Jika membaca judul di atas mengingatkan anda pada sebuah film, saya tak akan menyalahkan anda. Apalagi kalau setelah itu anda mulai mengatakan, “Bung, pasti kau sudah nonton New York I Love You”. Saya pun tak akan menyalahkan anda.
Malam ini, ah, tetapi saya terganggu dengan suara yang tak juga keluar dari loud speaker saya dan delapan koma lima mega bait yang tersendatsendat. Menunggu adalah kegiatan menyebalkan apalagi anda tahu bahwa yang kau tunggu bisa datang seketika namun karena kekurangan finansialmu untuk merubah lima ratus mega bait menjadi satu giga atau dua giga membuat hal itu tak mungkin terjadi.
Sekarang saya akan memanaskan air. Kau tahu, memanas-manasi air untuk berkelahi dengan udara adalah tidak mungkin. Sesungguhnya benda-benda seperti itu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia pada sejarahnya tak pernah konflik satu sama lain. Herannya, manusia yang hidup oleh mereka justru berkonflik. Nah ini dia. Ternyata, konflik manusia itu bersumber juga dari merekamereka ini, bendabenda yang bebas seharusnya diambil oleh manusia tetapi lantas dikuasai seiring berjalannya waktu—silahkan anda membaca Engels, The Origin of The Family…, lantas anda bandingkan dengan Emmanuel Levinas, di karyakarya awalnya, terlebih ketika dia berbicara tentang the hand.
Sebentar. Saya rasa saya harus jujur pada anda untuk betul-betul memanaskan air sekarang.
Nah, perihal 500 mega bait diganti dengan satu giga atau dua giga itu sebenarnya tak usah kau pedulikan benar.
Pasalnya ada seseorang di New German Review—nomor 20 kalau tak salah—menekankan hubungan konsep sejarah menurut Nietzsche dengan Gesichtephilosophie Thesen-nya Benjamin. Saya juga belum bacabaca benar soal itu, sejarah kemarin, kini, dan supra sejarah bersandingkan dengan barbarianisme, moment messianic, blab la bla bla… saya hanya membukabuka saja arsip lama setelah salah seorang teman mengingatkan untuk coba itu liriklirik New German Review. Berbahagialah kalian karena saya sudah terlampau malas untuk membuka kembali NGR itu. Jika tidak, saya akan terlihat seperti orang pintar sekali.
Nah, sekarang air yang saya panaskan tadi hampir mendidih. Problemnya adalah saya tak memiliki rokok. Kirakira apa solusinya? Hem, tanpa perlu panjang lebar berpikir kita semua sudah tahu; yah ambil saja recehanmu sejumlah dua ribu rupiah, jalan sebentar dan dapatlah kau dua batang rokok. Tak ada yang membedakan kita dengan kepala berisi pasir ini dengan para ilmuwan. Bedanya, ilmuwanilmuwan itu menyibukan diri dengan problem yang bila direntangkan sama dengan perjalanan dari Jakarta ke Surabaya tetapi dari Jakarta anda bergerak ke barat dan sampai di Surabaya anda muncul dari timur. Asyik bukan? Sedangkan kita hanya berlehaleha dengan urusan yang tak lebih besar dari setitik abu rokok. Oke, sekarang saya benarbenar harus pergi membeli rokok.
Jadi, sebenarnya gampang saja bila anda hendak jadi pintar; rajinrajinlah belajar. Coba bayangkan ketika anda sedang duduk berdua dengan salah seorang kawan anda yang dalam sejarah hidupnya, perihal pendidikan sekolah bukan sesuatu yang dapat dibanggakan oleh si kawan ini. Bertanyalah anda padanya, ”hey, lu mau pintar.” Ada beberapa kemungkinan jawaban alias situasi yang akan anda temui saat itu. Untuk lebih menyederhanakan, kita andaikan saja bahwa kawan anda itu berkata “ya” atau “tidak”. Tak perlu kita pusing dengan kemungkinan kawan anda itu langsung menghujam lidah anda dengan ujung rokok membara atau kawan anda itu langsung merobek ijasah pertemanan kalian di mata anda.
Nah, jika ia berkata “tidak” maka tugas anda selanjutnya adalah menghentikan topik pembicaraan itu. Namun jika ia berkata “ya”, tugas anda hanya satu. Sambil menjentikan jari kelingking yang berpautan dengan ibu jari, anda berkata, “gampang! Lu tinggal belajar dengan rajin aja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar