Saya sedang bercengkrama dengan hujan dan dua kendaraan dalam badai.
Di utara Jakarta tepatnya jalan menuju Cilincing, bar-bar kecil dengan perempuan berpakaian, pelaut-pelaut yang menghibur diri, mungkin setelah enam bulan tak menghirup udara. Saya juga sebenarnya agak bodoh malam ini mengiakan untuk menemani dua kawan itu ke Tanjung Priok. Mengambil sesuatu yang mungkin bisa menghangatkan malam mereka. Yah, ujung-ujungnya hp saya uring-uringan karena terkena hujan malam yang laknat dan saya kira sms-sms saya tersendatsendat entah di mana, lantas saya teringat Sang Juwita Malam, mungkin dia tertidur, dan ini sedang hujan lebat sekali, mungkin hanya di Utara Jakarta hujan turun. Saya lantas mengsmsnya lagi di tengah hujan itu, walau saya sedikit yakin bahwa dia akan membaca sms itu beberapa jam lagi.
Dingin malam, container dan kendaraan gandeng yang begitu berseliweran dari Priok ke arah Cilincing dan dari arah Cilincing mengabarkan pada usaha tak pernah berhenti dari hidup yang sekarat. Jalanan penuh lubang dan kami semua warga Jakarta Timur bukan Jakarta Utara. Kawan saya mengendarai motornya hanya dua tiga langkah dari sebuah bus gandeng. Saya takut dia terlampau terganggu oleh hujan dan kami harus berurusan dengan container itu. Dia bilang itu salah satu cara supaya tak terlalu diterpa hujan dari depan. Saya mengiakan sambil terus melihat ke kiri dan ke kanan, jalanan Priok Cilincing di malam hari. Ada kafe-kafe berlampu remangremang, satpam yang terkantung. Tak ada tukang parkir, jalanan berlubang, container, drum, banjir, ah Jakarta ah kehidupan.
Sesungguhnya hujan itu berbau asin dan genangan air yang bercipratan mengenai celana panjang hingga lutut itu pun berbau asin. Sudah lama saya tak berhujanhujan seperti ini; mengingatkan pada masa lalu, mengingatkan pada harihari dengan keresahan yang tak pernah menunjukan batang hidungnya.
Namun marx pernah bilang kalau manusia itu tidak bisa menjadi kanakkanak lagi; artinya sejarah itu berjalan ke depan. Itulah kenapa mungkin beberapa tahun, satu atau dua tahun ini tepatnya, saya sungguh tega dengan masa lalu. Lain kali akan saya bahas lebih lanjut soal itu.
Perjalanan pulang lebih cepat setelah bertedu di titik randevu dan seorang kawan yang dituju datang dengan apa yang hendak diambil. Sedikit berbincang dengan janji bertemu keesokan hari lagi. Saya semakin kagum dengan kawan satu itu yang menempuh jarak begitu jauh selama beberapa tahun ini. Enam tahun dan hidup menjadi lebih patut ditertawakan.
Splaaaaaaaas.!!!! Dan hp saya masih galau dengan air yang menerpanya. Dan pakaian di jemuran semakin basah dan sepertinya tak akan kering esok hari. Dan sebatang filter tak mampu mengusir dingin. Dan malam masih tetap menjadi malam dan dingin masih tetap menjadi dingin dan hidup masih tetap patut untuk dihidupi dan tak ada lagu dan tak ada cahaya dan tak ada busway, seorang penjaga malam berganti tugas jaga dengan kawannya, seekor anjing tak tahu harus ke mana, kecoa kegenjet pintu. Lantas malam, siang, senja, memanggilmanggil untuk digauli. Lantas malam, siang, senja, memanggilmanggil untuk dimaknai. Lantas malam, siang, senja, memanggilmanggil. Lantas malam, siang, senja, menjadi lantas, tas, tas, tas… seperti bunyi tetes air dari ujung bajumu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar