L. Berto Tukan *
Abstrak: Tulisan ini akan membahas tentang
Kata-kata Kunci : Materialisme historis, teleologis, Walter Benjamin, Gesichtsphilosophische Thesen, Republik Weimar, Sosial Demokrat, Waktu Sekarang, Masa Lalu, Keselamatan.
PENDAHULUAN
Walter Benjamin, seorang Marxsist Jerman dan Mazhab Frankfurt, dalam tulisannya pada 1939-1940, Gesichtsphilosophische Thesen[1] (selanjutnya disingkat GT), pada Tesis I menggambarkan materialisme historis secara unik, metaforis, sedikit komikal, dengan demikian sulit untuk dipastikan apa yang dimaksudkannya[2]:
Seperti yang sudah diketahui, cerita harus diceritakan oleh sesuatu yang dikonstruksi secara otomatis sedemikian sehingga ia menanggapi setiap jalan dari pemain catur mana pun dengan langkah balasan yang dapat menjamin kemenangannya. Boneka pada pakaian adat Turki, cangklong di mulut, duduk di depan papan catur pada meja yang lebar. Illusi dibangkitkan menurut sistem cermin, meja ini transparan dari segala sisinya. Pada kenyataannya terlihat kurcaci bungkuk di dalamnya, si kurcaci adalah Master Catur dan ia mengendalikan tangan boneka itu dengan tali. Melalui perlengkapan ini, orang dapat membayangkan pasangan/lawannya dalam filsafat. Boneka yang akan selalu menang inilah yang dinamai orang-orang sebagai “materialisme historis”. Menjadi mudahlah pertandingan itu untuk orang-orang bila mereka pada akhirnya sadar bahwa itu menggunakan pelayanan teologi yang saat ini, seperti yang sudah diketahui, kecil, buruk dan bagaimanapun juga tidak diijinkan menampakan diri.
Unsur teleologis[3] sering dipandang ada dalam materialisme historis Marx sebagai warisan dari filsafat Hegel . Filsafat sejarah Hegel menekankan peran Roh yang ada di luar diri manusia yang memungkinkan thelos pada akhir sejarah. Dengan kata lain, ada agen sejarah di luar diri manusia yakni Sang Roh. Thelos sebagai unsur teleologi dalam materialisme historis Marx sering dialamatkan pada ‘ramalan’ Marx tentang akhir sejarah di mana kelas proletar mengalahkan kelas kapitalis dan terciptalah masyarakat tanpa kelas.
Materialisme historis dengan kepercayaan akan sifat keniscayaannya tak lain dan tak bukan adalah pengulangan terhadap dialektika Hegel yang pada kata pengantar Marx untuk Das Kapital edisi kedua sudah ditentangnya[4]. Sebelum Das Kapital ini, Marx pun sudah menentukan sikapnya untuk tidak mengikuti kecenderungan filsafat Hegel yang berkembang di Jerman pada masanya melalui karyanya bersama Engels The German Ideology[5]. Penafsiran bahwa sejarah niscaya akan menuju tatanan dunia sosial oleh karena system kapitalisme pada dirinya menyimpan kontradiksi dan bibit kehancurannya sendiri tanpa mementingkan usaha manusia menuju hal tersebut inilah posisi yang diambil Karl Kautsky dkk misalnya, yang membuat mereka berbeda jalan dengan Luxemburg dan Lenin pada Internationale II.
1. Masa Kecil Hingga Berakirnya Perang Dunia I
Manusia bermulti-talenta dengan hidup yang bisa dibilang tragis ini dilahirkan di Berlin pada 15 Juli 1892 dari Emil Benjamin dan Pauline Benjamin . Ia sulung dengan dua adik (Georg yang dilahirkan pada 1895 dan Dora pada 1901). Keluarga Emil Benjamin adalah keluarga kelas menengah atas Berlin , ketika kota itu menjadi salah satu kota metropolitan di Eropa. Sebagai anak dari keluarga berlatar demikian, Benjamin dididik oleh guru privat di rumah sampai berumur sembilan tahun ketika ia memasuki Kaiser Friedrich School . Namun pada 1904 ia keluar dari sekolah ini atas kehendak orang tuanya karena sakit.
Kehidupan akademis di universitasnya dimulai dari Maret 1912 dengan masuknya ia ke Universitas Albert Ludwig namun pada Oktober tahun yang sama ia mendaftar ke Royal Wilhelm Friedrich University di Berlin. Benjamin semakin intens dalam perjuangannya di Himpunan Mahasiswa Merdeka (Free Students Association) sebagai penerapan ide Wyneken perihal Youth Culture. Pada 1913 ia menang dalam pemilihan presiden dalam perhimpunan itu dan ini membawanya kembali ke Freiburg . Dalam pengukuhannya pada Mei 1914, ia menyampaikan pidato yang merupakan bagian dari tulisannya yang terbit pada 1915 ‘The Life of Students’. Di sini ia mengkritik mahasiswa Jerman yang melihat kuliah sebagai pelatihan untuk profesi pekerjaan mereka ke depan. Baginya, jauh dari sebagai tempat latihan untuk profesi kerja tertentu, pendidikan justru pada dasarnya melawan itu.[11]
Pada periode ini pun, di Jerman sendiri berkembang isu seputar Zionisme; apakah orang Yahudi harus mengembangkan budaya dan intelektual mereka yang khas Yahudi ataukah mereka tetap meneruskan asimilasi mereka dengan Jerman, walaupun seberapa besar usaha asimilasi itu dari mereka, mereka ditolak juga. Hal ini terlihat misalnya dengan kemunculan tulisan dari Moritz Goldstein berjudul ‘German Jewish Parnassus’. Dalam ketegangan itu, Benjamin terang-terangan menolak politik Zionisme. Dalam kemelut demikian, dalam suratnya untuk Ludwig Strauss pada Januari 1913, ia menulis bahwa energi politiknya ada pada Kiri dan perjuangan politik kuncinya adalah mencapai Kiri sebagai mayoritas sehingga di seluruh Jerman model pendidikan dari Wyneken bisa diterima.[12] Di sini, Benjamin menaruh harapan yang cukup besar pada Sosial Demokrat sebagai partai yang cukup besar di Jerman kala itu.
Tahun 1917, Benjamin mendaftar ke Universitas Berne untuk menjalankan disertasi doktoralnya dengan merencanakan penulisan tentang romantisisme Jerman khususnya pemikiran Friedrich Schlehel dan Novalis. Draft disertasinya ditulis pada April 1919 dan dipertahankannya pada Juni tahun yang sama. Demi bisa mengajar di universitas, Benjamin harus menulis disertasi kedua untuk mendapatkan Habilitation, prasyarat untuk mendapatkan posisi mengajar di Jerman yang harus juga mendapatkan dukungan dari pembimbing dari universitas. Bersamaan dengan itu istrinya, Dora , melahirkan anak satu-satunya mereka, Stefan Rafael . Kesulitan keuangan dan keinginan Benjamin untuk mendapatkan Habilitation menghantar keluarga itu kembali ke orang tua Benjamin di Berlin . Usahanya untuk mendapatkan Habilitation ini dihentikannya pada 1925.
Pada tahun-tahun ini, Perang Dunia I berakhir. Secara khusus, pada 10 Desember 1918, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Jerman, Friedrich Elbert , menarik pulang pasukan Jerman.[13] Ini merupakan sebuah fase baru untuk kehidupan di Jerman sendiri. Kekaisaran Jerman , yang tanda-tanda keruntuhannya sudah terlihat beberapa tahun sebelumnya, perlahan digantikan oleh Republik Weimar.
2. Berbalik Ke Kiri Hingga Port Bou
Tahun1924 dianggap sebagai masa ketika kerja filsafat dan budaya Walter Benjamin mengalami perubahan yang cukup drastis. Di tahun ini, ia bertemu dengan Asja Lacis , seorang sutradara teater Kiri. Asja Lacis (Benjamin dan Lacis bertemu di Capri , Italia) memperkenalkannya dengan politik sayap kiri yang radikal. Benjamin ada di Capri dalam rangka menyelesaikan tesisnya mengenai drama Barok[14]. Bersamaan dengan itu, Benjamin juga membaca History and Class Consciousness, sebuah karangan seminal Georg Lukacs . Di saat inilah Benjamin benar-benar tertarik pada tulisan-tulisan Marx . Ia menulis tentang peristiwa ini pada sahabatnya Scholem demikian[15]:
I hope some day the Communist signals will come through to you more clearly than they did from Capri . At first, they were indications of a change that awakened in me the will not to mask certain actual and political elements of my ideas in the old Franconian way I did before, but also to develop them by experimenting and taking extreme measures. This of course means that the literary exegesis of German literature will now take a back seat.
FELLOW CITIZENS!
THE LION IS LOOSE!
WHO IS GUILTY?
THE JEWS!
ELECT THE GERMAN PEOPLE’S PARTY!
Pada 14 September 1930, NAZI berhasil mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilihan umum. Hitler lantas menjadi Kanselir pada 30 Januari 1933. Keadaan perpolitikan yang tak memungkinkan, NAZI yang terang-terangan mendiskriminasikan Komunisme dan Kaum Yahudi , sebuah puncak perseteruan yang sebenarnya sudah mulai mengemuka sejak sebelum Perang Dunia I, membuat banyak orang yang merasa terancam mulai meninggalkan Jerman. Benjamin adalah salah satu di antara mereka, meninggalkan Berlin dan pergi mengunjungi Paris pada Maret 1933. Setelah dari Paris , ia pergi ke Ibiza untuk mengunjungi saudaranya, Georg , seorang anggota aktif Partai Komunis Jerman yang ditahan di Ibiza .
Malam hari antara 26-27 September 1940, Benjamin meninggal dan tak ada yang tahu seperti apa peristiwa pada malam itu sesungguhnya. Bersama dirinya ditemukan pula di sana manuskrip yang belum selesai dari The Arcade Project dan Gesichtsphilosophische Thesen . Ia meninggal dalam keputusasaannya karena tidak bisa pergi ke Amerika ketika NAZI yang mengejar-ngejar kaum komunis serta Yahudi sudah menjadi momok nyata yang mengerikan di dataran Eropa. Padahal, ia sudah sangat mengusahakan hal itu bahkan sempat pula mencari tahu kemungkinan menjual Angelus Novus[18] sebagai cadangan keuangannya di Amerika nanti.
MATERIALISME HISTORIS TANPA TELEOLOGI
GT merupakan sebuah tulisan yang merangkumkan pemikiran Benjamin pada 1930-an dan juga pengalaman hidupnya sendiri. Selain itu, refleksinya dalam GT juga menyangkut runtuhnya Kiri Eropa menghadapi fasisme serta pakta antara Hitler-Stalin yang dihubungkannya dengan penyelidikannya tentang teologi politik.[19] Sedangkan Matthias Fritsch melihat kritikan Benjamin atas ide teleologi dalam konsepsi materialisme historis ini menekankan bahwa Marx, atau Sosial Demokrat pada masa itu, berada dalam bahaya oleh rasa aman akan hukum sejarah ini. [20]
Tentu banyak unsur yang dapat digali dari GT ini. Namun, pada bagian ini kita hanya akan berkonsentrasi pada persoalan usaha pembersihan teleologi dari materialisme historis. Hal-hal penting yang ada dalam GT seperti ingatan, momen mesianik, keselamatan tidak menjadi perhatian utama kita pada kesempatan ini. Dengan demikian, pembahasan kita lebih akan berkutat pada tesis-tesis tertentu saja yang lebih secara langsung berhubungan dengan perihal teleologi dalam materialisme historis.
Tesis I seperti yang sudah kita singgung di awal tulisan ini sudah menunjukkan bagaimana Benjamin mencibir unsur teleologi dalam materialisme historis. Howard Caygill mengajak langsung melihat tesis XVIII untuk memahami hubungan dari materialisme historis dan teologi yang menjadi pembuka GT ini. Dalam tesis tersebut, Benjamin menulis[21]:
"In relation to the history of organic life on earth ," writers a modern biologist, "the paltry fifty millernnia of homo sapiens constitute something like two seconds at the close of a twenty-four-hour day. On this scale, the history of civilized mankind would fill one-fifth of the last second of the last hours." The present, which, as a model of Messianic time, comprises the entire history of mankind in an enormous abridgment, coincides exactly with the stature which the history of mankind has in the universe.
Kalimat terakhir dari Benjamin sendiri menunjukkan bahwa waktu sekarang sebagai model Waktu Messianis, merupakan keseluruhan sejarah umat manusia dalam ringkasan yang besar. terdiri dari seluruh sejarah umat manusia dalam sebuah ringkasan yang sangat besar. Dan Waktu Sekarang dengan demikian persis sama dengan sejarah keseluruhan umat manusia di alam semesta. Di sini, Benjamin menekankan pentingnya Waktu Sekarang , karena ia sama dengan keseluruhan sejarah umat manusia. Kesekarangan sebagai hal penting dalam sejarah jelas berbeda dengan teleologi, dan juga pemahaman seputar Mesianis pada umumnya, yang menekankan pada tujuan pada masa yang akan datang dari sejarah itu sendiri.
Jika tesis XVIII ini kita hubungkan dengan tesis II di mana Benjamin menyatakan perihal Mesianis yang baginya tidak hanya berurusan dengan masa depan; Mesianis tidak merujuk pada masa depan dari masa sekarang melainkan masa depan dari masa lalu. Masa depan dengan demikian selalu tidak melupakan masa lalu. Masa depan yang dibayangkan sekarang selalu pula dalam rujukannya dengan masa lalu. Sedangkan di sini yang pada tesis III Benjamin menekankan bahwa hanya mereka yang tertebuslah yang bisa memahami kepenuhan masa lalu.
Masih menurut sistem pembacaan dari Howard Caygill , tesis XVIII ini dibaca pula dalam hubungannya dengan tesis VIII–XIII. Tesis VIII dimulai dengan pemahaman seputar tradisi ketertindasan yakni keadaan darurat bukan merupakan sebuah pengecualian melainkan sebuah keharusan. Tesis IX lebih menukik lagi pada konsep sejarah Walter Benjamin . Dalam tesis ini, dengan menyimbolkan sejarahnya pada lukisan Angelus Novus, di mana dikatakannya bahwa malaikat ini merupakan malaikat sejarah yang seperti hendak membebaskan diri dari apa yang ditatapnya. Ia menatap masa lampau dan tampaknya ia hendak berhenti untuk membenahi segala yang hancur di hadapannya namun badai yang berhembus dari Firdaus mengepakan sayapnya dan menerbangkannya ke masa depan yang dipunggunginya. Angin badai inilah progresivitas.[22]
Posisi menatap ke depan inilah posisi pembacaan sejarah yang dianut oleh pemahaman secara umum atas materialisme historis Marx dan juga Sosial Demokrat Jerman pada masa Republik Weimar . Lebih jauh lagi, Sosial Demokrat dikritiknya bukan hanya pada pemahaman seputar konsep kemajuan sejarah sebagai teleologi, tetapi juga kompromi politik dan ekonomi partai itu. Keruntuhan Republik Weimar adalah juga sumbangsih Sosial Demokrat yang menetapkan kebijaksanaan kesejahtraan sosial pekerja yang memakan anggaran negara Weimar begitu banyak. Pemborosan di bidang sosial ini di masa ketika dunia tengah mengalami kelesuan akibat Perang Dunia I mengakibatkan Weimar punya hutang yang banyak.[23] Krisis keuangan Weimar ini semakin diperparah dengan jatuhnya pasar saham di Amerika .[24]
Kritik atas praktik politik dan pemahaman Sosial Demokrat Jerman ini mengemuka dalam tesis X-XIII. Pada tesis X, Benjamin menyatakan bahwa kemunculan gemilang fasisme adalah konsekuensi dari optimisme berlebihan dari para pemimpin kiri yang melihat materialisme historis sebagai keotomatisan sejarah yang berujung pada kemenangan kaum proletar di akir sejarah, sebuah penyelesaian oleh materialisme sejarah sebagai penyelamat di akhir sejarah; di samping itu juga kompromi politik dan ekonomi mereka.[25] Lebih lanjut tentang awal tesis XI, Benjamin menulis demikian[26]:
The conformism which has been part and parcel of Social Democracy from the beginning attaches not only to its political tactics but to its economic views as well. It is one reason for its later breakdown. Nothing has corrupted the German working class so much as the notion that it was moving with the current. It regarded technological development as the fall of the stream with which it thought it was moving.
Kita melihat bahwa ada beberapa poin yang bisa kita dapatkan pada kesempatan ini menyangkut teleologi dari materialisme historis yang coba dibersihkan oleh Benjamin . Pertama, Benjamin memberikan konsep baru tentang sejarah bukan sebagai sebuah tatapan terhadap thelos akhir yang ada di masa depan melainkan tatapan terhadap masa lalu yang adalah kehancuran. Subyek sejarah yang paham akan masa lalu ini, dimungkinkan untuk mendapatkan keselamatan; keselamatan yang adalah usaha diri subjek sejarah untuk menghentikan kehancuran yang mungkin terjadi di masa sekarang. Karena, masa depan adalah masa depan dari masa lalu. Masa lalulah yang memungkinkan masa depan, maka masa kini bukan hanya bersifat persinggahan semata. Masa kini berperan memahami masa lalu sehingga masa lalu yang nantinya muncul dari yang sekarang dalam keterlemparan ke masa depan selanjutnya, reruntuhannya sudah diselamatkan oleh masa sekarang yang sebelumnya. Kedua, Benjamin mengkritik pemahaman materialisme historis dengan kepercayaan pada thelos di akhir sejarah secara doktrinal yang dianut (sejauh pembacaan ini) Sosialisme Demokratis Jerman pada masanya. Benjamin menekankan pentingnya pemahaman akan masa lalu dan juga pentingnya memahami masa sekarang sebagai sesuatu yang sama dengan keseluruhan sejarah umat manusia. Maka, menyelamatkan sejarah umat manusia bukan melalui harapan akan penebusan sebagai akhir sejarah, melainkan bagaimana penebusan itu diupayakan pada masa sekarang.
Setelah kita melihat apa yang diusahakan Benjamin dalam GT, sekarang kita akan coba masuk pada pemahaman materialisme historis yang dikritik Benjamin . Bagian berikut adalah pemaparan seputar basis dan suprastruktur yang oleh Benjamin coba direvisi dengan mengatakan bahwa suprastruktur pun pada saat tertentu bisa menentukan basis.
BASIS DAN SUPRASTRUKTUR
Salah satu kalimat terkenal Marx tentang sejarah adalah kutipan dari karyanya bersama Engels yakni Manifesto Komunis. Dia menulis di sana bahwa perjalanan sejarah adalah pertentangan antarkelas[28] :
The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.
Free man and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another…
Basis ini ditentukan dua hal penting yakni tenaga-tenaga produktif yakni kekuatan-kekuatan yang dipakai masyarakat dalam mengerjakan dan mengubah alam dan hubungan-hubungan produktif yakni hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Sedangkan bangunan atas terdiri dari dua unsur yakni tatanan institusional yakni segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, dll dan tatanan kesadaran kolektif yakni yang memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna dan orientasi spiritual pada usaha manusia.[29]
Perjalanan sejarah berdasarkan pendekatan materialisme historis yang menjelaskan seputar wilayah praksis sebagai produksi kebutuhan utama manusia ini digambarkan Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State. Dalam buku ini secara lugas digambarkan oleh Engels tahapan-tahapan perubahan masyarakat berdasarkan caranya mendapatkan kebutuhan pribadinya. Pada awalnya unsur alamlah yang menentukan perkembangannya. Selanjutnya, pengefisiensian atas kerjalah, yang dimungkinkan oleh penemuan-penemuan, menentukan perubahaan selanjutnya. Perubahan yang didasari oleh material alam dan cara pengefektifan kerja menentukan gerak perubahan masyarakat. Hal ini berjalan seiring dengan perubahan dalam sistem kepemilikan properti.
Mengenai basis dan suprastruktur yang saling mempengaruhi ini, ada baiknya kita menggambarkannya dalam contoh. Misalnya, kita ambil contoh dalam sejarah, ketika dalam masyarakat Indonesia kepemilikan tanah seutuhnya adalah milik raja atau suku-suku tertentu, dan kerja dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk sembah bakti pada raja dan dihayati sebagai pengejawantahan “dewa” di bumi, maka nilai-nilai kehidupan bernegara yang dianutnya pun adalah raja yang melindungi rakyat. Namun ketika swastanisasi terjadi sehingga orang-perorangan bisa memiliki tanah dan juga alat-alat lainya, pandangan hidup bernegara pun berubah; bukan lagi raja tetapi pemerintah yang adalah pilihan rakyat sendiri. Pada titik tertentu suprastruktur (ideologi dan kepercayaan) pada titik tertentu akan berbalik dan menjadi sesuatu yang mendominasi manusia untuk menjalankan hidupnya. Mari kita ambil sebuah contoh lagi demikian, masyarakat Indonesia tradisional punya semangat menerima takdirnya. Manusia diciptakan berbeda-beda dengan tugasnya masing-masing makadari itu jalani saja apa yang menjadi nasibmu di dunia ini.
Kita melihat di sini bahwa pada momen tertentu ideologi itu atau bangunan atas itu akan menentukan bangunan bawah pula. Jadi, bisa dikatakan di sini bahwa pada posisi pertama, basis selalu menentukan bangunan atas. Namun dalam perkembangannya, bangunan atas ini akan berkembang sedemikian rupa dan mengalami ‘pengindependensian’ dirinya sehingga bisa berbalik menentukan proses pada bangunan bawah.
Bahwa suprastruktur tidak selalu ditentukan oleh basis ini sudah disadari pula oleh Marx dan Engels . Dalam suratnya kepada Joseph Bloch di Koenigsberg bertarik 21(-22) September 1890, Engels menulis demikian[30]:
...According to the materialist conception of history, the ultimately determining element in history is the production and reproduction of real life. More than this neither Marx nor I have ever asserted. Hence if somebody twists this into saying that the economic element is the only determining one, he transforms that proposition into a meaningless, abstract, senseless phrase. The economic siutation is the basis, but the various elements of the superstructure—political forms of the class struggle and results, to wit: constitutions established by the victorious class after a successful battle etc., juridicial forms, and even the reflexes of all these actual struggles in brains of participants, political, juristic, philosophical theories, religious views and their further development into system of dogmas—also exercise their influences upon the course of historical struggles and in many cases preponderate in determining their form.
Pemahaman ini melandasi pula kritik sastra Marxisme dengan salah satu pemikir pentingnya saat ini, Terry Eagleton . Eagleton berdasarkan apa yang dikatakan Engels ini menekankan bahwa kritik sastra Marxisme bukan sekadar cerminan pasif basis meskipun ia adalah bagian dari suprastruktur. Maka, seperti yang sudah kita uraikan di atas, basislah—pada pokok utamanya—yang menentukan bangunan atas. Namun dalam perjalanannya, bangunan atas ini bisa pula menentukan basis, seperti yang sudah kita perlihatkan dari contoh di atas; sesuatu yang oleh Engels dan Marx sudah disadari sedari awalnya.
PENUTUP
Kesalahan yang ditunjukan Benjamin adalah penerjemahan dan pemahaman kaum Sosial Demokrat Jerman saat itu yang menerima akhir sejarah sebagai thelos dokrinal dari materialisme historis. Pemahaman yang seperti ini salah satu dampaknya, seperti yang diutarakan oleh Matthias Fritsch justru mendekatkan pada pemahaman sejarah a la borjuis[31] pada titik di mana kita tinggal duduk menunggu datangnya akhir sejarah itu. Walter Benjamin lantas menunjukan unsur penting sejarah yakni pemahaman akan masa lalu (dimetaforakan dalam malaikat yang ternganga akibat masa lalu yang dilihatnya) yang memungkinkan loncatan masa kini terhadap masa nanti yang adalah juga tatapan akan masa lalu yang berikutnya, karena sejarah itu linear dan terus melaju ke depan. Walter Benjamin sama sekali tidak memikirkan soal akhir sejarah sebagai sebuah janji manis tentang keselamatan. Baginya keselamatan harus diusahakan pada Waktu Sekarang karena Waktu Sekarang adalah sebuah momen yang mewakili keseluruhan sejarah peradaban manusia.
Pemahaman yang keliru kedua adalah perihal basis yang melulu menentukan suprastruktur sebagaimana dipahami oleh kaum Sosialis Demokratis Jerman . Benjamin merevisinya dengan mengatakan bahwa suprastruktur pun pada bidang-bidang tertentu turut menentukan basis. Hal ini ternyata juga sudah dipahami oleh Marx dan Engels .
Bagi saya sumbangsih terpenting Walter Benjamin dari GT-nya ini adalah ia berhasil menunjukkan bahwa materialisme historis tidak bisa dipahami sebagai perjalanan sejarah dengan janji Keselamatan di akhir sejarahnya. Keselamatan itu harus diradikalkan dan diejawantahkan pada masa sekarang. Hal ini dimungkinkan oleh pemahaman yang utuh atas masa lalu karena unsur masa lalu justru penting dalam sejarah. Sedangkan imajinasi masa depan yang bagaikan Firdaus tidak lagi diperhitungkan Benjamin . Usaha membawa Keselamatan pada Waktu Sekarang adalah aksi yang harus diambil subyek sejarah Benjamin .
CATATAN KAKI
[1] Gesichtsphilosophische Thesen ini adalah judul yang dipakai dalam buku Illuminationen: Ausgewāhlte Schriften, (Frankfurt a. Mein: Suhrkamp Verlag, 1961). Ueber den Begriff des Gesichte juga dipakai sebagai judul tulisan ini. Dalam terjemahan Inggris, ada yang mengiktui judul kedua, misalnya Harry Zohn menerjemahkannya, Theses on the Philosophy of History. Judul kedua dipakai misalnya misalnya dalam buku editan Andrew Benjamin , Walter Benjamin and History, dan juga buku karangan Uwe Steiner , Walter Benjamin : An Introduction to His Work and Thought.
[2] Walter Benjamin , Illuminations: Essays and Reflections, diterjemahkan oleh Harry Zohn , (New York: Schocken Books, 1968), 253.
[3] “Teleology. Ancient Greek philosophy, philosophy of science, philosophy of religion [from Greek telos, the end or aim of a thing + logos, study] Aristotle assumed that everything that happens in the universe must be understood as the striving of something toward an end promoting its well-being or helping it to survive. He ascribes telos to plants and animals, believing that their behavior serves their needs and preserves their life. In view of the regularity in the natural world, he claims that nature itself must have an internal end or purpose. Aristotle did not admit a conscious, rational agent in his teleological explanation, but in the teleological argument or argument from design, the Christian tradition infers from the regularity in nature that there is a supernatural designer, God, who designed everything in the world to be of service to man. The theory of evolution denies the need to posit a purposive designer, but confirms that functional adaptation serves a purpose of survival in natural selection. Since purposive and functional activities are observed universally, teleology is much discussed in the philosophy of science. Whether functional or teleological explanation is a distinctive kind of explanation or can be reduced to causal explanation is a matter of controversy.” Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu , The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford dan Victoria : Blackwell Publishing, 2004), 680.
[4] “Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan ia secara langsung berlawanan dengan metode Hegel . Bagi Hegel , proses berpikir, yang bahkan ditransformasikan menjadi suatu subyek independen, dengan nama Idea adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari Ide itu. Bagi saya sebaliknya, yang ideal itu tidak lain dan tidak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.” Karl Marx , Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik . Buku Pertama : Proses Produksi Kapital , diterjemahkan oleh Oeh Hay Djoen, (Jakarta : Hasta Mitra , 2004), xxxix.
[5] Baca pemaparan Martin Suryajaya tentang buku The German Ideology ini dalam makalahnya untuk diskusi Komunitas Marx 18 April 2011 di Kampus STF Driyarkara yang diterbitkan juga di Problem Filsafat: Buletin Komunitas Marx, No. 9/Tahun I/Mei 2011.
[6] Uwe Steiner , Walter Benjamin: An Introduction to His Work and Thought, diterjemahkan oleh Michael Winkler , (Chicago dan London : The University of Chicago Press, 2010), 169.
[7] Lihat Paul Budi Kleden dalam Frans Ceunfin dan Felix Baghi , Mengabdi Kebenaran: Menyongsong HUT ke-80 P. Jozef Pieniazek SVD, (Maumere: Penerbit Ledalero , 2005), 100.
[8] Andrew Benjamin dalam Andrew Benjamin (ed ), Walter Benjamin and History, (London dan New York : Continuum, 2005), 1.
[9] Bagian ini bersumber utama dari David Ferris , The Cambridge Introduction to Walter Benjamin, (Cambridge : Cambridge University Press, 2008), 1-21, dengan beberapa referensi lain sebagaimana ditunjukan oleh keterangan-keterangan selanjutnya.
[12] Esther Leslie , Walter Benjamin, 25 dan 28.
[13] Eric D. Weitz , Weimar Germany : Promise and Tragedy, (Princeton: Princeton University Press, 2007), 7.
[14] Tesisnya ini tak pernah mendapatkan pengakuan akademis karena tak berhasil mendapatkan pembimbing oleh karena beberapa alasan. Namun disertasinya tersebut belakangan terbit dengan judul The Origin of German Tragic Drama (Ursprung des deutschen Traurspiels).
[18] Angelus Novus merupakan lukisan karya Paul Klee (1879-1940) seorang pelukis Swiss. Angelus Novus ini lantas menjadi simbol dari pemikiran Walter Benjamin tentang sejarah.
[20] Matthias Fritsch , The Promise of Memory: History and Politics in Marx , Benjamin , and Derrida, (New York : State University of New York Press, 2005), 31.
[21] Walter Benjamin , Illuminations…, 263.
[22] Lihat juga pemaparan perihal Angelus Novus ini dari Paul Budi Kleden , 103-108.
[23] Sedangkan untuk Eropa pasca Perang Dunia II , kita tahu bahwa kestabilan ekonomi di sana dibantu oleh Amerika lewat Marshal Plan. Salah satu contohnya adalah lebih cepat kembali sejahtranya masyarakat Jerman Barat karena mereka mendapatkan bantuan ini sedangkan Jerman Timur masih berkesulitan penghidupannya.
[25] Howard Caygill , 216.
[26] Walter Benjamin , Illuminations…, 258.
[27] Matthias Fritsch , The Promise of Memory…,32.
[28] Karl Marx dan Friedrich Engels , Economic and Philosophy Manuscript of 1844 and Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Promotheus Books, 1988), 209.
[29] Frans Magnis-Suseno , Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme , (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), 143-145.
[30] T. Borodulina (peny.) K. Marx , F. Engels , V. Lenin On Historical Materialism: A Collection, (Moscow: Progress Publishers, 1972), 294.
[31] Matthias Fritsch , The Promise of Memory…, 32.
Bunnin, Nicholas dan Jiyuan Yu . 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Oxford dan Victoria : Blackwell Publishing.
Fritsch, Matthias. 2005. The Promise of Memory: History and Politics in Marx , Benjamin , and Derrida. New York : State University of New York Press.
Kleden, Paul Budi . 2005. Frans Ceunfin dan Felix Baghi (eds.), Mengabdi Kebenaran : Menyongsong HUT ke-80 P. Jozef Pieniazek SVD. Maumere: Penerbit Ledalero .
Weitz, Eric D. 2007. Weimar Germany : Promise and Tragedy. Princeton: Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar