Sabtu, 26 Desember 2009

Problem Sokrates yang Tetap Jadi Problem


Pendahuluan
Nietzsche terkenal sebagai fisuf palu godam. Hampir semua pemikir sebelum dia, tak ada yang lolos dari ketukan palunya dan pemikir-pemikir setelah Nietzsche harus menimbang baik-baik proyek pemikiran mereka dan memeriksa baik-baik diri mereka sendiri di depan palu godam Nietzsche. Dengan palu godamnya ini, Nietzsche menempati posisi yang vital sekaligus unik dalam tradisi filsafat barat modern yakni sebagai “garis batas” zaman modern dan zaman setelahnya. Dalam General Introduction untuk buku The Nietzsche Reader, editor buku itu (Keith Ansell Pearson dan Duncan Large) menyatakan bahwa Nietzsche menjadi poin teramat penting dalam kultur intelektual dalam abad 21 ini bersama Marx dan Freud ( Lih. Keith Ansell Pearson dan Duncan Large (editor), The Nietzsche Reader, (Oxford: Blackwell Publishing Ltd), 2006, hlm. xviii. Lihat juga catatan kaki 1 di halaman yang sama, di mana diungkapkan bahwa Paul Ricoeur termasuk yang melabeli ketiganya sebagai school of suspicion.). Jadi, Nietzsche bukan hanya mengakhiri zaman modern melainkan filsafat setelahnya (abad 20 dan abad 21) sangat dipengaruhi oleh pemikirannya (Hal ini ditekankan juga oleh F. Budi Hardiman dalam Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 257).
Salah satu yang bisa kita sebut sebagai pukulan godam Nietzsche terhadap para pemikir sebelum dan sesudahnya adalah penilaian Nietzsche terhadap siapa saja (filsuf) yang sangat getol untuk menemukan kebenaran. Menurut Nietzsche, mereka-mereka yang sangat ingin membuka tabir kebenaran diumpamakannya sama seperti anak muda Mesir yang membuka selubung patung Dewi Kebenaran. Dan ketika selubung itu sudah terbuka, anak-anak muda ini begitu bahagianya. Padahal, di belakang selubung itu, masih ada selubung lain lagi. Selain itu, Nietzsche dengan metode genealoginya memberi sebuah pertanyaan reflektif untuk siapa pun bahwa ada apa dengan dirimu, dengan kehendakmu, ketika engkau menghendaki sesuatu? Entah itu kehendak atas kebenaran atau tujuan akhir dari sesuatu. Bagi Nietzsche, mereka yang mencari kebenaran, tujuan, dan pendasaran atas hidup adalah mereka yang bertipe dekaden, sebaliknya tipe anseden adalah mereka yang menerima hidup apa adanya, menerima hidup seperti keriangan sosok seorang bayi yakni menghadapinya dengan ya yangberjarak sekaligus dengan tidak yang berjarak; sebuah sikap waspada dan main-main sekaligus di depan kehidupan.
Salah satu pemikir yang mendapat kritikan atau dicap Nietzsche sebagai yang bertipe dekaden adalah Sokrates. Hal ini bisa ditemukan dalam tulisan Nietzsche berjudul The Problem of Socrates (Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ diterjemahkan oleh R. J. Hollingdale (Middlesex: Penguin Books), 1974, hlm. 29-34. Kutipan dari teks The Problem of Socrates selanjutnya merujuk ke teks ini.). Tulisan ini mencoba membaca teks The Problem of Socrates untuk menemukan di dalam teks itu seperti apa tuduhan-tuduhan Nietzsche pada Socrates dan sebisa mungkin mencari kesinambungan tuduhan Nietzsche tersebut dengan penikiran-pemikirannya yang lain di luar teks The Problem of Socrtases.

Menghakimi Mereka yang Berjarak
Teks The Problem of Socrates (PS) berciri-khas yang sama dengan kebanyakan teks Nietzsche lainnya yakni berbentuk aforisme-aforisme, tidak sistematis, tidak seperti tulisan akademis lainnya.
Membaca teks Nietzsche, konsekuensi dari gayanya yang tidak sistematis akademis namun lebih bersifat sastrawi ini, kita harus selalu menyadari kekayaan makna yang bisa didapatkan dari kalimat-kalimat berciri demikian. Membaca teks Nietzsche, kita tak perlu bersusah payah untuk menguliti teks tersebut untuk mendapatkan apa yang hendak disampaikan penulisnya. Karena, Nietzsche sendiri tidak menganjurkan pembacanya untuk mengikuti dia, melainkan mengikuti jalan si pembaca itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran yang beragam adalah suatu konsekuensi logis (Hal ini seperti diungkapkan A. Setyo Wibowo dalam bukunya Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press), 2004, terutama bagian Pengantar Penulis dan Bab I. Penulis buku tersebut menambahkan pula bahwa, nanti akan bisa dilihat, tafsiran mana yang bergaya dekaden atau ascenden. Bagi Nietzsche sendiri, seperti yang dikupas dalam buku ini, bahwa ada orang yang cukup kuat untuk masuk ke kedalaman dan ada juga yang tidak cukup kuat sehingga cukuplah untuk tidak masuk ke kedalaman. Buku Gaya Filsafat Nietzsche juga menjadi sumber utama dalam penulisan tulisan ini.).
Nietzsche membuka The Problem of Socrates dengan kalimat demikian:

In every age the wisest have passed the identical judgement on life: it is worthless.

Nietzsche menunjukan bahwa ada pandangan negatif dari para pemikir terhadap kehidupan. Pada hemat penulis, kehidupan yang dipandang negatif itu adalah objek refleksi dari para pemikir sendiri untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Bagaimana pun juga, pemikir adalah manusia yang tinggal di bumi. Dengan demikian, para pemikir dalam teks ini sebenarnya sudah mengambil jarak dengan kehidupan itu sendiri. Bisa jadi jarak yang diambil ini bersifat hierarkis, dalam pengertian pemikir menganggap dirinya lebih tidak negatif dari pada dunia itu. Atau para pemikir tetap menganggap dirinya negatif, karena ia adalah bagian dari kehidupan, tetapi yang negatif yang terselamatkan karena ia menyadari kenegatifan itu. Dengan demikian, pemikir dan apa yang dipikirkannya telah berjarak. Bisa ditanyakan dengan demikian, sejauh apa sang pemikir bisa memahami apa yang dipikirkannya bila ia sendiri sudah berjarak dengan apa yang hendak dipahaminya?
Dari pembukaan yang seperti menghakimi semua pemikir itu, Nietzsche lantas membicarakan Sokrates yang baginya adalah ….shrewdest of all self-deceivers? (paragraf 12, kalimat 1, (PS)). Socrates bersama Platon bagi Nietzsche adalah orang-orang yang ikut membawa Yunani ke dalam kehancuran (Seperti yang dijelaskan A. Setyo Wibowo bahwa zaman Socrates dan Platon adalah zaman pasca perang saudara di Yunani. Sehingga Yunani pada saat itu memang mengalami kemunduran, entah di bidang kehidupan bernegara (kota), perdagangan, dan lain sebagainya. Mungkin yang dimaksud Nietzsche adalah juga kehancuran dalam pemahaman ini.). Kehancuran yang dimaksudkan Nietzsche di sini mungkin adalah kemunduran selera dari selera tinggi ke selerah rendah seperti yang diungkapkan dalam paragraf 5 (PS): It is above all the defeat of a nobler taste; with dialectics the rabble gets on top.
Pada intinya, bagi Nietzsche, Socrates dengan dialektikanya membuat orang Yunani yang sebelumnya menghayati hidup sebagaimana yang dihayatinya dalam kisah-kisah tragedi mereka yang bagi Nietzsche menunjukan sikap ya—tidak—yang berjarak terhadap hidup, beralih pada dialektika untuk mencari kebajikan. Padahal, seperti yang diungkapkan dalam paragraf 5 (PS), bagi orang Yunani sebelum Socrates, dialektika sangat dijahui dan dianggap tidak sopan.
Di paragraf 12 (PS), penulis menemukan sesuatu yang “lunak” setelah sebelum-sebelumnya Nietzsche begitu “garang” terhadap Socrates. Nietzsche membuka paragraf terakhir itu dengan pertanyaan bahwa apakah Socrates memahami hal itu (sebuah kemunduran yang ditawarkannya pada masyarakat Yunani). Nietzsche tidak menjawabnya secara pasti tetapi dengan nada ironi ia mengatakan bahwa Socrateslah yang ingin mati. Orang Athena tidak memberinya racun namun Socrates sendirilah yang memintanya (memaksa Athena memberikan itu padanya). Selanjutnya Nietzsche menutup The Problem of Socrates dengan kutipan langsung dari Socrates yang intinya menyatakan bahwa Socrates mengakui diri bukanlah seorang dokter dan ia sudah lama sakit.
Penulis mau mengartikan paragraf terakhir dari The Problem Socrates ini demikian:
Apakah Socrates memaksa Athena memberinya racun adalah karena Socrates dengan dialektikanya itu (diingat bahwa dialektika adalah sesuatu yang sebenarnya sangat dibenci dan dijauhi oleh orang Yunani sendiri) sendiri telah merencanakan bunuh diri? Karena Socrates sebagai orang Yunani, pasti tahu bahwa tradisi negeri itu tidak terlalu bersahabat dengan dialektika.
Ataukah karena Socrates sudah menyadari diri sebagai seorang yang sakit (goyah, tak kokoh, sebagaimana yang dituduhkan Nietzsche di paragraf 1 (PS)), sehingga ia mencari sebuah cara mati yang lebih terhormat?
Sebagai seorang filsuf yang tak mau diikuti, Nietzsche menyembunyikan hal-hal tertentu, atau membiarkan hal-hal tertentu bisa diartikan berbagai cara, sehingga mengandaikan pembacanya mencari tahu sendiri dengan jalannya sendiri. Dengan demikian, kata problem Socrates sendiri janganlah pula kita artikan secara satu bahwa Sokrates membawa masalah pada kemunduran masyarakat Yunani, melainkan harus pula bisa kita artikan atau kita cari cara mengartikan yang lain, karena teks ini sendiri pun tidak memberi jawaban akir. Membaca Nietzsche sepertinya memang memasuki sebuah dunia teka teki.





Daftar Bacaan:
Hardiman, F. Budi Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007
Nietzsche, Friedrich. Twilight of the Idols and The Anti-Christ diterjemahkan oleh R.J. Hollingdale. Midllesex: Penguin Books.1974.
Pearson, Keith Ansell dan Duncan Large (editor), The Nietzsche Reader, Oxford: Blackwell Publishing Ltd. 2006
Wibowo, A. Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press. 2004.

(ini tulisan dari seri kuliah hehehe)

HERAKLEITOS



Herakleitos lahir di Efesus, kira-kira pada tahun 540 SM. Ia sering pula dijuluki sebagai “si gelap” akibat karakternya, di mana ia begitu mengagungkan keningratannya dan sering mengasingkan diri dari publik. Ia sebenarnya mewariskan pada kita ribuan fragmen. Banyak dari fragmen-fragmennya itu bisa sampai pada kita saat ini berkat kerja keras dua Bapak Gereja yakni Clement dari Alexandria yang melihat Herakleitos sebagai nabi pagan dan Hippolytus dari Roma yang menganggapnya sebagai ayah spiritual dari Monarki Noetus yang bid’ah (Barnes, 1982). Ini mengakibatkan banyak sarjana yang membaca fragment-fragment Herakleitos dengan hati-hati dan berusaha untuk melepaskan teks-teks itu dari pengaruh pandangan Kristen Awal dan juga aliran filsafat Stoa.
Herakleitos bahkan mungkin pernah menulis buku karena ada sebuah anekdot dari Diogenes Laertius yang bercerita bahwa setelah Euripidies menyerahkan sebuah kopian buku Herakleitus pada Socrates dan bertanya tentang pandangan Sokrates atas buku itu, Sokrates menjawab: “apa yang saya pahami ini sangat bagus; dan apa yang saya tak mengerti pun sangat bagus juga. Tetapi dibutuhkan seorang penyelam Delian untuk mendapatkan dasar makna tulisan ini”. Fragmen ini menggambarkan bagaimana tulisan Herakleitos (maka juga pemikirannya) sulit dipahami, bahkan oleh Sokrates sekalipun.

Alam Sebagai Api
Sebagaimana para filsuf pra sokratik lainnya, Herakleitos pun menyibukan pemikirannya dengan pencaharian substansi pertama yang menjadi asal dari segala sesuatu (phusis). Maka, untuk Herakleitos, konsep dasar atau arche alam semesta adalah api. Sebab, api punya sifat yang selalu bergerak dan berubah dan tidak tepat.
“Kosmos ini, sama bagi semua, tidak pernah dibuat oleh manusia maupun tuhan, kosmos ini selalu ada, (sekarang) ada dan akan ada seperti api yang selalu hidup, menyala dan meredup sesuai waktunya (ukurannya)” (DK 22 B 30)
“Segala sesuatunya dapat dipertukarkan dengan API, dan API adalah alat tukar bagi segala sesuatu, sama halnya semua harta milik bisa dipertukarkan dengan emas, dan emas dengan segala harta milik.” (DK 22 B 90)
“Herakleitos berpendapat bahwa api periodik adalah tuhan kekal, bahwa Takdir adalah logos yang memunculkan segala hal yang ada lewat persaingan antar hal-hal yang berlawanan. –Herakleiots mengatakan bahwa segala sesuatunya muncul seturut Takdir dan bahwa Takdir itu sama dengan Keniscayaan.— Herakleiots mendukung pendapat bahwa esensi dari Takdir adalah logos yang menyebar dalam seluruh realitas. Realitas kita ini adalah sebuah tubuh dari ether (sesuatu yang transparan), benih dari mana semesta ini muncul dan (benih) bagi periode sesuai ukuran (waktu) yang sudah ditetapkan.” (DK 22 A 8 (Aetius 17:22)
“Ia mengatakan bahwa api berfungsi sebagai logos dan tuhan, memerintah segala hal, (api) berubah menjadi udara lalu bertransformasi menjadi kelembaban (…) yang lalu ia sebut sebagai lautan; dan dari lautan, pada gilirannya muncullah tanah, langit dan segala hal yang ada di dalamnya. Cara semua hal itu kembali lagi ke asal semula dan terbakar semuanya dalam api.” (DK Fragmen 31)
“Herakleitos… mengatakan bahwa api adalah prinsip utama, dan asal dari benda-benda lainnya yang ada dari api oleh pengembunan dan penipisan, dan berubah menjadi api kembali, ini adalah pokok dari alam; bagi Herakleitus, segalanya adalah penukaran api.” (Menurut Simplicius; dalam Barnes, 1982)

Perang Adalah Ayah dari Segalanya
Perang di sini dibaca sebagai kontradiksi.
“Harus mengerti bahwa perang itu sesuatu yang biasa, bahwa pertentangan adalah keadilan dan bahwa segala sesuatunya muncul dan mati seturut dengan pertentangan dan keniscayaan.” (DK 22 B 80)
“Hidup atau mati, bangun atau tidur, muda atau tua, semuanya sama saja, karena masing-masing berubah ke lawannya dan sebaliknya.” (DK 22 B 88)
“Herakleitos menyatakan bahwa yang Menyeluruh adalah terbatas (dan) tak terbatas, menjadi (dan) tidak menjadi, mortal (dan) imortal, logos kekal, ayah anak, tuhan adil, dan mengatakan : jangan dengarkan aku tetapi dengarkanlah logos, dan sangat bijaksana menerima bahwa yang Melenyuruh adalah satu.” (DK Fragmen 50)
“Tuhan adalah siang hari dan malam hari, musim dingin dan musim panas, perang dan damai, kekayaan dan kelaparan,(maksudnya segala hal yang bertentangan) ia mengambil bentuk yang beraneka ragam, mirip dengan minyak zaitun, saat dicampurkan dengan rempah tertentu, ia lalu diberi nama yang berbeda-beda sesuai dengan bau yang muncul darinya.” (DK Fragmen 67 dari Herakleitos)
Pada kontradiksi-kontradiksi ini, Herakleitos ingin menggambarkan bagaimana sesuatu yang stabilitas bisa menjadi keseimbangan yang dicapai oleh kekuatan yang berlawanan di dalam proses yang sama. Selain itu, sebuah pemahaman akan sesuatu bisa muncul ketika ada kontradiksinya yang dipahami. Atau bisa juga dikatakan bahwa sesuatu menjadi ada ketika ia mempunyai kontradiksinya. “Kenyang” bisa ada karena ada “lapar”. Tak bisa dibayangkan kalau “lapar” itu tak ada. Bisa-bisa, “kenyang” tidak berarti apa-apa atau malah tak ada sama sekali. Selain itu, hal-hal yang bertentangan bisa membangun suatu hal yang utuh.
Segala hal yang bertentangan adalah tuhan bisa dipahami sebagai; segala yang bertentangan itu adalah sebuah usaha mengada. Jadi pertentangan itu berfungsi sebagai faktor pendorong mengadanya sesuatu.

Segalanya dalam Proses Bergerak dan Berubah
Salah satu ucapan yang terkenal dari Herakleitos adalah Panta khorei kai ouden menei: segalanya berubah, dan tidak ada yang tetap tinggal. Dalam pemahaman ini juga, Herakleitos pernah berujar bahwa seseorang tidak bisa masuk ke dalam sungai yang sama dua kali.
“Bukankah Herakleitos yang mengatakan bahwa segalanya berubah dan tidak ada yang tetap tinggal; dan membandingkan segala sesuatu itu (benda-benda) dengan aliran sungai, ia menambahkan bahwa kita tidak bisa masuk dua kali ke sungai yang sama.” (Platon; dialog Katylos 402a).
“Herakleitos, saya kira, berkata bahwa segalasesuatu bergerak (panta rhei) dan tak ada yang beristirahat.” (42: Cratylus 402A = A6 dalam Barnes 1982.)
“…tidak ada beberapa benda bergerak dan lainnya tidak, tetapi semuanya selalu bergerak, lebih dahulu dari persepsi kita.” (Physics 253b9, dalam Guthrie, 1969)
Untuk memahami “segalanya dalam proses bergeraknya Herakleitos” ini lebih gampang dimulai dengan perkataannya bahwa “kita tidak bisa masuk dua kali ke dalam sungai yang sama. Sebab sungai itu selalu mengalir dan berubah. Air yang ada di depanku sedetik lalu, tak sama dengan air (sungai) di depanku saat ini. Dan “aku” yang hendak masuk ke dalam sungai pun sudah berubah, bukan lagi aku yang sedetik lalu.
Maka, yang ada di dunia ini (semua realitasnya) adalah selalu berada dalam proses mengalir, berubah, atau menjadi. Maka, segala yang terlihat stabil, tetap seperti apa adanya, tidak berubah, pada hakikatnya tengah mengalami perubahan. Di sini terjadi bagaimana “realitas” yang ditangkap panca indera adalah realitas yang tak benar atau menipu.
Pertanyaannya adalah bila pancaindera yang bisa dirasakan secara real itu menipu, lantas apa yang bisa meneguhkan bahwa pemikiran yang lebih abstrak itu tidak akan menipu? Dan penipuan yang dilakukan realitas itu seperti apa bentuknya? Atau mungkin lebih baik dikatakan bahwa panca indera tidak mampu menangkap sesuatu yang sesungguhnya sehingga yang ditangkapnya adalah sebuah kebohongan. Namun bila dikembalikan pada ide Herakleitos sendiri di point “Perang Adalah Ayah dari Segalanya” di atas, bukankah sesuatu yang berbohong dibutuhkan untuk memunculkan kontradiksinya yaitu sesuatu yang tidak berbohong? Maka, jika memang benar panca indera itu berbohong, maka kenyataan itu harus diterima sebagai keniscayaan karena dia adalah salah satu faktor yang memungkinkan adanya kontradiksi yang memungkinkan munculnya kebenaran.

Daftar Bacaan:
Bahan Kuliah Sejarah Filsafat Yunani oleh A Setyo Wibowo
Bahan Kuliah Extension Course 2 September 2008; Tuhan dalam Pemikiran Yunani oleh A. Setyo Wibowo
C.A. van Peursen (terjemahan), Orientasi Di Alam Filsafat (cetakan kelima), Jakarta: PT Gramedia, 1988
Hector Hawton (terjemahan), Filsafat yang Menghibur, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (cetakan keenam), Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers, London: Routledge & Kegan Paul, 1982.
W.K.C Guthrie, A History of Grek Philosophy Vol II The Presocratic Tradition from Parmenides to Democritos, Cambridge: Cambridge University Press, 1969.

(ini tulisan dari kuliah hehehehehe)

Selasa, 15 Desember 2009

MATERIALISME JERMAN: Sang Proyeksi dan Sang Filsuf Praktik



Oleh : Lambertus Berto Tukan


Feuerbach calls out to Humanity. He tears the veils from universal
history, destroy myths and lies, uncovers the truth of man and restores it to him.
The fullness of time has come .

…apabila seseorang tidak menjadi marxis pada usia dua puluh tahun
mungkin karena ia tidak mempunyai perasaan, sebaliknya
apabila ia tidak menjadi marxis pada usia empat puluh tahun
mungkin karena ia tidak punya otak .

Kemunculan Materialisme Jerman
Seperti hampir kebanyakan cabang dalam filsafat, materialisme punya sejarah yang panjang.:

Materialisme. Segala hal di dunia ini disusun oleh zat/materi.dan bahwa properti dari zat itu menetapkan semua benda lainnya, termasuk fenomena mental. Segala benda yang eksplisit dapat dijelaskan dalam dasar dari hukum alam. Materialisme memiliki sejarah yang panjang, dimulai dari para fisuf alam Yunani kuno dan atomisian kuno. Lantas dikembangkan oleh Gassendi dan Hobbes pada abad 17, materialis Prancis pada abad 18, dan materialism dialektika-nya Marx dan materialisme sejarah-nya pada abad 19.

Dari kutipan di atas terlihat bahwa pada abad pertengahan, tidak ada pembicaraan mengenai materialisme. Hal ini bisa kita maklumi karena dunia filsafat barat pada saat itu sangat berbau teologis. Pencerahan yang muncul sesudahnyalah yang memungkinkan diolahnya kembali ide-ide yang ‘terlupakan’, termasuk juga materialisme ini.
Materialisme Jerman dengan demikian bisa kita simpulkan sebagai munculnya kembali ide materialisme pada abad 19 di Jerman. Kemunculannya ini tidak lepas dari kritik atau ketidakpuasan atas aliran Idealisme Jerman, terkhusus Hegel. Dengan demikian, materialisme Jerman harus berterima kasih atas hadirnya idealisme Jerman; berterima kasih atas para filsuf ideal Jerman, terkhusus Hegel.
Materialisme Jerman ini muncul pada filsuf Ludwig Andreas Feuerbach dan Karl Heindrich Marx; dua filsuf yang akan coba dibahas dalam tulisan ini. Pada awalnya, keduanya adalah murid Hegel; mengikuti kecenderungan filsafar pada saat itu di Jerman yakni Idealisme Hegel. Feuerbach dan Marx sama-sama pernah menjadi Hegelian Sayap Kiri atau dikenal juga dengan Hegelian Muda . Isaiah Berlin menulis bahwa di Jerman pada abad ke-19 berkembang filsafat Hegel dan Herder demi melawan empirisme ilmiah yang berkembang di Prancis dan Inggris .
Dalam tulisan ini, saya akan lebih banyak berbicara tentang Marx. Hal ini dikarenakan permasalahan teknis semata: literatur tentang Marx lebih mudah ditemui dari pada Feuerbach. Teks-teks tentang Feuerbach yang ditemui pun lebih berbicara tentang pengaruh Feuerbach pada Marx dan bagaimana kritikan Marx terhadap Feuerbach.

Ludwig Andreas Feuerbach
Ludwig Andreas Feuerbach lahir di Landshut, Bavaria (wilayahnya meliputi Jerman sekarang, Austria dan Ceko) pada tahun 1804. Ayahnya, seorang profesor terkenal di bidang hukum yang meskipun mendapat gelar Ksatria dari Kerajaan Bavaria, namun pada akhirnya perijinannya ditinjau kembali karena aktifitas politiknya. Sedangkan, saudara-saudarinya, banyak yang menjadi akademisi yang handal seperti Joseph Anselm, kakak tertuanya, adalah seorang arkeolog. Anak Joseph Anselm ini, Anselm Feuerbach, dikenal sebagai seorang pelukis Jerman terkenal. Edward, anak kedua keluarga ini, menjadi profesor hukum mengikuti jejak ayahnya. Yang ketiga adalah Karl yang dikenal sebagai matematikawan .
Pada 1823, ia pergi ke Heidelberg untuk belajar Teologi atas restu ayahnya. Alih-alih mempelajari teologi secara mendalam, ia tertarik pada filsafat. Ia lalu pindah ke Berlin untuk belajar filsafat pada Hegel. Karya pertama Feuerbach adalah Gedanken über Tod und Unsterblichkeit (Beberapa Pemikiran tentang Kematian dan Immortalitas). Karya ini sangat menyerang teologi dan membuat karier akademisnya tak bisa dipertahankan lebih lama. Ia lantas memutuskan untuk menjadi penulis bebas dan ini didukung oleh keadaan finansial istrinya. Meski pun awalnya ia adalah murid Hegel, ia selanjutnya balik mengkritiknya. Kritik Feuerbach atas religiositas dan penekanannya pada materialsime terejawantah dalam serial karangannya yang dimulai dengan Kritik der Hegelschen Philosophie (1839). Ini juga menandakan perpisahannya dengan filsafat Hegel.
• Dari Idealisme ke Materialisme
Seperti yang diketahui, Hegel menyatakan puncak tertinggi segalanya adalah Roh Absolut atau Idea Absolut yang mana mengasingkan dirinya dalam alam untuk mengenal dirinya kembali. Dengan demikian, alam material (manusia, benda-benda, dsb) menjadi tak berarti. Manusia dan alam material lainnya dalam sejarah semacam wayang yang “dikendalikan” oleh Roh Absolut yang bergerak menuju pengenalan dirinya kembali itu . Di sini, kita melihat sebuah penekanan yang hampir mirip deisme, di mana segalanya sudah “ada” di sana, dan akan menyingkap dengan sendirinya dalam perjalanan sejarah.
Feuerbach mengamini filsafat Hegel sebagai puncak tertinggi rasionalisme barat. Namun demikian, ini baginya tidak cocok dengan kenyataan indrawi yang konkret. Roh Absolut atau Idea Absolut memang secara indrawi jelas tak bisa kita ketahui. Yang konkret dan dapat diindrai adalah alam material. Alam Material inilah yang berperan dalam kesadaran manusia. Tanpa alam material, manusia tak punya kesadaran. Karena, hanya dengan membedakan dirinya dengan alamlah manusia bisa berpikir; memiliki kesadaran.
Bagi Hegel, subjek dan objek adalah Roh Absolut, bagi Feuerbach subjeknya adalah manusia dan objeknya adalah alam material; di mana manusia pun adalah bagian dari alam material itu.
• Teologi Menjadi Antropologi
Manusia yang membedakan dirinya dengan alam material ini memiliki kemampuan reflektif. Tetapi, dasar dari refleksi itu adalah alam material juga. Misalnya, kita merefleksikan bahwa kita bisa mempergunakan bahasa, ketika melihat bahwa pepohonan tidak menggunakan itu. Atau, kita merefleksikan perasaan cinta dengan setelah melakukan aksi mencintai sesuatu. Bila tidak demikian, maka itu tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya ada dalam angan-angan belaka. Dalam angan-angan ini pun tetap mengandaikan sebuah pengalaman tertentu yang lain dari pengalaman indrawi.
Kemampuan refleksi ini, menurut Feuerbach, bisa diidealisasikan sampai yang sangat maksikmal dan mewujud sebagai Tuhan. Tuhan adalah gambaran manusia yang sempurna, gambaran sifat-sifat manusia yang absolut.
• Allah sebagai Proyeksi dan Agama sebagai Alienasi
Kiranya jelas bahwa yang dimaksud dengan Allah sebagai Proyeksi ini adalah sebagaimana yang disebutkan di atas, Allah itu tak lain dan tak bukan adalah hasil dari obyektifikasi diri manusia sendiri. Maka, Allah itu tak lain dan tak bukan adalah ciptaan manusia.
Ciptaan ini akhirnya ditempatkan manusia di luar dirinya dan dianggap sebagai sebuah entitas yang mandiri, otonom, dan berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari manusia bahkan mempunyai suatu kemampuan yang lebih tinggi dari manusia.
Dengan demikian, agama adalah tempat di mana manusia mengalienasikan dirinya itu. Namun, di sini pulalah manusia, menurut Feuerbach, mengenal hakikat kesadaran dirinya dari hakikatnya sendiri. Jadi, agama harus ada dahulu untuk memungkinkan manusia mengenal hakikat dirinya sendiri. Ketika hakikat kesadaran dirinya yang ada di dalam agama itu sudah dikenalinya.

Isaiah Berlin menulis bahwa, ketika karya Feuerbach yang sangat materialis Theses on the Hegelian Philosophy (1843) muncul, Marx sedang sangat muak-muaknya dengan idealisme . Engels misalnya menulis tentang Feuerbach demikian ;

…we all become at once Feuerbachians. How enthusiastically Marx greeted the new coception and how much—in spite of all critical reservation—He was influenced by it, on my read in The Holly Family.

Antusiasme Marx ini bukan antusiasme buta. Pada akhirnya, Marx membuat konsepnya sendiri tentang Materialisme. Dalam Thesis tentang Feuerbach yang pertama, ia mengkritik materialisme sebelumnya, termasuk Feuerbach :

The chief defect of all hitherto existing materialism—that of Feuerbach included—is that the thing, reality, sensuousness, is conceived only in the form of the object or of contemplation, but not as sensuous human activity, practice, not subjectively. Hence, in contradistinction to materialism, the active side was developed abstractly by idealism—which, of course, does not know real, sensuous activity as such.

Feuerbach wants sensuous objects, really distinct from the thought objects, but he does not conceive human activity itself as objective activity. Hence, in The Essence of Christianity, he regards the theoretical attitude as the only genuinely human attitude, while practice is conceived and fixed only in its dirty-judaical manifestation. Hence he does not grasp the significance of "revolutionary", of "practical-critical", activity.


Karl Heinrich Marx
Lahir dari keluarga Yahudi (yang ketika Marx berumur enam tahun berpindah semuanya ke Protestan) 5 Mei 1818 di Trier, Rheiland, Jerman . Ayahnya seorang pengacara yang cukup terkenal.
Pada mulanya Marx tertarik pada hukum namun akhirnya berpindah ke filsafat dan mempelajari filsafat Hegel. Ia juga tergabung dalam Doctorklub, sebuah kelompok Hegelian Muda. Pada usia 23 tahun, ia meraih gelar doktor di Universitas Jena dengan disertasi Die Differenz der Demokritischen und Epikureischen Naturphilosopie. Ia terjun ke dunia jurnalis dan berpindah-pindah dari Jerman, Prancis, Belgia dan Inggris akibat keterlibatannya dalam perpolitikan dan ide-idenya yang revolusioner.
Aktifitasnya dalam ranah politik, misalnya dengan mengikuti Liga Komunis dan juga sebagai redaktur pada surat kabar-surat kabar militan, bisa dipandang sebagai konsekuensi logis sikap filsafatnya yang terbaca dalam Thesis tentang Feuerbach yang kedua:

The question whether objective truth can be attributed to human thinking is not a question of theory but is a practical question. Man must prove the truth — i.e. the reality and power, the this-sidedness of his thinking in practice. The dispute over the reality or non-reality of thinking that is isolated from practice is a purely scholastic question.

Setelah menekankan pentingnya sisi praktik yang berhubungan langsung dengan pemikiran, atau pemikiran yang harus terejawantah dalam praktik. Marx lantas menunjukan perbedaan dari materialisme lama (Feuerbach dan sebelumnya) dan materialisme baru (Marx) dalam thesis ke sepuluh:

The standpoint of the old materialism is civil society; the standpoint of the new is human society, or social humanity.

Lantas, pada thesis kesebelas, ia menunjukan suatu kealpaan yang menurutnya dilakukan oleh para filsuf :

The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point is to change it.

• Alienasi
Mengikuti Hegel lalu Feuerbach, Marx juga membicarakan permasalahan alienasi. Bagi Marx, alienasi disebabkan oleh keadaan material tertentu yang terejawantah dalam proses kerja di dalam masyarakat. Kerja bagi Marx, mengikuti Hegel, adalah sebuah kegiatan khas manusia, sebuah ciri khas manusia yang paling hakiki. Kerja manusia berbeda dengan kerja binatang karena manusia bisa bekerja secara bebas dan universal . Kerja yang bebas dan universal ini membuktikan hakikat manusia, mengaktualisasikan dirinya, dan mengejahwantahkan apa yang dipikirkannya. Hasil kerja itu pada akhirnya bermanfaat juga untuk orang lain. Manusia menjadi berarti ketika lewat kerjanya ia memenuhi kebutuhan orang lain. Hakikat manusia sebagai makhluk sosial terbukti lewat kerja.
Dalam masyarakat kapitalis, justru kerjalah menjadi pusat alienasi manusia. Hal ini akibat kerja menjadi sekadar syarat untuk hidup. Kerja yang demikian menyebabkan dua macam keterasingan yakni keterasingan dari diri sendiri dan keterasingan dari orang lain :
1. Keterasingan dari diri sendiri:
- Keterasingan dari produk kerjanya: seorang buruh upahan tidak memiliki hasil kerjanya.
- Kehilangan arti pekerjaan: Bekerja bukan sebagai sebuah keputusan yang bebas, melainkan bekerja demi kebutuhan hidup.
- Memperalat diri: Bekerja di sini adalah sebuah paksaan pada diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan.
2. Keterasingan dari orang lain :
Karena hakikat manusia pada dirinya berjalan seiring dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dalam kerja, maka ketika ia terasing atas dirinya sendiri, ia pun terasing secara sosial.

Keterasingan ini diakibatkan oleh hak milik pribadi. Maka, demi menghilangkan alienasi manusia, sistem hak milik harus dihapuskan.
• Materialisme Sejarah
Materialisme Marx menekankan kerja sosial manusia, bukan pikirannya. Kenyataan akhir bagi Marx adalah objek indrawi yang dimengerti sebagai kerja.
Marx mengikuti pemikiran Hegel tentang dialektika sejarah. Namun di sini bukan sebagai perjalanan Roh Absolut yang mengalienasi dirinya dalam alam materi lantas bergerak untuk mengenali dirinya kembali, bagi Marx sejarah adalah pertentangan antar kelas menuju kesetaraan seperti yang ditulisnya dalam Manifesto Komunis :

The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.
Free man and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed, stood in constant opposition to one another,

Di manakah letak pertentangan ini? Bagi Marx, realitas masyarakat itu adalah proses produksi yakni kerja. Kerja inilah menjadi bangunan bawah yang menopang bangunan atas dalam kehidupan masyarakat. Bangunan atas (pemikiran, politik, seni, dll) mengikuti apa yang ada di bangunan bawah (kepemilikan alat kerja, kerja, pemilik modal dan pekerja, dll). Jadi, kesadaran, pemikiran akan berubah ketika sistem produksi/kerja ini berubah. Misalnya, kita ambil contoh dalam sejarah, ketika dalam masyarakat Indonesia kepemilikan tanah seutuhnya adalah milik raja atau suku-suku tertentu dan masyarakat bekerja di sana sebagai sembah bakti pada raja sebagai pengejawantahan “dewa” di bumi, maka nilai-nilai kehidupan bernegara yang dianutnya pun adalah raja yang melindungi rakyat. Namun ketika swastanisasi terjadi sehingga orang-perorangan bisa memiliki tanah dan juga alat-alat lainya, pandangan hidup bernegara pun berubah; bukan lagi raja tetapi pemerintah yang adalah pilihan rakyat sendiri.
Pertentangan ini terjadi dalam bangunan bawah ini yang bagi Marx akan meruncing dalam sebuah revolusi.
• Nilai Lebih dan Kehancuran Otomatis Kapitalisme
Nilai Lebih
Marx membuka buku Das Kapital-nya dengan penekanan pada pentingnya mencari tahu tentang komoditas :

…dan karena itu penyelidikankita mesti dimulai dari telaah terhadap komoditi ini.

Komoditi penting karena dalam masyarakat kapitalis, kesejahteraan tampak sebagai “timbunan besar komoditi”. Komoditi menurut kata-kata Marx sendiri adalah benda di luar kita, sesuatu yang sifat-sifatnya dengan satu atau lain cara memenuhi kebutuhan manusia . Jadi komoditi bisa berupa barang yang secara langsung kita konsumsi, bisa juga komoditi ini adalah barang yang bisa dipergunakan sebagai alat produksi.
Dalam masyarakat Kapitalis, komoditi ini dijual. Jual beli komoditi didasarkan pada dua hal yakni nilai pakai dan nilai tukar. Pembeli terakhir komoditi membelinya karena nilai pakai-nya yakni karena komoditi itu berguna memenuhi kebutuhannya. Bila tidak, maka jual beli komoditi hanya untuk nilai tukar-nya; seorang pedagang membeli rokok dalam jumlah banyak bukan untuk dikonsumsinya melainkan untuk dijualnya kembali. Jual-beli komoditi ini dengan harga tertentu yang adalah nilai tukar komoditi tersebut. Nilai tukar ini ditentukan berdasarkan jumlah rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya dalam masyarakat.
Pertanyaannya adalah dari mana munculnya keuntungan pemodal? Keuntungan pemodal oleh karenanya didapat dari eksploitasi terhadap pekerja, yakni nilai lebih dari waktu kerja yang tak dibayar.
Kehancuran Otomatis Kapitalisme
Eksploitasi inilah yang meruncingkan krisis dalam bangunan bawah. Kapitalisme sendiri berusaha mengakumulasi modal dalam konsentrasi pemodal yang semakin sedikit . Pemilik-pemilik modal sebelumnya akan terdepak dalam persaingan dan menjadi kaum proletar; kaum pekerja bagi pemodal yang semakin sedikit ini. Ini akan berlangsung terus-menerus dan menyebabkan di satu sisi ada kaum pemodal (kapitalis) yang sangat kayanya tapi sedikit dalam jumlahnya, dan di lain pihak ada kaum proletar yang sangat banyak dalam jumlah dan hidup dalam kemiskinan. Maka, kesadaran akan pentingnya revolusi akan muncul pada massa proletar ini. Dan di saat itulah muncul sosialisme.