...salam sastra. Agus Wibowo, Yogyakarta

BertoTukan mengatakan...

thanks bung, saya akan berkunjung!