Minggu, 06 Februari 2011

BERGUNJING


Lelaki Tua itu duduk di bawah monument segi empat di sebuah taman kota asing. Kau tahu? Hari ini dia baru saja kehilangan tempat tinggal. Rumah mungilnya tiba-tiba terbang ke angkasa dan menghilang menjadi titik merah di tengah matahari. Istrinya yang terlelap berteriak panik ketika didapatinya kakikaki tempat tidur mereka mencair menjadi lahar panas. Boneka Barbie milik cucunya yang tergeletak di lantai—cucunya sudah dijemput istri anaknya kemarin sore pukul enam setelah istri anaknya pulang dari tempat kerjanya di bilangan Sudirman—hanyut terbawa lahar panas. Si Barbie melonjak seketika. Pantatnya panas.

Si Istri melompat turun dari tempat tidur. Ia lalu cepatcepat mengambil telepon genggam dari laci lemari dan sambil berpakaian ia menelepon taksi antar planet. Setengah jam lagi taksi tiba di titik koordinat yang disebutkannya—tentu saja tidak susah menemukan rumah mungil yang terbang itu seandainya pun ia berpindah agak jauh, melenceng dari titik koordinat yang disebutkan. Lagi pula nomor telepon Si Istri sudah dicatat oleh operator taksi.

Semesta sudah berubah dan dunia bisnis sudah merambah dan menjajah wilayah public yang paling public sekalipun, sehingga dalam keadaan segawat ini orang lebih memilih menelepon perusahaan taksi ketimbang polisi atau ambulans. Polisi dan Rumah Sakit hanya melayani mereka yang sudah mengikuti Asuransi Keselamatan Jiwa. Sedangkan Lelaki Tua dan Istrinya lebih memilih memasukan kelebihan pendapatan mereka pada Asuransi Pendidikan untuk anak-anaknya—anak pertama mengambil jurusan Sejarah Galaksi dengan pengkhususan Sejarah Kehancuran Bintang Belinda; anak kedua mengambil jurusan Tata Ruang Satelit. Ini jaman ketika Marx, Engels, Adam Smith, Petty, Richardo, bahkan Hayek sekuno Merpati Pos. Pada akirnya semua hal adalah artefak sejarah yang ditendang sang waktu ke mulut Lubang Hitam yang siap menghisapnya dan memindahkannya ke dimensi waktu yang lain. Lelaki Tua dan Istrinya sebenarnya punya anak ketiga. Namun ketika Badan Kependudukan mengendus keberadaan anak ketiga itu, mereka lantas membawa anak kecil itu ke mulut Lubang Hitam dan melemparkannya ke sana. Mungkin anak itu menjelma Dylan, Lucas, atau Yesus; hanya Tuhan yang tahu.

Ketika Si Istri tiba di Mars dengan berbekalkan dua potong celana dalam, sekotak rokok elektronik, dan kartu tabungan, Lelaki Tua berpindah dari monument segi empat ke monument belah ketupat di taman itu. Seekor merpati yang terlihat bosan hidup karena berusaha melepas chips di kalungnya hinggap di ujung teratas monument segi empat.

Seorang Lelaki muda gondrong memainkan lagu requiem dengan flutenya.

Lelaki Tua duduk selonjoran. Lutut kaki kanannya membentuk segi tiga menjulang ke atas dengan kedua tangan bertumpu padanya. Lagtu requiem membuat lebih nyata kematian istrinya di matanya. Ia melihat titik merah yang pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak dikenali. Lagu requiem sudah sampai di penghujung. Lelaki Tua bangkit dari duduknya, berlari cepat menghampiri lelaki gondrong yang memainkan requiem dari flutenya lantas memberinya sebuah bogem mentah dari belakang, tepat di tengkuknya. Pemain Flute itu terjerembab ke depan, menabrak papan partitur dan flutenya terlempar dua meter ke depan. Seorang anak lelaki lima tahun dengan kebinaran mata kehidupan pertama memungut flute itu sambil tertawatawa. Ibunya memarahinya dan merampas flute dari tangannya lantas meletakannya kembali di rerumputan. 10 ekor merpati berhamburan ke luar dari rumahnya ketika teman si Pemain Flute menghantamkan rumah sebuah cello ke perut Lelaki Tua. Lelaki Tua jatuh terpental. Penjual kopi keliling menggeletakan begitu saja sepedanya di rerumputan lantas meninju teman si pemain flute. Kedua orang itu adu jotos.

Sesungguhnya mereka tergabung dalam komunitas pencinta alat music tiup dan gesek yang saban hari minggu berkumpul di taman itu.

Seorang perempuan tua menyanyikan lagu lawas. Mungkin donna-donna, mungkin juga bukan.

Beberapa orang datang melerai dan taman itu kembali jadi normal.

Lelaki tua tetap terbaring terlentang.

Istrinya di Mars pada waktu yang sama baru saja membeli tiket Pesawat Ulang Alik ke bumi. Pesawat itu berangkat setengah jam lagi dan SI Istri masuk ke sebuah warung kopi. Gadis cantik meamerkan senyumnya pada Si Istri. Lelaki separuh baya berkaca mata hitam tengah menyaksikan pertandingan bola dari handphone-nya. “satu kosong,” ujarnya tanpa ekspresi lantas meneguk kopi beraroma Kayu Manis dari gelasnya.

LELAKI TUA TERUS TERBARING. DUA PEREMPUAN PUALAM ABUABU MEMPERGUNJINGKANNYA LANTAS MEMANDANG KE ARAH SEORANG LELAKI PULUHAN TAHUN BERAMBUT KAWAT. Lelaki itu seperti sedang menulis sesuatu di samping seorang perempuan berjam tangan dan rambut dikuncir yang juga seperti sedang menggoras-gores sesuatu.

“Napa sih tuh orang. Ya kalau mau cerita yang bagus-bagus dan keren gitu loh.”

“Ga ngerti. Kali lagi gila.”

“Gimana kalo ni Lelaki Tua terus terkapar di kaki kita? Kan bĂȘte? Di amah datang sesekali. Kita kan selalu di sini.”

“Lagian kalau Lelaki Tua mulai membusuk, repot ya.”

“Ngapain juga ngajakngajak kita masuk ke kertasnya?”

“Nah kalau itu, lu harus nyalahin perempuan di sampingnya itu. Atau posisi kita yang terlalu tepat di depan matanya. Yah, gimana lagi, jadi deh kita jadi objek gambarnya.”

“Ya sudahlah. Manusia. Bebas.”

Lelaki itu menghela nafas lantas melirik gambar buatan kekasihnya yang duduk di sampingnya. Lelaki itu berpikir untuk menghentikan tulisannya sekarang juga.


*Catatan: dan tulisan ini dibuat ketika sebuah gambar di buat ketika sebuah hujan mengganggu aktifitas ketika sebuah keinginan ditertawakan hujan dan mungkin saja ketika keinginan itu ditertawakan hujan sebuah besi seukuran jari kelingking orang dewasa sudah tercecer entah di mana.

Tidak ada komentar: