Pendahuluan
Tidak
bisa dipungkiri, G 30 S 1965 dan peristiwa ikutannya—pembunuhan, penangkapan,
pemenjaraan tanpa pengadilan kepada mereka yang dianggap terlibat, simpatisan PKI,
mau pun juga Soekarnois—hingga saat ini merupakan peristiwa yang paling
menyedot perhatian kita di Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini bahkan
perbincangan perihal itu tidak lagi menjadi milik kaum ‘elitis’[1]
semata, tetapi juga menjadi milik banyak kalangan. Barangkali tidak salah juga
jika hal itu dipicu oleh dua buah film dari Joshua Oppenheimer yang sangat
mencengangkan itu; Jagal dan Senyap. Tentu saja sebelum Oppenheimer
membuat kedua filmnya tersebut, sudah banyak film yang merespons Peristiwa 1965[2].
Namun demikian, strategi Openheimer untuk mendekati permasalahan tersebut bisa
dikatakan segar dan membawa cara baru memandang permasalahan seputar Peristiwa
1965. Salah satu yang juga sangat berperan adalah cara film tersebut
mempublikasikan dirinya dan juga respons media serta kalangan penonton di
Indonesia sendiri.
Pada hemat saya,
Peristiwa 1965 bisa dikatakan sebagai sumur inspirasi yang tak akan pernah
habis bagi kerja-kerja kreatif-intelektual. Hal ini bisa kita lihat misalnya
pada peristiwa genosida yang dilakukan Nazi Jerman di periode Perang Dunia II
kepada kaum Yahudi, kaum kiri, dan juga kaum intelektual di Jerman dan sebagian
besar Eropa kala itu. Hingga hari ini, hampir setiap tahunnya kita bisa
menemukan produk baru dari kerja kreatif-intelektual di hampir seluruh Eropa
perihal masalah ini. Pada titik ini kita bisa melihat kedua peristiwa
tersebut—Nazi Jerman dan Peristiwa 1965—dengan sebuah kaca mata yang hampir
semua manusia memilikinya; kaca mata sosial kemanusiaan. Yoseph Yapi Taum dalam
ringkasan disertasinya bertajuk Representasi
Tragedi 1965: Kajian ‘New Historicism’ atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra
Tahun 1966-1998 mengungpakan perihal sosial kemanusiaan ini sebagai salah
satu alasan ia menuliskan karyanya tersebut di atas. Demikian Taum menulis:
Ketiga, alasan
sosial-kemanusiaan. Tragedi 1965 merupakan fakta tragis di dalam sejarah
kemanusiaan yang membawa penderitaan bagi begitu banyak korban, terutama korban
dari pihak anggota dan simpatisan PKI beserta sanak keluarganya. Korban-korban
ini adalah kaum yang, menurut pandangan Gramsci, disebut kaum subaltern,
yaitu mereka yang secara tekstual termarginalkan oleh sejarah karena adanya
hegemoni historiografi (Bressler, 2007: 363). Alasan sosial-kemanusiaan ini
berkaitan dengan semangat menggugah proses metanoia bangsa, yakni
mengungkap luka-luka masa lampau untuk tujuan reformasi hati nurani, agar
tragedi kemanusiaan seperti itu tidak terulang lagi di masa depan (Taum, 2013:
4).
Saya kira kalimat terakhir dari kutipan
di atas sangat penting untuk direnungkan. Dengan alasan sosial kemanusiaan,
kerja kreatif-intelektual dalam rangka melihat Peristiwa 1965 sangat dibutuhkan
untuk mencegah terulangnya kembali tragedi kemanusiaan itu.
Pada usianya yang setengah abad ini bergembiralah kita bahwa Peristiwa 1965 semakin menjadi perhatian dari para pekerja kreatif-intelektual. Buktinya sederhana; pada tanggal 30 September-1 Oktober yang lalu kita menemukan banyak meme dan gambar internet yang mengangkat peristiwa tersebut dengan berbagai cara dan pendekatan serta gaya.
Dalam rangka masuk pada soal kerja kreatif-intelektual dengan salah satu tujuannya perihal sosial kemanusiaan di atas tentu pertama-tama pengetahuan dan perbincangan perihal peristiwa yang hendak diangkat itu sendiri perlu dilakukan. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya hendak mengajukan semacam landskap Peristiwa 1965 dan generasi Indonesia masa kini. Peristiwa sejarah tentu perlu didekatkan dan diketahui melalui sejarah dan tidak bisa tidak ia dibicarakan dalam horison kita di masa kini. Dari hubungan timbal balik antara keduanya itulah—hubungan antara peristiwa sejarah itu sendiri dan horison kita di sini dan kini—barangkali bisa ditemukan apa yang ‘enak’ untuk dikreasikan lebih lanjut.
Saya akan memulai
pembahasan ini dengan pertama
membicarakan pengalaman saya pribadi dalam persinggungan dengan perbincangan,
bacaan, dan mitos Peristiwa 1965. Menurut saya membicarakan pengalaman pribadi
ini penting lantaran sebagai warga negara Indonesia, kita perlu menempatkan
diri sebagai sekaligus korban dan sekaligus pelaku. Sebagai korban, semua kita
adalah korban dari pembohongan sejarah dan juga efek-efek dari Orde Baru dan
sebagai pelaku kita turut menikmati, sadar atau tidak, sesuatu yang dibangun di
atas gelimangan darah dan juga bertanggung jawab atas impunitas yang terus
terjadi. Setelah itu, kedua, saya
akan mencoba untuk membicarakan semangat zaman Indonesia periode 1950-1965,
atau yang lebih suka saya sebut sebagai ‘masa membentuk dan membangun bangsa’.
Menurut hemat saya, membicarakan dan memahami semangat zaman kala itu bisa
membawa kita pada pemahaman yang lebih baik soal mengapa bisa G 30 S 1965
terjadi dan sesiapa saja—bukan dalam hal identitas personal melainkan anak
zaman seperti apakah mereka—yang terlibat di dalam peristiwa tersebut.
Berangkat dari pemahaman perihal semangat zaman itu, saya akan coba masuk pada
salah satu contoh tokoh historis pada peristiwa itu, D. N. Aidit, pada bagian ketiga. Pada hemat saya, pembahasan pada
bagian ketiga ini akan membawa kita kepada pemahaman bahwa mereka-mereka yang
kita katakan sebagai ‘korban’ Peristiwa 1965 sesungguhnya—dan harusnya dilihat
lebih sebagai—bukanlah sekadar korban melainkan mereka adalah para pejuang dan
orang-orang yang, memparafrasekan Pramoedya, “...sudah memberikan semuanya
untuk Indonesia.”
Lolos
Dari Hukuman Alpa Menonton Arifin C. Noer
Sebagaimana
umum diketahui, Orde Baru mengukuhkan ketakutan akan komunisme melalui
doktrin-doktrinnya dan juga ‘karya seni’. Dua yang monumental tentu saja adalah
Museum Kesaktian Pancasila dan film Pengkhianatan
G 30 S PKI besutan Arifin C. Noer. Menurut Ariel Heryanto, bisa dikatakan
bahwa narasi dan atau sumber pengetahuan orang Indonesia di era Orde Baru
perihal peristiwa G 30 S dan juga 1 Oktober 1965 yang utama adalah film ini
jika bukan satu-satunya. Pemerintah kala itu melalui televisi pemerintah, TVRI,
menayangkan film ini setiap malam di tanggal 30 September setiap tahunnya.
Belakangan televisi swasta juga diwajibkan untuk memutar film tersebut
(Heryanto, 2015: 122). Hampir semua orang Indonesia yang tinggal di Indonesia
di waktu-waktu itu wajib menontonnya. Anak-anak sekolah diwajibkan oleh gurunya
(lebih sering guru Sejarah atau PPKN) untuk menyaksikan film itu pula. Demi
memastikan anak-anak itu benar menonton, tak jarang pula sang guru mewajibkan
murid-muridnya menulis laporan atas film tersebut yang akan diperiksa di kelas.
Museum
Kesaktian Pancasila dan Lubang Buayanya yang berada di Jakarta Timur itu tak
pelak menjadi tempat berkarya wisata untuk murid-murid sekolah di Jakarta dan
bahkan mungkin sebagian besar sekolah di Jawa. Selain itu tentu saja monumen
ini menjadi juga tempat kunjungan bagi para peserta kegiatan-kegiatan
pemerintahan atau pun kegiatan lainnya. Galibnya ketika ada kegiatan pertemuan,
sarasehan, atau pelatihan dsb., yang diadakan pemerintah mau pun pihak swasta,
selalu ditutup dengan acara kunjungan ke beberapa tempat. Saya masih ingat
ketika kecil dahulu, ayah saya dalam sebuah kesempatan mengikuti acara serupa
di atas—yang saya lupa detailnya dan tak berniat pula untuk bertanya kepada
ayah saya saat ini. Ketika pulang, ia menunjukkan foto-foto perjalanan
tersebut. Galibnya pula, foto-foto itu disertai dengan keterangan kegiatan
dalam huruf-huruf tegas beserta logo penyelenggara kegiatan atau kegiatan itu
sendiri di bagian bawah foto. Salah satunya adalah foto ia berdiri di depan
monumen pahlawan revolusi.[3]
Sebagai tambahan keterangan, keluarga kami tinggal di kota kecil bernama
Larantuka, di Pulau Flores, NTT. Tentu tidak sulit untuk dibayangkan bahwa
setiap kegiatan yang menghadirkan peserta dari seluruh Indonesia akan
disisipkanlah kegiatan mengunjungi Museum Kesaktian Pancasila ini. Dan dengan
demikian, dengan bantuan pencarian nafkah dari para fotografer keliling,
foto-foto setiap peserta yang berdiri di depan para jenderal menyebar ke
seluruh Indonesia. Bukan tidak mungkin, diam-diam imajinasi tentang Jakarta,
ibu kota negara, untuk orang-orang di pelosok kampung kala itu, salah satunya
saya, adalah Museum Kesaktian Pancasila dan tentu saja Monumen Nasional.
Jangan-jangan pula, ini dugaan saya, orang akan merasa lebih patriotis dan
sungguh-sungguh menjadi Indonesia ketika sudah menjejakkan kaki di Museum
Kesaktian Pancasila ini.
Saya
sendiri, seingat saya, belum pernah menyaksikan film Pengkhianatan G 30 S PKI secara utuh dan baru sekali mendatangi
Museum Kesaktian Pancasila. Ketika menyaksikan karya video Fluxcup yang men-dubbing salah satu adegan persidangan
komite sentral PKI dari film itu, saya sungguh-sungguh tidak paham sebenarnya
apa yang dibicarakan oleh Aidit, Njoto, Lukman dan Sudisman di film itu
sebenarnya. Sedangkan beberapa kawan saya sungguh paham apa sebenarnya adegan
itu berbicara. Saya lahir dan besar di kota kecil tadi, Larantuka. Ketika SD
dan SMP (kira-kira 1991-1999), televisi bukanlah lagi barang mewah di kota
kecil itu, meski pun tidak semua rumah memiliki televisi. Rumah kami memiliki
satu pesawat televisi yang hanya bertahan beberapa bulan saja. Selebihnya,
antena penangkap gelombangnya rusak diterjang angin yang diikuti oleh pesawat
televisi diberikan ke kerabat. Keadaan nir-televisi ini bertahan hingga saya
menyelesaikan SMP. Ayah merasa keadaan itu lebih baik untuk anak-anaknya;
sesuatu yang semakin saya setujui ketika aktif di Remotivi, sebuah lembaga
pemantau televisi di Jakarta yang kini memperluas cakupan kajiannya ke semua
bentuk media.
Alhasil,
ketika guru PPKN mewajibkan saya menyaksikan Pengkhianatan G 30 S PKI, saya tidak bisa menyaksikannya di rumah.
Saya harus menyaksikannya di rumah tetangga. Saya lupa bagaimana tepatnya
sehingga saya tidak pernah ke luar rumah di tengah malam pada 30 September pada
tahun-tahun kala itu. Mungkin memang saya yang terlalu penakut menembus
kegelapan malam meski pun rumah tetangga hanya beberapa puluh langkah saja
atau—lagi-lagi—ayah yang melarangnya. Yang pasti, saya tak pernah mendapat
hukuman dari guru lantaran tidak pernah menonton atau membuat tugas berdasarkan
film itu. Hal terakhir ini sudah pasti merupakan interfensi ayah yang memang
dekat dengan guru-guru SD hingga SMP saya. Apalagi dia kala itu pun masih
berprofesi sebagai guru. Hal ini tentu saja bukan berarti ayah sudah sadar
bahwa Pengkhianatan G 30 S PKI adalah
propaganda tak beralasannya Soeharto. Pada hemat saya, ayah sungguh-sungguh
Orde Baru. Apalagi dia adalah produk pendidikan katolik sejak SD hingga
kuliahnya dan juga selepas kuliah bekerja di lingkungan tersebut.
Mengenai
Museum Kesaktian Pancasila, saya memang belum pernah mendatanginya di masa-masa
itu. Baru tahun lalu saya kesana dengan tujuan membuat parodi untuk
IndoProgress. Tujuan terakhir ini pun gagal lantaran kamera yang kami bawa
ketinggalan di taksi. Memang beberapa kali ketika masih SD dan SMP saya
berlibur ke Jakarta tetapi rupanya Taman Binatang Ragunan dan Ancol lebih
menarik tinimbang Museum Kesaktian Pancasila, apalagi Taman Ismail Marzuki.
Pertemuan
pertama dengan PKI, komunisme dan kiri baru terjadi di bangku SMA kelas dua
kalau saya tak salah. Barangkali sebelumnya samar-samar saja dan tak terlalu
melekat benar. Kala itu saya bersekolah di Seminari, sekolah persiapan untuk
calon imam setingkat SMA. Saya tidak tamat di sekolah tersebut tetapi
dikeluarkan di tengah jalan dengan alasan kedisiplinan. Ketika itu dalam rangka
Pesta Santo Pelindung sekolah, diadakanlah juga lomba pembacaan cerpen bersama
lomba-lomba lainnya. pastor yang merangkap guru Bahasa Indonesia kala itu
menyerahkan koran Kompas minggu kepada panitia dan mengusulkan cerpen yang ada
di sana dijadikan sebagai salah satu cerpen pilihan untuk peserta lomba. Saya
yang berperan sebagai anggota panitia seksi keamanan kebetulan tengah berada di
sana dan mendengarkannya juga. Pastor itu melanjutkan lagi bahwa cerpen ini
ditulis oleh seorang penulis yang selama masa Orde Baru tidak bisa menulis dan
hidup dengan nama samaran. Saya lupa siapa pengarang itu. Tapi setidaknya
maklumat Si Pastor kala itu cukup menggelitik. Dilarang menulis dan hidup
dengan nama samaran terasa sangat seksi untuk saya kala itu.
Tempus Vugit, waktu berlalu dengan
cepat. Setelah menamatkan SMA, saya pindah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah.
Membaca ke sana ke mari dan mengikuti diskusi-diskusi semakin memelekkan mata.
Tentu saja di balik semua itu sosok Pramoedya Ananta Toerlah yang paling
membuat ketertarikan dalam membaca sejarah dengan baik itu timbul; seperti
kebanyakan anak muda dari generasi saya. Dalam perjalanan, bersama teman-teman
diajak untuk membentuk kelompok studi Marxisme, Komunitas Marx, yang
meningkatkan cara membaca sejarah saya yakni dengan asumsi materialisme
historis. Sedikit banyak sumbangsih dari itu adalah kesadaran akan betapa
pentingnya memahami semangat zaman yang historis dari peristiwa sejarah; dalam
hal ini Peristiwa 1965.
Bergairah
Membangun Negara Baru
Jika
hendak menggambarkan Indonesia era 1950-an hingga 1965 dalam satu kalimat, maka
saya akan memilih kalimat, “kegairahan menjaga dan membangun Indonesia”. Tahun
1965 saja hanya berjarak 20 tahun dari 1945. Apalagi kalau kita menghitungnya
dari 1949 ketika Belanda ‘mengakui’ kemerdekaan Indonesia via Konferensi Meja
Bundar; hanya 16 tahun. Bukan waktu yang lama. Bisa dibayangkan bahwa
mereka-mereka yang berada pada usia produktif di masa itu—25 sampai 70 tahun—adalah
mereka-mereka yang turut merasakan revolusi fisik baik secara aktif mau pun
pasif. Maka, ketika Indonesia benar-benar merdeka sungguhlah bisa dibayangkan
betapa penuh antusias dan bergairahnya mereka-mereka yang berada di usia
produktif tersebut.
Kita
tentu mengamini belaka betapa panjangnya jalan menuju kemerdekaan Indonesia
itu. Sejak Budi Utomo, pemberontakan Haji Misbah, pemberontakan PKI di era itu,
Sumpah Pemuda, munculnya partai-partai politik, dan lain sebagainya mendahului
kemerdekaan. Di sana juga wacana, ide-ide serta pemikiran yang diadopsi dari
barat dan disesuaikan dengan lokalitas Indonesia tumbuh subur dan berseliweran
di kalangan pergerakan. Semua hal ini mendahului kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945.
Selain melawan penjajah
itu sendiri (Belanda dan Jepang), fakta sejarah menunjukkan bahwa saling sikut
di antara pelbagai elemen pergerakan di zaman itu pun terjadi dengan tak kalah
bergairahnya. Saling mengkritik pemikiran, saling mencurigai, dsb., tentu
terjadi pula di sana. Menengok pada PKI misalnya yang adalah partai politik
pertama di Indonesia yang menggunakan kata Indonesia secara resmi pun hal ini
terjadi. Saling mengkritik, terjadi pertentangan, naik turun dipukul oleh pihak
penjajah, dan juga dilarang, bergerak di bawah tanah terjadi di dalam partai
ini. Begitu juga dengan partai-partai atau kelompok-kelompok pergerakan
lainnya. Dinamika yang hidup terjadi tidak hanya terhadap penjajah tetapi juga
terhadap sesama kaum pergerakan dari kelompok yang lain serta juga terjadi di
dalam kelompok sendiri. Tentu saja ada front-front persatuan yang lantas
dibentuk karena ada kesadaran akan perjuangan atas kemerdekaan itu.
Ketika Jepang menduduki
Indonesia, kaum pergerakan Indonesia ada yang mengikuti dan bergabung bersama
organisasi-organisasi sipil yang dibentuk Jepang, ada juga yang terus bergerak
di bawah tanah. Jepang yang datang dengan janji untuk memerdekaan seluruh Asia
dari kolonialisme Eropa barangkali juga dipandang berwajah ganda kala itu. Ada
yang percaya bahwa Jepang memang datang dan juga membantu mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia, ada juga yang tidak mempercayai hal itu. Namun ada
beberapa hal yang pasti yakni bahwa organisasi-organisasi untuk masyarakat
sipil Indonesia yang dibentuk Jepang kala itu turut membantu mendidik entah
secara keorganisasian mau pun fisik. Mereka-mereka ini, tentu juga bersama
elemen-elemen lainnya, nantinya yang berperan dengan baik ketika terjadi
revolusi fisik pasca 1945.
Proklamasi yang terjadi
pada 17 Agustus 1945 sendiri bukan semata-mata prakarsa Soekarno-Hatta. Dengan
sebelumnya BPUPKI dan PPKI berdebat dan menyusun seperti apa negara baru ini,
proklamasi sendiri terjadi atas desakan kaum pemuda yang tergabung dalam Pemuda
Angkatan Baru (PAB). Kita ingat peristiwa penculikan Rengasdengklok di mana PAB
ini mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Dengan latar belakang
yang demikian, ketika memasuki era 1950-an, tentu tidak heran bahwa segala
elemen yang ada bergairah dan meneruskan ‘konfrontasi’, perang politik dan ide
di antara mereka. Bahkan hal yang sama terjadi di dalam kelompok masing-masing.
Hal ini bukan pula sesuatu yang ‘luar biasa’ bila kita melihat memang di dalam
perjalanannya, dinamika perjuangan dan persiapan menuju kemerdekaan itu demikian
adanya. Jika mau melihat dengan lebih serius, barangkali inilah memang ciri
khas dari demokrasi yang menjadi sistem negara yang dipilih itu; mengikuti
bentuk negara modern di Eropa kala itu juga.
Dalam waktu yang
singkat dari 1945-1965 itu sendiri kita pun melihat begitu ragam kejadian yang
terjadi di Indonesia dalam hal pemerintahan dan politiknya. Hal yang barangkali
sekali tidak kita temukan di era Orde Baru dan juga di era kita saat ini.
Konferensi Meja Bundar melahirkan Negara Indonesia Serikat, lantas kembali ke
dalam Republik Indonesia melalui Dekrit Presiden, pergantian dari satu kabinet
ke kabinet yang lain, pemberontakan di daerah-daerah yang melibatkan Masyumi
dan PSI (keduanya lantas dilarang oleh Soekarno), Konferensi Asia Afrika, nasionalisasi
aset Belanda yang juga merugikan Indonesia, dan masih banyak hal lain lagi. Di
ranah seni budaya pun tak kalah bergairahnya. Tak perlu diulang-ulang lagi
tentu saja perdebatan dan percekcokan antara Manikebu vs Lekra yang tersohor
itu. Semua keriuhan itu ditambah lagi dengan keadaan dunia yang tengah berada
di dalam Perang Dingin yang tentu membuat was-was Indonesia yang baru lahir
itu. Soekarno lantas berusaha ‘mengambil keuntungan’ untuk negara barunya itu
dengan politik Non Blok di kancah internasional.
Dalam panorama yang
demikian saya kira kegairahan akan Indonesia bukan kegairahan ‘remaja’,
melainkan kegairahan yang masih terbawa semangat pra kemerdekaan dan masa
revolusi fisik; bahwa negara adalah sesuatu yang perlu dibela mati-matian.
Peristiwa G 30 S 1965 terjadi dalam keadaan yang demikian ini. Dari pemaparan
John Roosa di dalam Dalih Pembunuhan
Massal, dan juga banyak buku lainnya, kita tahu bahwa ada semacam dokumen
‘hoax’ Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Soekarno. Bagaimana pun juga,
tokoh Soekarno dipandang sebagai tokoh teramat sangat penting dan kuat yang
padanya banyak pihak menaruh harap akan Indonesia ke depannya kala itu.
Selebihnya, dari John Roosa pula, para perwira muda berusaha menjegal para
jenderal tersebut bersama dengan keterlibatan D . N. Aidit serta Syam
Kamarusaman. Cerita selanjutnya kita tahu belaka; Soeharto, yang awalnya
dianggap Untung cs berada di pihak mereka, mengambil alih keadaan, bagaikan
seseorang yang memancing di air yang
keruh, dan terbukalah masa Orde Baru yang fondasinya dibangun di atas darah
dan tulang belulang.
Mayoritas, jika tidak
mau mengatakan semua, dari mereka yang menjadi korban secara langsung peristiwa
itu[4] adalah
mereka-mereka yang, memparafrasekan Pramoedya Ananta Toer, “...telah memberikan
segalanya bagi Indonesia”. Mereka-mereka adalah yang terlibat, minimal, di
dalam revolusi fisik dan juga sebelum kemerdekaan. Namun demikian panorama ini
juga sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya yakni di Peristiwa
Madiun yang menewaskan Amir Syarifudin dan Tan Malaka, dua tokoh penting
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu contoh “mereka yang telah
memberikan segalanya bagi Indonesia” bahkan nyawanya sendiri adalah tokoh
sentral PKI yakni D. N. Aidit.
Diponegoro
yang Bukan Sekadar Jawa
Sub
judul bagian ini terinspirasi sepenuhnya dari nama D. N. Aidit (Dipa Nusantara
Aidit). Aidit terlahir dengan nama Achmad Aidit. Pada usia ke 16 tahun ia
mengganti namanya, dengan persetujuan ayahnya, menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Dipa berasal dari Diponegoro. Nusantara kita tahu berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Namun ketika Aidit
menggunakan nama itu, nusantara dimaknai sebagai sebutan untuk keseluruhan
wilayah yang menjadi Indonesia sekarang ini. Dari nama itu sendiri bisa
dipahami Aidit semacam hendak mendedikasikan dirinya sebagai pejuang untuk
nusantara. Namun fenomena perubahan nama ini lumrah ditemukan pada generasi
muda zaman itu. Barangkali juga ini trend di kalangan pemuda pejuang zaman itu.
Aidit
sejak berusia 16 tahun itulah terlibat di dalam politik dan pergerakan
kemerdekaan. Bergabung di pelbagai organisasi—yang mayoritasnya berhaluan
kiri—bisa dikatakan masa muda Aidit dihabiskan di dalam perjuangan itu sendiri.
Utuy Tatang Sontani muda pernah bersua dengan Aidit dan cukup mengagumi sosok
itu. Utuy dan Aidit bertemu di Kantor Putera cabang Priangan. Putera sendiri
adalah singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat, sebuah organisasi bentukan Jepang,
yang diketuai oleh empat serangkai Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara,
dan K.H. Mas Mansyur. Aidit sendiri kala itu adalah murid dari Bung Karno dan
Bung Hatta.
Alkisah,
pekerjaan di Putera cabang Priangan ini sungguh sangat melelahkan. Hal ini
diperparah oleh kewajiban dari para pegawainya untuk menghormati matahari
sebagaiamana kebiasaan Jepang. Pada suatu ketika, ketika terlalu kelelahan,
para pegawai Putera tak ada yang mengikuti upacara itu. Marahlah serdadu Jepang.
Ketika itu, Aidir maju dan memberikan alasan rasional yang tidak bisa ditolak
oleh serdadu Jepang itu. Utuy menggambarkan Aidit yang demikian sebagai pemuda
berotot yang penuh dengan semangat perjuangan. Bahkan menurut Utuy, dari nama
barunya tampaklah bahwa Aidit memiliki semangat juang tinggi, berbeda dengan
nama yang dipilih Utuy sendiri untuk dirinya atau nama seorang kawannya yang
menggunakan Kelana Asmara.
Tetapi
ada juga hal-hal romantik anak muda pada mereka sebagaimana jawaban Utuy ketika
berbicara dengan Aidit tentang karyanya Tambera
di dalam Bahasa Sunda dengan Tambera di
dalam Bahasa Indonesia:
Kau
tahu, Tambera di dalam Bahasa
Sundanya kutulis pada zaman Hindia-Belanda, pada zaman di mana yang namanya
Belanda itu ada di depan hidung dan pada zaman yang penuh dengan ‘Romantik’.
Tapi Tambera dalam Bahasa Indonesianya
kutulis justru di zaman pendudukan Jepang, di mana yang namanya Belanda itu
sudah tidak ada lagi, di mana kehidupan yang penuh ‘Romantik’ itu mulai
ditinggalkan, bahkan di mana kita semua diharuskan memiliki ‘wajah semangat’,
sehingga gadis-gadis yang jadi rebutan pemuda pun tak bisa luput dari keharusan
memiliki ‘wajah semangat’ (Sontani, 2001: 68).
Aidit yang merupakan anak zaman
Jepang yang penuh semangat dan semangat perjuangan yang bergelora ini lantas
ikut membentuk Pemuda Angkatan Baru (PAB), organisasi pemuda yang mendorong
Soekarno dan Hatta untuk memprokalamsikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945. Jadi, jika kita mau melihat sisi-sisi lain, faktor-faktor penunjang di
seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka sedikit banyak Aidit punya andil
yang cukup besar.
Setelah terus bergiat di dalam
Pemuda Angakatan Baru, Aidit kembali bersama PKI dan turut ikut dalam Peristiwa
Madiun. Pasca peristiwa itu, dikabarkan bahwa Aidit dan Lukman melarikan diri
ke Vietnam dan lantas ke Cina. Mereka kembali setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Namun menurut Peter Edman, hal ini hanya strategi Aidit
dan Lukman untuk mengelabuhi musuh dan juga untuk terus bergerak di bawah tanah
bersama PKI (Edman, 2005: 73). Selanjutnya, Aidit dan kelompok muda di dalam
PKI mulai mengambil alih PKI dan membawa partai itu menuju sebuah partai massa
yang besar, bahkan memperoleh suara yang signifikan pada Pemilu Pertama di
Indonesia.
Penutup
Aidit kita tahu lantas meninggal
pada 23 November 1965, ditembak di sebuah sumur di Solo. Ketika hendak
ditembak, Aidit masih berpidato di hadapan tentara yang menahannya soal
revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, Peristiwa 1965 lantas
mengambil nyawa orang yang berjuang setengah mati, sepenuh jiwa raga, untuk
Indonesia. Peristiwa 1965 mengambil “mereka yang telah memberikan segalanya
untuk Indonesia”, bahkan nyawanya. Sayang, nyawa mereka dikorbankan untuk
Indonesia lebih lanjut yang barangkali jauh sekali dari apa yang dibayangkan mereka
ketika berjuang di Putera dulu, di dalam Pemuda Angaktan Baru, atau di dalam
masa setelah 1950-an.
Jika Indonesia, meminjam Bennedict Anderson, adalah
sebuah proyek yang harus terus menerus dibayangkan dan diusahakan maka
barangkali salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah membayankan dan
memperjuangkan Indonesia yang lebih baik dan tentu saja berbeda dengan yang
sekarang. Tentu saja dengan berpijak pada pelajaran-pelajaran yang diberikan
sejarah kepada kita.***
*Tulisan ini disampaikan sebagai bahan diskusi dalam workshop penulisan naskah teater yang diselenggarakan oleh Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, 10 Oktober 2015 di Studio Hanafi, Depok.
[1] Yang dimaksud dengan kaum ‘elit’
di sini adalah para intelektual, aktivis, sejarahwan, dan juga—tentu saja—pihak
pemerintah dalam arti luas.
[2] Pada tulisan ini ‘1965’ adalah
sebutan untuk menandai masa-masa sebelum tahun 1965 itu sendiri dan juga
masa-masa sebelumnya; terhitung sejak Konferensi Meja Bundar atau 1950, sesuai
konteks pembicaraan.
[3] Pada 31 Agustus-10 September
yang lalu bertempat di RURU Galeri diadakanlah presentasi proyek fotografi Dito
Yuwono bertajuk Recollecting Memory:
Tukang Foto Keliling. Dito mempresentasikan temuan-temuan hasil penelitian
dan kerja kolaborasinya dengan para fotografer dan atau mantan fotografer
keliling di Kaliurang dan Monas. Ia memaerkan beberapa foto sisa-sisa dari masa
ketika profesi fotografer masih cukup laku sebelum digerus teknologi baru yang
membuat kamera berada di genggaman setiap orang. Saya kira apa yang dilakukan
Dito cukup menarik dan perlu merambah tempat-tempat ‘penting’ lainnya dan
Monumen Kesaktian Pancasila patut dijadikan kunjungan utama.
Perihal Museum Kesaktian Pancasila ini, Hafiz
Rancajale melakukan sesuatu yang menarik dengan karya videonya, Menggali Buaya, yang dipamerkan pada
perhelaan ORDE BARU OK. VIDEO 2015. Di dalam video itu tampak orang menggali di
sebuah sudut wilayah Museum Kesaktian Pancasila serta juga gambar
diorama-diorama yang di-shoot dalam
jarak dekat. Saya yang hingga kini baru sekali mendatangi tempat itu, menemukan
keironisan tertentu di hadapan karya itu. Sayang, narasi yang dimunculkan oleh
semacam ‘narator’ di dalam video tersebut terlalulah liris; sebuah genre puisi
yang sangat Orde Baru.
[4] Yang saya maksudkan dengan
korban secara langsung di sini adalah mereka yang pasca G 30 S 1965
dikatagorikan dalam 3 jenis yakni Golongan A, Golongan B, Golongan C yang mana
digolongkan berdasarkan ‘sanksi’ yang ditimpakan yakni dibunuh atau dihukum
mati, ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili serta dibuang ke Pulau Buruh,
dan mereka yang ditangkap dan ditahan beberapa saat kemudian dilepaskan kembali
namun dicabut hak-hak sipilnya. Tentu saja di luar itu ada korban lain yakni
mereka yang menghabiskan hidupnya ‘tanpa tanah air’ alias kaum eksil. Kita juga
bisa menambahkan korban tak langsung yakni masyarakat Indonesia yang setelah
itu menderita lantaran pemerintah yang berpihak pada rakyat kebanyakan dan
organisasi politik yang punya kekuatan mumpuni yang juga berpihak pada mereka
sudah tak ada lagi, kita-kita yang dibohongi oleh sejarah, dsb.